Tidak Semua Negara Dapat Meniru Swedia Dalam Atasi Covid-19
Rabu, 07 Oktober 2020 - 11:15 WIB
LONDON - Para ahli menyatakan persebaran wabah virus Corona (Covid-19) di Swedia mencapai nol, sekalipun tidak menerapkan protokol kesehatan seketat di negara lain. Namun, tidak semua negara dapat meniru langkah Swedia mengingat adanya perbedaan budaya, kepadatan penduduk, kesadaran masyarakat, dan akses kesehatan.
Beberapa negara di Eropa yang memiliki kemiripan dengan Swedia terinspirasi untuk menerapkan kebijakan serupa dengan harapan kesehatan dan ekonomi masyarakat terlindungi. Optimisme itu terbangun setelah menyaksikan angka kematian akibat Covid-19 di Swedia sangat rendah. Begitu pun dengan jumlah pasien Covid-19. (Baca: Menghormati dan Memuliakan Tetangga)
Sebagian orang menduga penduduk Swedia kemungkinan besar terinfeksi Covid-19, tapi tidak digembar-gemborkan. Mereka lebih fokus menjalani hidup seperti biasa selama mampu beraktivitas. Sebab, rumah sakit diprioritaskan bagi orang sakit, terlepas terjangkit Covid-19 atau tidak. Mereka juga cenderung berpikir positif dan tidak mudah paranoid.
Perdana Menteri (PM) Inggris Boris Johnson mencoba meniru Swedia dan mengubah protokol kesehatan yang sudah ada pada akhir pekan lalu. Meski hasilnya belum diketahui, para ahli di Inggris dan Swedia menilai pergeseran kebijakan itu memiliki pertaruhan besar. Apalagi Inggris merupakan salah satu hub wisatawan asing dan ekspatriat.
Sama seperti Swedia , pemerintah Inggris berharap masyarakat dapat bertanggung jawab dalam pencegahan dan penularan Covid-19, mulai menjaga kebersihan diri hingga kesadaran untuk tidak berinteraksi jika sakit. Namun, seluruh pub, bar, dan restoran diwajibkan tutup sebelum pukul 22.00 waktu lokal agar masyarakat dapat beristirahat. (Baca juga: UU Ciptaker Membuat Dunia Pendidikan Makin Komersil)
Swedia memiliki peraturan berbeda karena memiliki budaya yang berbeda. Ketika sebagian besar negara memberlakukan lockdown, Swedia tetap mengoperasikan bisnis. Pemerintah lokal hanya mengimbau warganya mencuci tangan dan membatasi interaksi sosial. Sebab, di Swedia, politik dan urusan masyarakat tidak pernah dicampur.
Namun, Swedia yang hanya memiliki 10 juta penduduk mengakui praktik mereka belum tentu dapat diterapkan di negara lain. Tenaga kesehatan Swedia juga mengakui sebagian korban Covid-19 tewas di rumah sendiri. Menteri Luar Negeri (Menlu) Inggris Dominic Raab juga mengatakan, karakter budaya Swedia dan Inggris sangat berbeda.
“Pak Perdana Menteri mengumumkan perubahan ini setelah berdiskusi dengan tim gugus tugas Covid-19 Swedia, Anders Tegnell,” kata Raab. “Pak Perdana Menteri mengambil berbagai pandangan ilmiah dari berbagai ahli selama sepekan terakhir sebelum merumuskan dan memperkenalkan protokol kesehatan baru. Ini merupakan keputusannya.”
Hidup seperti biasa saat pandemi Covid-19 hanya diterapkan di Swedia, Taiwan, dan Turkmenistan. ‘Life Has to Go On’, satu kalimat yang bisa menggambarkan warga negara tersebut karena tidak ada lockdown total sebagai solusi untuk penanganan Covid-19. (Baca juga: Bentengi Tubuh dari Covid-19 dengan Olahraga)
Swedia merupakan negara di Eropa di mana pemerintah, institusi kesehatan, dan para pakar menolak memberlakukan lockdown nasional untuk mencegah penularan virus korona. Itu disebabkan, masyarakat Swedia bersedia tetap di rumah, mengikuti standar protokol kesehatan, dan mencuci tangan untuk memperlambat penularan. Swedia pun dinyatakan sukses mengatasi Covid-19.
Masyarakat Swedia pun menikmati kebebasan di mana tidak didapatkan banyak warga di dunia.
“Duka saya untuk orang yang meninggal dunia. Namun, kita di sini melakukan hal benar,” kata Johan Mattsson, 44, warga Swedia saat menikmati makanan dan minuman di sebuah kafe di jalan Skanegatan, Swedia, dilansir New York Times. “Saya senang tidak ada lockdown. Life has to go on,” paparnya.
Bahkan, beberapa waktu lalu Duta Besar Swedia untuk Amerika Serikat (AS) Karin Ulrika Olofsdotter mengklaim bahwa Stockhold akan bisa mencapai kekebalan kelompok pada Mei mendatang. “30% penduduk Stockholm sudah mencapai tingkat kekebalan,” kata Olofsdotter kepada National Public Radio (NPR). (Lihat videonya: Pasal Kontroversial UU Cipta Kerja Dianggap Merugikan Buruh)
Kekebalan imunitas terjadi ketika sekelompok orang dengan persentase yang cukup memiliki imunitas terhadap virus, baik melalui infeksi maupun vaksinasi. Nanti, kekebalan kelompok bisa menyebar ke seluruh kelompok. Swedia memang berbeda dengan negara tetangganya, Denmark dan Norwegia, yang memberlakukan isolasi wilayah yang ketat. (Muh Shamil)
Beberapa negara di Eropa yang memiliki kemiripan dengan Swedia terinspirasi untuk menerapkan kebijakan serupa dengan harapan kesehatan dan ekonomi masyarakat terlindungi. Optimisme itu terbangun setelah menyaksikan angka kematian akibat Covid-19 di Swedia sangat rendah. Begitu pun dengan jumlah pasien Covid-19. (Baca: Menghormati dan Memuliakan Tetangga)
Sebagian orang menduga penduduk Swedia kemungkinan besar terinfeksi Covid-19, tapi tidak digembar-gemborkan. Mereka lebih fokus menjalani hidup seperti biasa selama mampu beraktivitas. Sebab, rumah sakit diprioritaskan bagi orang sakit, terlepas terjangkit Covid-19 atau tidak. Mereka juga cenderung berpikir positif dan tidak mudah paranoid.
Perdana Menteri (PM) Inggris Boris Johnson mencoba meniru Swedia dan mengubah protokol kesehatan yang sudah ada pada akhir pekan lalu. Meski hasilnya belum diketahui, para ahli di Inggris dan Swedia menilai pergeseran kebijakan itu memiliki pertaruhan besar. Apalagi Inggris merupakan salah satu hub wisatawan asing dan ekspatriat.
Sama seperti Swedia , pemerintah Inggris berharap masyarakat dapat bertanggung jawab dalam pencegahan dan penularan Covid-19, mulai menjaga kebersihan diri hingga kesadaran untuk tidak berinteraksi jika sakit. Namun, seluruh pub, bar, dan restoran diwajibkan tutup sebelum pukul 22.00 waktu lokal agar masyarakat dapat beristirahat. (Baca juga: UU Ciptaker Membuat Dunia Pendidikan Makin Komersil)
Swedia memiliki peraturan berbeda karena memiliki budaya yang berbeda. Ketika sebagian besar negara memberlakukan lockdown, Swedia tetap mengoperasikan bisnis. Pemerintah lokal hanya mengimbau warganya mencuci tangan dan membatasi interaksi sosial. Sebab, di Swedia, politik dan urusan masyarakat tidak pernah dicampur.
Namun, Swedia yang hanya memiliki 10 juta penduduk mengakui praktik mereka belum tentu dapat diterapkan di negara lain. Tenaga kesehatan Swedia juga mengakui sebagian korban Covid-19 tewas di rumah sendiri. Menteri Luar Negeri (Menlu) Inggris Dominic Raab juga mengatakan, karakter budaya Swedia dan Inggris sangat berbeda.
“Pak Perdana Menteri mengumumkan perubahan ini setelah berdiskusi dengan tim gugus tugas Covid-19 Swedia, Anders Tegnell,” kata Raab. “Pak Perdana Menteri mengambil berbagai pandangan ilmiah dari berbagai ahli selama sepekan terakhir sebelum merumuskan dan memperkenalkan protokol kesehatan baru. Ini merupakan keputusannya.”
Hidup seperti biasa saat pandemi Covid-19 hanya diterapkan di Swedia, Taiwan, dan Turkmenistan. ‘Life Has to Go On’, satu kalimat yang bisa menggambarkan warga negara tersebut karena tidak ada lockdown total sebagai solusi untuk penanganan Covid-19. (Baca juga: Bentengi Tubuh dari Covid-19 dengan Olahraga)
Swedia merupakan negara di Eropa di mana pemerintah, institusi kesehatan, dan para pakar menolak memberlakukan lockdown nasional untuk mencegah penularan virus korona. Itu disebabkan, masyarakat Swedia bersedia tetap di rumah, mengikuti standar protokol kesehatan, dan mencuci tangan untuk memperlambat penularan. Swedia pun dinyatakan sukses mengatasi Covid-19.
Masyarakat Swedia pun menikmati kebebasan di mana tidak didapatkan banyak warga di dunia.
“Duka saya untuk orang yang meninggal dunia. Namun, kita di sini melakukan hal benar,” kata Johan Mattsson, 44, warga Swedia saat menikmati makanan dan minuman di sebuah kafe di jalan Skanegatan, Swedia, dilansir New York Times. “Saya senang tidak ada lockdown. Life has to go on,” paparnya.
Bahkan, beberapa waktu lalu Duta Besar Swedia untuk Amerika Serikat (AS) Karin Ulrika Olofsdotter mengklaim bahwa Stockhold akan bisa mencapai kekebalan kelompok pada Mei mendatang. “30% penduduk Stockholm sudah mencapai tingkat kekebalan,” kata Olofsdotter kepada National Public Radio (NPR). (Lihat videonya: Pasal Kontroversial UU Cipta Kerja Dianggap Merugikan Buruh)
Kekebalan imunitas terjadi ketika sekelompok orang dengan persentase yang cukup memiliki imunitas terhadap virus, baik melalui infeksi maupun vaksinasi. Nanti, kekebalan kelompok bisa menyebar ke seluruh kelompok. Swedia memang berbeda dengan negara tetangganya, Denmark dan Norwegia, yang memberlakukan isolasi wilayah yang ketat. (Muh Shamil)
(ysw)
Lihat Juga :
tulis komentar anda