Dukungan Trump Makin Kuat pada 2020 Dibandingkan 2016, Industri Jajak Pendapat Tersudutkan
Kamis, 05 November 2020 - 04:52 WIB
WASHINGTON - Hingga kini belum diketahui siapa pemenang pemilu presiden Amerika Serikat (AS) antara Joe Biden dari Partai Demokrat dan Donald Trump dari Partai Republik. Pelajaran berharga pemilu AS hingga saat ini ternyata dukungan terhadap Trump sangatlah nyata dan kuat.
Ini menjadi pukulan mundur bagi industri jajak pendapat dan para analis politik yang selama ini mengabaikan dan menyebut Trump tidak memiliki basis dukungan yang kuat. Kenapa? Sebelum pemilu, banyak jajak pendapat menyebutkan kalau performa Trump buruk dan akan mengalami kekalahan dengan mudah karena dukungannya lemah.
Pakar jajak pendapat Partai Republik Frank Luntz mengatakan kepad Fox News pendapat dan opini yang melemahkan Trump merupakan survei yang tidak bisa dimaafkan karena memosisikan Trump pada posisi lemah. Itu dikarena jajak pendapat pemilu AS fokus pada nasional.
Padahal, pemilu AS fokus pada negara bagian. Inilah saatnya survei fokus pada lokalitas bukan pada generalisasi hanya melihat faktor nasional. Selain itu,faktor survei populer juga menjadi fokus, padahal pemilu AS memiliki sistem paling unik di dunia karena mengandalkan suara elektoral.
Pada malam Selasa waktu setempat, rata-rata survei pemilu AS menyebut jarak antara Biden dan Trump adalah 7,2 poin. Tapi pada Rabu pagi, selisih perolehan suara populer Trump dan Biden hanua 1,6 poin. Itu menunjukkan cerita empat tahun lalu di negara bagian yang menjadi pertarungan akan memutuskan siapa yang menjadi pemenang pemilu AS.
Pertarungan di Florida yang dimenangkan Trump dengan mengantongi 29 suara elektoral di atas Biden dengan selisih 3,4 poin. Padahal pada survei Real Clear Politics mengindikasikan Biden menang dengan selisih 9 poin.
Trump pun kembali menang di Ohio dengan selisih 8%. Padahal, jajak pendapat sebelumnya menyaytakan Trump akan memimpin dengan selisih 1%. Cerita yang sama juga terjadi di Iowa di mana Trump memiliki selisih suara dengan Biden mencapai 8%.
Kenapa banyak industri jajak pendapat mengabaikan Trump? "Para pemilih Trump sangat benci dengan jajak pendapat karena mereka berpikir bahwa pakar jajak pendapat hanya ingin membuat mereka tampak buruk," kata Luntz. Para pendukung Partai Republik memiliki kehormatan menolak wawancara dan tidak akan mau diajak kerja sama dengan industri jajak pendapat. "Hasilnya, dukungan terhadap Trump pada jajak pendapat kerap lemah," katanya.
Luntz menegaskan, margin yang lebar dalam jajak pendapat dan perolehan suara pemilu presiden menunjukkan suatu kesalahan yanh tak bisa dimaafkan.
Pollster atau ahli jajak pendapat Partai Republik Neil Newhouse mengatakan kepafa Fox News bahwa memang banyak warga yang tidak percaya dengan jajak pendapat. Banyak warga menolak memberi tahu pilihan favoritnya.
"Mereka yakin respons merrka akan digunakan untuk melawan mereka atau digunakan untuk disimpan dan dikaitkan dengan nama mereka," kata Newhouse.
Ini menjadi pukulan mundur bagi industri jajak pendapat dan para analis politik yang selama ini mengabaikan dan menyebut Trump tidak memiliki basis dukungan yang kuat. Kenapa? Sebelum pemilu, banyak jajak pendapat menyebutkan kalau performa Trump buruk dan akan mengalami kekalahan dengan mudah karena dukungannya lemah.
Pakar jajak pendapat Partai Republik Frank Luntz mengatakan kepad Fox News pendapat dan opini yang melemahkan Trump merupakan survei yang tidak bisa dimaafkan karena memosisikan Trump pada posisi lemah. Itu dikarena jajak pendapat pemilu AS fokus pada nasional.
Padahal, pemilu AS fokus pada negara bagian. Inilah saatnya survei fokus pada lokalitas bukan pada generalisasi hanya melihat faktor nasional. Selain itu,faktor survei populer juga menjadi fokus, padahal pemilu AS memiliki sistem paling unik di dunia karena mengandalkan suara elektoral.
Pada malam Selasa waktu setempat, rata-rata survei pemilu AS menyebut jarak antara Biden dan Trump adalah 7,2 poin. Tapi pada Rabu pagi, selisih perolehan suara populer Trump dan Biden hanua 1,6 poin. Itu menunjukkan cerita empat tahun lalu di negara bagian yang menjadi pertarungan akan memutuskan siapa yang menjadi pemenang pemilu AS.
Pertarungan di Florida yang dimenangkan Trump dengan mengantongi 29 suara elektoral di atas Biden dengan selisih 3,4 poin. Padahal pada survei Real Clear Politics mengindikasikan Biden menang dengan selisih 9 poin.
Trump pun kembali menang di Ohio dengan selisih 8%. Padahal, jajak pendapat sebelumnya menyaytakan Trump akan memimpin dengan selisih 1%. Cerita yang sama juga terjadi di Iowa di mana Trump memiliki selisih suara dengan Biden mencapai 8%.
Kenapa banyak industri jajak pendapat mengabaikan Trump? "Para pemilih Trump sangat benci dengan jajak pendapat karena mereka berpikir bahwa pakar jajak pendapat hanya ingin membuat mereka tampak buruk," kata Luntz. Para pendukung Partai Republik memiliki kehormatan menolak wawancara dan tidak akan mau diajak kerja sama dengan industri jajak pendapat. "Hasilnya, dukungan terhadap Trump pada jajak pendapat kerap lemah," katanya.
Luntz menegaskan, margin yang lebar dalam jajak pendapat dan perolehan suara pemilu presiden menunjukkan suatu kesalahan yanh tak bisa dimaafkan.
Pollster atau ahli jajak pendapat Partai Republik Neil Newhouse mengatakan kepafa Fox News bahwa memang banyak warga yang tidak percaya dengan jajak pendapat. Banyak warga menolak memberi tahu pilihan favoritnya.
"Mereka yakin respons merrka akan digunakan untuk melawan mereka atau digunakan untuk disimpan dan dikaitkan dengan nama mereka," kata Newhouse.
(ber)
Lihat Juga :
tulis komentar anda