AS Beri Ukraina Senjata Nuklir untuk Melawan Rusia? Ini Jawaban Gedung Putih
Senin, 02 Desember 2024 - 07:22 WIB
WASHINGTON - Laporan New York Times pada November lalu menyebutkan bahwa para pejabat Amerika Serikat (AS) ingin mempersenjatai Ukraina dengan senjata nuklir untuk melawan Rusia.
Sekarang Gedung Putih memberikan jawaban yang jelas atas gagasan itu, yakni tidak.
Penasihat Keamanan Nasional Gedung Putih Jake Sullivan mengatakan kepada ABC News pada hari Minggu (1/12/2024) bahwa ide semacam itu "tidak sedang dipertimbangkan."
"Apa yang kami lakukan adalah meningkatkan berbagai kapasitas [senjata] konvensional ke Ukraina sehingga mereka dapat secara efektif mempertahankan diri dan melawan Rusia, bukan [memberi mereka] kemampuan nuklir," katanya.
Dua pekan lalu, New York Times dalam laporannya mengeklaim bahwa Presiden Joe Biden dapat mengizinkan Ukraina memiliki senjata nuklir lagi, seperti masa sebelum runtuhnya Uni Soviet. Laporan itu mengutip para pejabat AS yang tidak disebutkan namanya.
Surat kabar tersebut menggambarkan prospek Ukraina yang memiliki senjata nuklir sebagai "pencegah instan dan sangat besar" bagi Rusia."Tapi langkah seperti itu akan rumit dan memiliki implikasi serius," tulis surat kabar tersebut dalam laporannya.
Mantan Presiden Rusia Dmitry Medvedev menguraikan beberapa implikasi tersebut, dengan memperingatkan bahwa mentransfer senjata semacam itu dapat dianggap sebagai peluncuran serangan terhadap negara Rusia sesuai dengan doktrin nuklir Rusia telah diubah baru-baru ini.
Doktrin nuklir baru Rusia memungkinkan penggunaan senjata atom jika terjadi serangan nuklir pertama di wilayah atau infrastrukturnya, atau jika kedaulatan atau integritas teritorial Rusia terancam secara kritis oleh senjata nuklir atau konvensional.
Iterasi terbaru dari doktrin tersebut juga memungkinkan Moskow untuk memperlakukan serangan oleh negara non-nuklir yang didukung oleh kekuatan nuklir sebagai setara dengan agresi nuklir langsung.
Juru bicara Kremlin Dmitry Peskov menolak laporan New York Times. "Itu pertimbangan yang sama sekali tidak bertanggung jawab oleh orang-orang yang mungkin memiliki pemahaman yang buruk tentang realitas, dan yang tidak merasa sedikit pun bertanggung jawab atas konsekuensi dari proposal mereka," katanya.
Ukraina memiliki sekitar 1.700 hulu ledak nuklir setelah runtuhnya Uni Soviet. Stok tersebut secara teknis menjadikan Ukraina sebagai kekuatan nuklir terbesar ketiga di dunia saat itu meski senjata tersebut pada dasarnya tetap berada di bawah kendali operasional Rusia sebagai penerus Soviet.
Ribuan hulu ledak nuklir Ukraina itu kemudian diserahkan berdasarkan Memorandum Budapest 1994. Perjanjian ini melibatkan AS, Inggris, dan Rusia yang memberikan jaminan keamanan kepada Kyiv sebagai imbalan atas penarikan senjata tersebut.
Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky telah menyatakan penyesalan bahwa negaranya menyerahkan senjata nuklirnya kala itu, dan pada tahun 2022 menyatakan bahwa Kyiv memiliki hak penuh untuk membatalkan Memorandum Budapest 1994.
Pada bulan Oktober lalu, dia menyatakan bahwa Ukraina hanya memiliki dua pilihan untuk memastikan keamanannya, yakni bergabung dengan NATO atau memperoleh senjata nuklir.
Dia kemudian mengklarifikasi bahwa dirinya menganggap keanggotaan NATO sebagai satu-satunya pilihan Ukraina.
Namun, sebulan kemudian, sebuah lembaga think tank militer Ukraina meminta Zelensky untuk mendapatkan plutonium yang dibutuhkan untuk membuat bom atom sederhana, seperti yang dijatuhkan AS di Nagasaki selama Perang Dunia II.
Kementerian Luar Negeri Ukraina menyatakan bahwa Kyiv tidak akan mengindahkan saran tersebut, dan tidak bermaksud untuk memperoleh senjata nuklir.
Sekarang Gedung Putih memberikan jawaban yang jelas atas gagasan itu, yakni tidak.
Penasihat Keamanan Nasional Gedung Putih Jake Sullivan mengatakan kepada ABC News pada hari Minggu (1/12/2024) bahwa ide semacam itu "tidak sedang dipertimbangkan."
"Apa yang kami lakukan adalah meningkatkan berbagai kapasitas [senjata] konvensional ke Ukraina sehingga mereka dapat secara efektif mempertahankan diri dan melawan Rusia, bukan [memberi mereka] kemampuan nuklir," katanya.
Dua pekan lalu, New York Times dalam laporannya mengeklaim bahwa Presiden Joe Biden dapat mengizinkan Ukraina memiliki senjata nuklir lagi, seperti masa sebelum runtuhnya Uni Soviet. Laporan itu mengutip para pejabat AS yang tidak disebutkan namanya.
Surat kabar tersebut menggambarkan prospek Ukraina yang memiliki senjata nuklir sebagai "pencegah instan dan sangat besar" bagi Rusia."Tapi langkah seperti itu akan rumit dan memiliki implikasi serius," tulis surat kabar tersebut dalam laporannya.
Mantan Presiden Rusia Dmitry Medvedev menguraikan beberapa implikasi tersebut, dengan memperingatkan bahwa mentransfer senjata semacam itu dapat dianggap sebagai peluncuran serangan terhadap negara Rusia sesuai dengan doktrin nuklir Rusia telah diubah baru-baru ini.
Doktrin nuklir baru Rusia memungkinkan penggunaan senjata atom jika terjadi serangan nuklir pertama di wilayah atau infrastrukturnya, atau jika kedaulatan atau integritas teritorial Rusia terancam secara kritis oleh senjata nuklir atau konvensional.
Iterasi terbaru dari doktrin tersebut juga memungkinkan Moskow untuk memperlakukan serangan oleh negara non-nuklir yang didukung oleh kekuatan nuklir sebagai setara dengan agresi nuklir langsung.
Juru bicara Kremlin Dmitry Peskov menolak laporan New York Times. "Itu pertimbangan yang sama sekali tidak bertanggung jawab oleh orang-orang yang mungkin memiliki pemahaman yang buruk tentang realitas, dan yang tidak merasa sedikit pun bertanggung jawab atas konsekuensi dari proposal mereka," katanya.
Ukraina memiliki sekitar 1.700 hulu ledak nuklir setelah runtuhnya Uni Soviet. Stok tersebut secara teknis menjadikan Ukraina sebagai kekuatan nuklir terbesar ketiga di dunia saat itu meski senjata tersebut pada dasarnya tetap berada di bawah kendali operasional Rusia sebagai penerus Soviet.
Ribuan hulu ledak nuklir Ukraina itu kemudian diserahkan berdasarkan Memorandum Budapest 1994. Perjanjian ini melibatkan AS, Inggris, dan Rusia yang memberikan jaminan keamanan kepada Kyiv sebagai imbalan atas penarikan senjata tersebut.
Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky telah menyatakan penyesalan bahwa negaranya menyerahkan senjata nuklirnya kala itu, dan pada tahun 2022 menyatakan bahwa Kyiv memiliki hak penuh untuk membatalkan Memorandum Budapest 1994.
Pada bulan Oktober lalu, dia menyatakan bahwa Ukraina hanya memiliki dua pilihan untuk memastikan keamanannya, yakni bergabung dengan NATO atau memperoleh senjata nuklir.
Dia kemudian mengklarifikasi bahwa dirinya menganggap keanggotaan NATO sebagai satu-satunya pilihan Ukraina.
Namun, sebulan kemudian, sebuah lembaga think tank militer Ukraina meminta Zelensky untuk mendapatkan plutonium yang dibutuhkan untuk membuat bom atom sederhana, seperti yang dijatuhkan AS di Nagasaki selama Perang Dunia II.
Kementerian Luar Negeri Ukraina menyatakan bahwa Kyiv tidak akan mengindahkan saran tersebut, dan tidak bermaksud untuk memperoleh senjata nuklir.
(mas)
Lihat Juga :
tulis komentar anda