Pilpres Amerika Serikat, Investor Lebih Berpihak ke Trump atau Biden?
Senin, 02 November 2020 - 11:15 WIB
WASHINGTON - Persepsi yang selama ini dibangun yakni Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump lebih difavoritkan para investor dan pengusaha dibandingkan rivalnya Joe Biden dari Partai Demokrat. Trump dengan latar belakang pengusaha lebih bisa memahami keinginan pengusaha dan pemegang kapital.
Namun demikian, politik latar belakang tidak sepenuhnya bisa dipercaya. Biden juga menjadi harapan baru bagi investor dan pengusaha untuk menumbuhkan optimisme.
Selama Ini, investor AS memang dikenal sebagai pendukung utama Partai Republik. Tren saat ini justru berubah ketika banyak investor AS justru lebih senang denga Biden. Sejak lama,Wall Street memang memiliki dua perhatian utama kepada pemilu AS. Mereka khawatir suksesi kekuasaan jika Trump kalah akan berhasil dengan kisruh dan dia menolak kekalahan. Namun, mereka juga khawatir jika Demokrat akan menghasilkan kebijakanyang merugikan ekonomi. (Baca: Kehebatan Seseorang Bisa Diukur dari 3 Perkara Ini)
Skenario yang diinginkan Wall Street sebenarnya adalah terpilihnya kembali Trump . Catatan ekonomi Trump memang impresif. S&P 500, indeks saham ternama AS, naik 50% sejak dia berkuasa, meskipun pandemic corona. Saham Dow Jones dan Nasdaq juga mencapai rekor terbaru. Namun, secara keseluruhan ekonomi AS masih mengerang karena dampak corona. Trump tidak mampu mengatasi virus corona, stimulus kedua yang dijalankanjuga tidak efektif. Kebijakan Trump juga tidak memiliki dampak terhadap popularitas di kalangan pemilih. Dalam jajak pendapat, suaranya terus menurun. Namun, Trump tetap popular di kalangan investor.
Survei yang dilaksanakan firma manajemen kekyaaan UBS pada September lalu menemukan para investor lebih mendukung Trump kebijakan ekonomi dan pertumbuhan pekerjaan. Sedangkan Biden lebih unggul dalam bidang pengelolaan Covid-19, kebijakan luar negeri dan perawatan kesehatan.
Namun, sebulan kemudian segalanya berubah. Itu terjadi setelah debat presiden yang pertama dan Trump terinfeksi virus corona. Itu diperkirakan bisa mengubah pendapat investor.
Goldman Sachs menyebutkan "gelombang biru" bisa saja terjadi pada November mendatang. Itu menunjukkan bagaimana Demokrat bisa menguasai Gedung Putih dan Kongres. "Gelombang biru meningkatkan pemahaman terhadap prediksi kita," papar kepala ekonomi Goldman Sachs, Jan Hatzius, dilansir Channel News Asia.
Moody’s Analytics memprediksi kepemimpinan Biden jika berkuasa akan menciptakan 7 juta lapangan pekerjaan. Tingkat pengangguran diperkirakan akan menurun sekitar 4% pada pertengahan 2022. Tingkat pengangguran di AS saat ini mencapai 7,9%. (Baca juga: Banyak Kaum Santri Sudah Berperan di Kancah Internasional)
Keyakinan para investor mengenai kemenangan Biden karena jumlah kasus virus corona terus bertambah. Itulah yang menjadikan alasan kenapa Biden bisa dengan mudah menang melawan Trump. Meskipun mereka khawatir Biden akan menaikkan pajak lebih tinggi dibandingkan Biden.
"Pengendalian Covid menjadi salah satu hal penting untuk membantu ekonomi AS," kata Angela Mancini, konsultan risiko global Control Risks. "Pada saat bersamaan kota juga melihat pengakuan bahwa jika kamu mengambil pajak yang lebih tinggi bisa dialokasikan ke hal yang produktif, contohnya pengembangan energi terbaru dan infrastruktur untuk penggunaan jangka panjang," katanya. Menurut Mancini, itu bisa berdampak pada jangka panjang untuk ekonomi dan menguntungkan investor.
Juni lalu, Morgan Stanley memperingatkan investor tentang dampak penurunan pajak yang menjadi kebijakan Trump oleh Partai Demokrat. Apa yang dilakukan Biden dikhawatirkan akan merusak investasi dan perekrutan tenaga kerja baru. Namun, para pengamat pasar menyatakab para politikus bisa mewujudkan janji kampanye dalam beberapa tahun.
Song Seng Wun, ekonom CIMB Private Banking, mengatakan adanya upaya kontraproduktif memberlakukan pajak tinggi pada bisnis dan pelanggan jika ekonomi tidak membaik. Dia memberikan contoh pada Jepang di mana ketika pajak konsumsi finaikkan pada Oktober 2018, kemudian ditambah pandemi korona yang menekan ekonomi. Jika Demokrat menang pada pemilu AS, maka kebijakan fiskal akan terkalibrasi hebat. (Baca juga: Covid-19 Sebabkan Otak Menua 10 Tahun)
Isu lainnya adalah ketika para investor lebih memilih menunggu seiring masih terjadinya ketegangan perdagangan antara AS dan China. Vasu Menon, direktur eksekutif strategi investasi OCBC Bank, mengatakan Biden tidak akan mengubah kebijakan Washington terhadap China secara radikal.
Salah satu kebijakan yang bisa berbeda adalah penggunaan tarif. Menon mengatakan, Trump menggunakan tarif bisa meredam China karena China menjafi ancaman. "Saya pikir Biden mungkin tidak akan melakukan itu. Dia tidak akan menggunakan tarif. Dia berpikir hal itu kontraproduktif," jelasnya.
Dalam pandangan Nigel Green, pendiri deVere Group, mengungkapkan pasar kini lebih berpihak kepada Biden saat ini. Mereka juga lebih mendukung Demokrat agar menang pemilu. Perubahan itu menunjukkan perubahan sikap Wall Street yang dikenal sangat konservatif.
Perubahan itu juga disebabkan janji miliaran dolar investasi pada perekonomian AS, namu Biden tetap berjanji untuk menaikkan pajak dan mengaturnya. “Sejak kemenangan Demokrat adalah negative untuk pasar, tetapi pendekatan konservatif tetap diutamakan,” kata Green. (Baca juga: Dengan Kondisi Sekarang, Habib Rizieq Diimbau Jangan Pulang Dulu)
Stabilitas dan keamanan juga merupakan dua hal yang diinginkan oleh para investor, seperti diungkapkan pemimpin firma konsultasi keuangan Signum Global Advisors. “Orang hanya sudah lelah,” kata Myers kepada NPR. Meskipun pasar saham mencapai rekor tertinggi, tetapi Wall Street tidak menyukai gaya kepemimpinan Trump. ”Sangat sulit untuk membuat keputusan alokasi modal jangka Panjang karena kamu tidak mengetahui apa yang akan dilakukan Gedung Putih,” katanya.
Gelombang biru memang menjadi dilemma bagi investor. Dalam scenario tersebut, Demokrat bisa menguasai Kongres dan Gedung Putih. Nantiny, kebijakan stimulus ekonomi bisa diakselerasikan dengan baik. Apalagi demi pemulihan ekonomi AS, investor juga kini siap menerima kenaikan pajak AS dan pengetatan regulasi. Kebijakan yang masuk akal dan mendinginkan ketegangan dengan China juga akan membutuhkan banyak biaya.
Dukungan Investor ke Kampanye Capres
Wall Street dikenal tidak mau-malu dalam memberikan dukungan bagi partai politik. Donasi kampanye untuk pemilu menjadi agenda rutin para pengusaha. Untuk pertama kalinya dalam satu decade, perusahaan investasi, bank menggali dompet mereka lebih dalam untuk Demokrat dibandingkan Republik. Ini menjadi hal yang masuk akal karena sector finansial menjadi donor terbesar bagi masing-masing kandidat.
Menurut Center for Responsive Politics (CRP), perusahaan finansial telah mendonasikan USD265 juta bagi Demokat sejak awal tahun. Hanya USD100 juta untuk Republik. “Secara tradisional, sector keuanganmemang sumber keuangan bagi Republik,” kata Sarah Rryner, direktur penelitian dan strategi CRP. Namun, kata dia, hal itu berubah saat ini. (Lihat videonya: Kerajinan Tangan Bali yang Kerap Jadi Incaran Wisatawan)
Kenapa hal itu bisa terjadi? Biden sendiri dikenal dalam karier politknya sebagai pelobi untuk institusi keuangan dan perusahaan kartu kredit. “Delaware merupakan lokasi di mana banyak perusahaan Wall Street. Itu menjadikan banyak hubungan dengan Biden dan mereka percaya dengannya,” kta Bryner. Itu menjadikan Trump kerap mengecek sebagai para pendukung Biden dari Wall Street.
Sementara itu, total belanja kampanye pada pemilu presiden 2020 diproyeksikan bisa mencapai USD11 miliar (Rp162 triliun). Itu lebih tinggi 5% dibandingkan belanja kampanye pada pemilu 2016 lalu. Kampanye pemilu federal Amerika Serikat (AS) memang sepenuhnya dibiayai uang swasta. Sebagian besar dana itu disediakan oleh donor orang kaya, komite aksi pemilu dan organisasi yang berkepentingan. (Andika H Mustaqim)
Namun demikian, politik latar belakang tidak sepenuhnya bisa dipercaya. Biden juga menjadi harapan baru bagi investor dan pengusaha untuk menumbuhkan optimisme.
Selama Ini, investor AS memang dikenal sebagai pendukung utama Partai Republik. Tren saat ini justru berubah ketika banyak investor AS justru lebih senang denga Biden. Sejak lama,Wall Street memang memiliki dua perhatian utama kepada pemilu AS. Mereka khawatir suksesi kekuasaan jika Trump kalah akan berhasil dengan kisruh dan dia menolak kekalahan. Namun, mereka juga khawatir jika Demokrat akan menghasilkan kebijakanyang merugikan ekonomi. (Baca: Kehebatan Seseorang Bisa Diukur dari 3 Perkara Ini)
Skenario yang diinginkan Wall Street sebenarnya adalah terpilihnya kembali Trump . Catatan ekonomi Trump memang impresif. S&P 500, indeks saham ternama AS, naik 50% sejak dia berkuasa, meskipun pandemic corona. Saham Dow Jones dan Nasdaq juga mencapai rekor terbaru. Namun, secara keseluruhan ekonomi AS masih mengerang karena dampak corona. Trump tidak mampu mengatasi virus corona, stimulus kedua yang dijalankanjuga tidak efektif. Kebijakan Trump juga tidak memiliki dampak terhadap popularitas di kalangan pemilih. Dalam jajak pendapat, suaranya terus menurun. Namun, Trump tetap popular di kalangan investor.
Survei yang dilaksanakan firma manajemen kekyaaan UBS pada September lalu menemukan para investor lebih mendukung Trump kebijakan ekonomi dan pertumbuhan pekerjaan. Sedangkan Biden lebih unggul dalam bidang pengelolaan Covid-19, kebijakan luar negeri dan perawatan kesehatan.
Namun, sebulan kemudian segalanya berubah. Itu terjadi setelah debat presiden yang pertama dan Trump terinfeksi virus corona. Itu diperkirakan bisa mengubah pendapat investor.
Goldman Sachs menyebutkan "gelombang biru" bisa saja terjadi pada November mendatang. Itu menunjukkan bagaimana Demokrat bisa menguasai Gedung Putih dan Kongres. "Gelombang biru meningkatkan pemahaman terhadap prediksi kita," papar kepala ekonomi Goldman Sachs, Jan Hatzius, dilansir Channel News Asia.
Moody’s Analytics memprediksi kepemimpinan Biden jika berkuasa akan menciptakan 7 juta lapangan pekerjaan. Tingkat pengangguran diperkirakan akan menurun sekitar 4% pada pertengahan 2022. Tingkat pengangguran di AS saat ini mencapai 7,9%. (Baca juga: Banyak Kaum Santri Sudah Berperan di Kancah Internasional)
Keyakinan para investor mengenai kemenangan Biden karena jumlah kasus virus corona terus bertambah. Itulah yang menjadikan alasan kenapa Biden bisa dengan mudah menang melawan Trump. Meskipun mereka khawatir Biden akan menaikkan pajak lebih tinggi dibandingkan Biden.
"Pengendalian Covid menjadi salah satu hal penting untuk membantu ekonomi AS," kata Angela Mancini, konsultan risiko global Control Risks. "Pada saat bersamaan kota juga melihat pengakuan bahwa jika kamu mengambil pajak yang lebih tinggi bisa dialokasikan ke hal yang produktif, contohnya pengembangan energi terbaru dan infrastruktur untuk penggunaan jangka panjang," katanya. Menurut Mancini, itu bisa berdampak pada jangka panjang untuk ekonomi dan menguntungkan investor.
Juni lalu, Morgan Stanley memperingatkan investor tentang dampak penurunan pajak yang menjadi kebijakan Trump oleh Partai Demokrat. Apa yang dilakukan Biden dikhawatirkan akan merusak investasi dan perekrutan tenaga kerja baru. Namun, para pengamat pasar menyatakab para politikus bisa mewujudkan janji kampanye dalam beberapa tahun.
Song Seng Wun, ekonom CIMB Private Banking, mengatakan adanya upaya kontraproduktif memberlakukan pajak tinggi pada bisnis dan pelanggan jika ekonomi tidak membaik. Dia memberikan contoh pada Jepang di mana ketika pajak konsumsi finaikkan pada Oktober 2018, kemudian ditambah pandemi korona yang menekan ekonomi. Jika Demokrat menang pada pemilu AS, maka kebijakan fiskal akan terkalibrasi hebat. (Baca juga: Covid-19 Sebabkan Otak Menua 10 Tahun)
Isu lainnya adalah ketika para investor lebih memilih menunggu seiring masih terjadinya ketegangan perdagangan antara AS dan China. Vasu Menon, direktur eksekutif strategi investasi OCBC Bank, mengatakan Biden tidak akan mengubah kebijakan Washington terhadap China secara radikal.
Salah satu kebijakan yang bisa berbeda adalah penggunaan tarif. Menon mengatakan, Trump menggunakan tarif bisa meredam China karena China menjafi ancaman. "Saya pikir Biden mungkin tidak akan melakukan itu. Dia tidak akan menggunakan tarif. Dia berpikir hal itu kontraproduktif," jelasnya.
Dalam pandangan Nigel Green, pendiri deVere Group, mengungkapkan pasar kini lebih berpihak kepada Biden saat ini. Mereka juga lebih mendukung Demokrat agar menang pemilu. Perubahan itu menunjukkan perubahan sikap Wall Street yang dikenal sangat konservatif.
Perubahan itu juga disebabkan janji miliaran dolar investasi pada perekonomian AS, namu Biden tetap berjanji untuk menaikkan pajak dan mengaturnya. “Sejak kemenangan Demokrat adalah negative untuk pasar, tetapi pendekatan konservatif tetap diutamakan,” kata Green. (Baca juga: Dengan Kondisi Sekarang, Habib Rizieq Diimbau Jangan Pulang Dulu)
Stabilitas dan keamanan juga merupakan dua hal yang diinginkan oleh para investor, seperti diungkapkan pemimpin firma konsultasi keuangan Signum Global Advisors. “Orang hanya sudah lelah,” kata Myers kepada NPR. Meskipun pasar saham mencapai rekor tertinggi, tetapi Wall Street tidak menyukai gaya kepemimpinan Trump. ”Sangat sulit untuk membuat keputusan alokasi modal jangka Panjang karena kamu tidak mengetahui apa yang akan dilakukan Gedung Putih,” katanya.
Gelombang biru memang menjadi dilemma bagi investor. Dalam scenario tersebut, Demokrat bisa menguasai Kongres dan Gedung Putih. Nantiny, kebijakan stimulus ekonomi bisa diakselerasikan dengan baik. Apalagi demi pemulihan ekonomi AS, investor juga kini siap menerima kenaikan pajak AS dan pengetatan regulasi. Kebijakan yang masuk akal dan mendinginkan ketegangan dengan China juga akan membutuhkan banyak biaya.
Dukungan Investor ke Kampanye Capres
Wall Street dikenal tidak mau-malu dalam memberikan dukungan bagi partai politik. Donasi kampanye untuk pemilu menjadi agenda rutin para pengusaha. Untuk pertama kalinya dalam satu decade, perusahaan investasi, bank menggali dompet mereka lebih dalam untuk Demokrat dibandingkan Republik. Ini menjadi hal yang masuk akal karena sector finansial menjadi donor terbesar bagi masing-masing kandidat.
Menurut Center for Responsive Politics (CRP), perusahaan finansial telah mendonasikan USD265 juta bagi Demokat sejak awal tahun. Hanya USD100 juta untuk Republik. “Secara tradisional, sector keuanganmemang sumber keuangan bagi Republik,” kata Sarah Rryner, direktur penelitian dan strategi CRP. Namun, kata dia, hal itu berubah saat ini. (Lihat videonya: Kerajinan Tangan Bali yang Kerap Jadi Incaran Wisatawan)
Kenapa hal itu bisa terjadi? Biden sendiri dikenal dalam karier politknya sebagai pelobi untuk institusi keuangan dan perusahaan kartu kredit. “Delaware merupakan lokasi di mana banyak perusahaan Wall Street. Itu menjadikan banyak hubungan dengan Biden dan mereka percaya dengannya,” kta Bryner. Itu menjadikan Trump kerap mengecek sebagai para pendukung Biden dari Wall Street.
Sementara itu, total belanja kampanye pada pemilu presiden 2020 diproyeksikan bisa mencapai USD11 miliar (Rp162 triliun). Itu lebih tinggi 5% dibandingkan belanja kampanye pada pemilu 2016 lalu. Kampanye pemilu federal Amerika Serikat (AS) memang sepenuhnya dibiayai uang swasta. Sebagian besar dana itu disediakan oleh donor orang kaya, komite aksi pemilu dan organisasi yang berkepentingan. (Andika H Mustaqim)
(ysw)
tulis komentar anda