China Paksa Orang-orang Tibet Masuk ke Kamp Kerja Paksa Mirip di Xinjiang
Jum'at, 25 September 2020 - 00:00 WIB
BEIJING - Sejumlah dokumen mengungkap bahwa pemerintah China memaksa pekerja pedesaan di Tibet masuk ke kamp-kamp kerja paksa bergaya militer. Kebijakan ini mirip dengan yang diterapkan di Xinjiang.
Pemerintah mengklaim kamp untuk komunitas etnis Tibet tersebut merupakan kamp untuk pelatihan kejuruan.
Dokumen-dokumen yang mengungkap praktik itu merupakan laporan kebijakan dari biro pemerintah China di Tibet dan permintaan pengadaan yang dirilis dari 2016 hingga 2020. Beberapa dokumen tersebut telah ditinjau oleh Reuters. (Baca: Media China Sentil Indonesia karena Menentang Klaim China di Laut China Selatan )
Studi oleh Jamestown Foundation, sebuah lembaga yang berbasis di Washington, D.C. yang berfokus pada masalah kebijakan yang memiliki kepentingan strategis bagi AS, juga mengungkap penempatan orang-orang Tibet di kamp tersebut. Studi Jamestown Foundation menggunakan laporan media pemerintah dan dokumen lainnya.
Laporan Jamestown Foundation menyatakan bahwa kebijakan transfer tenaga kerja mengamanatkan bahwa para penggembala dan petani harus menjalani pelatihan kejuruan "bergaya militer" yang terpusat, yang bertujuan untuk mereformasi "pemikiran
terbelakang" dan termasuk pelatihan dalam "disiplin kerja," hukum, dan bahasa China.
Kelompok hak asasi manusia telah mengkritik hal ini dan mengatakan bahwa langkah seperti itu ditujukan untuk pelatihan ideologis dan memiliki elemen koersif. (Baca: Li Meng Yan Janjikan Bukti Covid-19 Dibuat di Lab Militer Partai Komunis China )
“Sekarang ini, menurut pendapat saya, serangan terkuat, paling jelas dan terarah terhadap mata pencaharian tradisional Tibet yang telah kita saksikan hampir sejak Revolusi Kebudayaan tahun 1966 hingga 1976," kata Adrian Zenz, seorang peneliti Tibet
dan Xinjiang independen, yang menyusun temuan inti dari program tersebut, seperti dikutip oleh Reuters.
"Ini adalah perubahan gaya hidup yang memaksa dari nomadisme dan bertani menjadi buruh upahan," ujarnya.
China menguasai Tibet pada 1950-an ketika mencaplok Daerah Otonomi Tibet. Wilayah tersebut mengalami pemberontakan besar-besaran pada tahun 1959, tetapi pasukan China menumpasnya.
Dalai Lama, salah satu ikon perlawanan Tibet yang khawatir akan keselamatannya, melarikan diri ke India dan mengasingkan diri di Dharamshala. Orang-orang Tibet telah melawan pendudukan China selama beberapa dekade. Gerakan tersebut kini telah dihidupkan kembali setelah bentrokan berdarah yang menewaskan seorang tentara Tibet dari Pasukan Perbatasan Khusus India.
Kebijakan kamp pendidikan ulang oleh pemerintah China yang dipimpin Xi Jinping telah mendapat reaksi global. Sebuah laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengatakan bahwa hingga satu juta orang dari wilayah Xinjiang, sebagian besar terdiri dari kelompok minoritas Muslim Uighur, ditahan di kamp-kamp pendidikan ulang. (Baca juga: Partai Komunis China Nyatakan Siap Perang dengan Negara ASEAN dan AS )
Banyak kelompok hak asasi manusia, termasuk Amnesty International dan Human Rights Watch, menuduh Beijing memenjarakan etnis minoritas tanpa batas waktu. Mereka menuduh rezim China melakukan beberapa pelanggaran hak asasi manusia.
Mengutip laporan Reuters, Kamis (24/9/2020), dalam beberapa tahun terakhir, Xinjiang dan Tibet telah menjadi sasaran kebijakan keras dalam mengejar apa yang oleh otoritas China disebut sebagai "pemeliharaan stabilitas". Ditekankan bahwa kebijakan tersebut ditujukan untuk memadamkan perbedaan pendapat, keresahan atau separatisme dan termasuk membatasi
perjalanan warga etnis ke bagian lain China dan luar negeri, serta memperketat kontrol atas kegiatan keagamaan.
Kementerian Luar Negeri China mengatakan kepada Reuters bahwa mereka membantah klaim kamp kerja paksa. “Apa yang disebut orang-orang dengan motif tersembunyi ini sebagai 'kerja paksa' tidak ada. Kami berharap komunitas internasional membedakan yang benar dari yang salah, menghargai fakta, dan tidak tertipu oleh kebohongan," kata kementerian
tersebut.
Laporan Jamestown Foundation menyimpulkan bahwa meskipun pendekatan Beijing di Tibet “kurang memaksa” dibandingkan di Xinjiang, dalam sistem di mana transisi antara sekuritisasi dan pengentasan kemiskinan berjalan mulus, tidak ada yang tahu di mana paksaan berhenti dan di mana lembaga lokal yang benar-benar sukarela dimulai.
Pemerintah mengklaim kamp untuk komunitas etnis Tibet tersebut merupakan kamp untuk pelatihan kejuruan.
Dokumen-dokumen yang mengungkap praktik itu merupakan laporan kebijakan dari biro pemerintah China di Tibet dan permintaan pengadaan yang dirilis dari 2016 hingga 2020. Beberapa dokumen tersebut telah ditinjau oleh Reuters. (Baca: Media China Sentil Indonesia karena Menentang Klaim China di Laut China Selatan )
Studi oleh Jamestown Foundation, sebuah lembaga yang berbasis di Washington, D.C. yang berfokus pada masalah kebijakan yang memiliki kepentingan strategis bagi AS, juga mengungkap penempatan orang-orang Tibet di kamp tersebut. Studi Jamestown Foundation menggunakan laporan media pemerintah dan dokumen lainnya.
Laporan Jamestown Foundation menyatakan bahwa kebijakan transfer tenaga kerja mengamanatkan bahwa para penggembala dan petani harus menjalani pelatihan kejuruan "bergaya militer" yang terpusat, yang bertujuan untuk mereformasi "pemikiran
terbelakang" dan termasuk pelatihan dalam "disiplin kerja," hukum, dan bahasa China.
Kelompok hak asasi manusia telah mengkritik hal ini dan mengatakan bahwa langkah seperti itu ditujukan untuk pelatihan ideologis dan memiliki elemen koersif. (Baca: Li Meng Yan Janjikan Bukti Covid-19 Dibuat di Lab Militer Partai Komunis China )
“Sekarang ini, menurut pendapat saya, serangan terkuat, paling jelas dan terarah terhadap mata pencaharian tradisional Tibet yang telah kita saksikan hampir sejak Revolusi Kebudayaan tahun 1966 hingga 1976," kata Adrian Zenz, seorang peneliti Tibet
dan Xinjiang independen, yang menyusun temuan inti dari program tersebut, seperti dikutip oleh Reuters.
"Ini adalah perubahan gaya hidup yang memaksa dari nomadisme dan bertani menjadi buruh upahan," ujarnya.
China menguasai Tibet pada 1950-an ketika mencaplok Daerah Otonomi Tibet. Wilayah tersebut mengalami pemberontakan besar-besaran pada tahun 1959, tetapi pasukan China menumpasnya.
Dalai Lama, salah satu ikon perlawanan Tibet yang khawatir akan keselamatannya, melarikan diri ke India dan mengasingkan diri di Dharamshala. Orang-orang Tibet telah melawan pendudukan China selama beberapa dekade. Gerakan tersebut kini telah dihidupkan kembali setelah bentrokan berdarah yang menewaskan seorang tentara Tibet dari Pasukan Perbatasan Khusus India.
Kebijakan kamp pendidikan ulang oleh pemerintah China yang dipimpin Xi Jinping telah mendapat reaksi global. Sebuah laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengatakan bahwa hingga satu juta orang dari wilayah Xinjiang, sebagian besar terdiri dari kelompok minoritas Muslim Uighur, ditahan di kamp-kamp pendidikan ulang. (Baca juga: Partai Komunis China Nyatakan Siap Perang dengan Negara ASEAN dan AS )
Banyak kelompok hak asasi manusia, termasuk Amnesty International dan Human Rights Watch, menuduh Beijing memenjarakan etnis minoritas tanpa batas waktu. Mereka menuduh rezim China melakukan beberapa pelanggaran hak asasi manusia.
Mengutip laporan Reuters, Kamis (24/9/2020), dalam beberapa tahun terakhir, Xinjiang dan Tibet telah menjadi sasaran kebijakan keras dalam mengejar apa yang oleh otoritas China disebut sebagai "pemeliharaan stabilitas". Ditekankan bahwa kebijakan tersebut ditujukan untuk memadamkan perbedaan pendapat, keresahan atau separatisme dan termasuk membatasi
perjalanan warga etnis ke bagian lain China dan luar negeri, serta memperketat kontrol atas kegiatan keagamaan.
Kementerian Luar Negeri China mengatakan kepada Reuters bahwa mereka membantah klaim kamp kerja paksa. “Apa yang disebut orang-orang dengan motif tersembunyi ini sebagai 'kerja paksa' tidak ada. Kami berharap komunitas internasional membedakan yang benar dari yang salah, menghargai fakta, dan tidak tertipu oleh kebohongan," kata kementerian
tersebut.
Laporan Jamestown Foundation menyimpulkan bahwa meskipun pendekatan Beijing di Tibet “kurang memaksa” dibandingkan di Xinjiang, dalam sistem di mana transisi antara sekuritisasi dan pengentasan kemiskinan berjalan mulus, tidak ada yang tahu di mana paksaan berhenti dan di mana lembaga lokal yang benar-benar sukarela dimulai.
(min)
tulis komentar anda