AS Pulangkan 2 Tahanan Teluk Guantanamo ke Malaysia, Hambali Masih Ditahan
Kamis, 19 Desember 2024 - 08:11 WIB
WASHINGTON - Pemerintah Amerika Serikat (AS) telah memulangkan tiga tahanan Teluk Guantanamo, satu asal Kenya dan dua asal Malaysia, ke negara asal mereka.
Sedangkan tahanan asal Indonesia Encep Nurjaman alias Hambali masih ditahan di penjara yang terkenal dengan penyiksaan tersebut.
Mantan Presiden George W Bush mendirikan pengadilan militer dan penjara di pangkalan Angkatan Laut AS di lepas pantai Teluk Guantanamo, Kuba, setelah serangan teroris al-Qaeda pada 11 September 2001 di Amerika Serikat.
Pada puncaknya, penjara Teluk Guantanamo menahan ratusan orang, kebanyakan Muslim, selama "perang melawan teror" Amerika setelah serangan 11 September.
Saat ini total ada 27 tahanan di Guantanamo. Hanya dua orang di Guantanamo yang menjalani hukuman secara sah.
Tujuh orang lainnya yang menghadapi dakwaan telah diperlambat penuntutannya oleh hambatan hukum karena, sebagian, penyiksaan yang dilaporkan terhadap mereka pada tahun-tahun pertama mereka di bawah tahanan CIA. Sementara itu, 15 orang lainnya yang tidak pernah didakwa masih menunggu untuk dibebaskan.
Mohammed Abdul Malik Bajabu, asal Kenya, dipulangkan ke negara asalnya pada hari Selasa setelah menghabiskan 17 tahun di penjara Teluk Guantanamo tanpa didakwa.
Sementara itu, dua tahanan asal Malaysia, Mohammed Farik bin Amin dan Mohammed Nazir bin Lep, telah dipulangkan.
Pentagon mengatakan pada hari Rabu bahwa dua tahanan asal Malaysia itu dipulangkan setelah mengaku bersalah atas konspirasi dan dakwaan lainnya pada bulan Januari.
Pihak jaksa penuntut mengatakan kedua pria Malaysia itu bekerja selama bertahun-tahun dengan Encep Nurjaman alias Hambali, seorang warga negara Indonesia (WNI) pemimpin Jemaah Islamiyah (JI) afiliasi al-Qaeda.
Para pejabat AS, sebagaimana dikutip dari AP, Kamis (19/12/2024), mengatakan bahwa kedua warga Malaysia itu telah membantu Hambali lolos dari penangkapan setelah pengeboman pada 12 Oktober 2002, yang menewaskan 202 orang di dua tempat hiburan malam di Bali.
Pentagon mengatakan bahwa orang-orang tersebut memberikan kesaksian yang akan digunakan oleh jaksa penuntut untuk melawan Hambali, yang dituduh dalang pengeboman Bali.
Hambali, yang saat ini ditahan di Guantanamo, sedang menunggu dimulainya kembali sidang praperadilan awal tahun depan yang melibatkan kasus pengeboman dan serangan lainnya.
Amnesty International, sebuah organisasi hak asasi manusia (HAM) internasional, mendesak Presiden Joe Biden untuk mengakhiri penahanan orang-orang di penjara Teluk Guantanamo yang belum pernah didakwa sebelum dia meninggalkan jabatannya bulan depan.
"Jika Biden tidak membebaskan orang-orang ini, dia akan terus memikul tanggung jawab atas praktik penahanan tanpa batas waktu yang menjijikkan tanpa dakwaan atau pengadilan oleh pemerintah AS," kata Amnesty.
Pemerintah AS saat ini sedang mencari negara-negara yang cocok dan stabil yang bersedia menerima 15 tahanan yang tersisa yang tidak pernah didakwa.
Banyak dari orang-orang tersebut berasal dari Yaman, sebuah negara yang didominasi oleh komunitas Houthi. Kelompok milisi Houthi, yang merupakan sekutu Iran, memulai perang saudara pada tahun 2014 ketika mereka menguasai Ibu Kota Yaman, Sanaa.
Sedangkan tahanan asal Indonesia Encep Nurjaman alias Hambali masih ditahan di penjara yang terkenal dengan penyiksaan tersebut.
Mantan Presiden George W Bush mendirikan pengadilan militer dan penjara di pangkalan Angkatan Laut AS di lepas pantai Teluk Guantanamo, Kuba, setelah serangan teroris al-Qaeda pada 11 September 2001 di Amerika Serikat.
Pada puncaknya, penjara Teluk Guantanamo menahan ratusan orang, kebanyakan Muslim, selama "perang melawan teror" Amerika setelah serangan 11 September.
Saat ini total ada 27 tahanan di Guantanamo. Hanya dua orang di Guantanamo yang menjalani hukuman secara sah.
Tujuh orang lainnya yang menghadapi dakwaan telah diperlambat penuntutannya oleh hambatan hukum karena, sebagian, penyiksaan yang dilaporkan terhadap mereka pada tahun-tahun pertama mereka di bawah tahanan CIA. Sementara itu, 15 orang lainnya yang tidak pernah didakwa masih menunggu untuk dibebaskan.
Mohammed Abdul Malik Bajabu, asal Kenya, dipulangkan ke negara asalnya pada hari Selasa setelah menghabiskan 17 tahun di penjara Teluk Guantanamo tanpa didakwa.
Sementara itu, dua tahanan asal Malaysia, Mohammed Farik bin Amin dan Mohammed Nazir bin Lep, telah dipulangkan.
Pentagon mengatakan pada hari Rabu bahwa dua tahanan asal Malaysia itu dipulangkan setelah mengaku bersalah atas konspirasi dan dakwaan lainnya pada bulan Januari.
Pihak jaksa penuntut mengatakan kedua pria Malaysia itu bekerja selama bertahun-tahun dengan Encep Nurjaman alias Hambali, seorang warga negara Indonesia (WNI) pemimpin Jemaah Islamiyah (JI) afiliasi al-Qaeda.
Para pejabat AS, sebagaimana dikutip dari AP, Kamis (19/12/2024), mengatakan bahwa kedua warga Malaysia itu telah membantu Hambali lolos dari penangkapan setelah pengeboman pada 12 Oktober 2002, yang menewaskan 202 orang di dua tempat hiburan malam di Bali.
Pentagon mengatakan bahwa orang-orang tersebut memberikan kesaksian yang akan digunakan oleh jaksa penuntut untuk melawan Hambali, yang dituduh dalang pengeboman Bali.
Hambali, yang saat ini ditahan di Guantanamo, sedang menunggu dimulainya kembali sidang praperadilan awal tahun depan yang melibatkan kasus pengeboman dan serangan lainnya.
Amnesty International, sebuah organisasi hak asasi manusia (HAM) internasional, mendesak Presiden Joe Biden untuk mengakhiri penahanan orang-orang di penjara Teluk Guantanamo yang belum pernah didakwa sebelum dia meninggalkan jabatannya bulan depan.
"Jika Biden tidak membebaskan orang-orang ini, dia akan terus memikul tanggung jawab atas praktik penahanan tanpa batas waktu yang menjijikkan tanpa dakwaan atau pengadilan oleh pemerintah AS," kata Amnesty.
Pemerintah AS saat ini sedang mencari negara-negara yang cocok dan stabil yang bersedia menerima 15 tahanan yang tersisa yang tidak pernah didakwa.
Banyak dari orang-orang tersebut berasal dari Yaman, sebuah negara yang didominasi oleh komunitas Houthi. Kelompok milisi Houthi, yang merupakan sekutu Iran, memulai perang saudara pada tahun 2014 ketika mereka menguasai Ibu Kota Yaman, Sanaa.
(mas)
Lihat Juga :
tulis komentar anda