IMF Proyeksikan Perekonomian China Merosot di Tengah Perang Dagang dengan AS
Minggu, 03 November 2024 - 10:40 WIB
BEIJING - Dana Moneter Internasional (IMF) pada 22 Oktober menyampaikan laporan Prospek Ekonomi Dunia dan mendapati China berada dalam kondisi goyah dengan perkiraan pertumbuhan yang lebih rendah menjadi 4,8 persen di tahun 2024 dibandingkan dengan 5 persen pada 2023.
Penurunan ini diproyeksikan terjadi meski sejumlah paket stimulus telah disuntikkan oleh rezim Presiden China Xi Jinping dalam beberapa waktu terakhir.
Mengutip dari Financial Post, Minggu (3/11/2024), laporan terbaru IMF menyoroti sektor properti China yang melemah dan rendahnya belanja konsumen sebagai alasan utama kegagalan ekonominya.
IMF telah memperkirakan tingkat pertumbuhan China sebesar 4,5 persen pada tahun 2025, meski ada sejumlah langkah yang diambil seperti peningkatan ekspor neto dan lebih banyak dana yang dikeluarkan untuk mendukung pertumbuhan negara.
Kesengsaraan China tidak berakhir di sini karena perang dagangnya yang terus-menerus dengan Amerika Serikat (AS) telah mengakibatkan tarif baru yang saling dikenakan oleh kedua negara, dan tarif perdagangan ini memiliki konsekuensi ekonomi tersendiri bagi negara-negara di seluruh dunia.
Wakil Direktur IMF Gita Gopinath selama ini telah menyoroti eskalasi AS-China dan dampak globalnya bagi pihak lain.
"Kami melihat ada banyak perdagangan yang didorong faktor geopolitik di seluruh dunia. Itulah sebabnya jika Anda melihat perdagangan secara keseluruhan terhadap PDB, maka kondisinya bisa terlihat berjalan dengan baik. Tetapi, mengenai siapa yang berdagang dengan siapa, pastinya ada perubahan,” kata Gopinath dalam sebuah jumpa pers.
Peningkatan jumlah tarif perdagangan antara China, Uni Eropa, dan AS telah terjadi sepanjang 2024. Baik Uni Eropa (UE) maupun AS telah menyoroti praktik perdagangan yang tidak adil dan produksi berlebihan oleh China sebagai alasan untuk menaikkan tarif karena para pelaku industri lokal merasa tertipu.
China juga dalam tanggapannya menerapkan beberapa tarif sementara yang baru dan lebih tinggi pada sejumlah impor AS dan UE di saat ketegangannya dengan AS terus berlanjut.
Pernyataan Gopinath seputar kenaikan tarif oleh negara-negara ini menunjukkan bahwa hal itu cenderung berdampak buruk kepada semua pihak. Mengenai hubungan dagang AS-China dan dampak globalnya, dia berkata: “Hasil akan jauh lebih rendah daripada yang kami proyeksikan untuk semua negara di dunia, dan akan ada tekanan pada inflasi, jadi itu bukan arah yang seharusnya kita tuju.”
Komentar Gopinath muncul setelah Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva menyatakan kekhawatirannya tentang bagaimana perdagangan global tidak lagi bergantung pada praktik perdagangan yang baik, dan sekarang sebagian besarnya didorong tindakan perdagangan balasan yang diambil suatu negara terhadap para pesaingnya.
Tim Adams, CEO Institute of International Finance, juga memperingatkan terhadap usulan tarif yang datang dari calon presiden AS Donald Trump karena hal itu dapat membuka jalan bagi disinflasi dan akhirnya mengarah pada suku bunga yang meroket.
Gopinath dari IMF mengindikasikan bahwa stabilitas ekonomi dunia bergantung pada hubungan AS-China yang baik, dan tidak ada yang lebih baik jika ‘rasa kewarasan’ berlaku di antara negara-negara terkemuka. “Menjaga hubungan ini tetap stabil telah menjadi kepentingan semua pihak,” katanya.
Dalam laporan Prospek Ekonomi Dunia 2024, IMF mengatakan bahwa penggunaan kebijakan proteksionis yang berkelanjutan oleh sejumlah negara da[at memicu penurunan pertumbuhan ekonomi secara global.
IMF juga mengatakan bahwa ekonomi AS telah menjadi penggerak utama pertumbuhan global hingga akhir tahun ini dan tahun 2025, tetapi ekonomi China yang tergelincirlah yang berjuang melawan inflasi, dan aksi saling serang antar kedua negara itu telah menyebabkan meroketnya suku bunga tinggi di kancah global.
Laporan IMF selanjutnya menunjukkan bahwa pasar negara berkembang seperti India dan Brasil telah menonjol dalam hal peningkatan perkiraan IMF. Tetapi China, negara dengan ekonomi nomor dua dunia, telah bernasib di bawah ekspektasi pada 2024 dengan tingkat pertumbuhan di bawah tren sebesar 4,5 persen dan diperkirakan tergelincir di tahun 2025.
Laporan IMF juga memperingatkan terhadap kemungkinan risiko konflik bersenjata, potensi perang dagang baru, dan sisa dari kebijakan moneter ketat yang digunakan Federal Reserve AS dan bank sentral lainnya untuk mengendalikan inflasi.
"Hari ini, IMF melaporkan bahwa Amerika Serikat memimpin negara-negara maju dalam hal pertumbuhan untuk tahun kedua berturut-turut," kata Lael Brainard, Direktur Dewan Ekonomi Nasional Gedung Putih, dalam sebuah pernyataan.
Laporan IMF secara meyakinkan menyatakan: "Kemunduran menyeluruh dari sistem perdagangan global berbasis aturan mendorong banyak negara untuk mengambil tindakan sepihak. Intensifikasi kebijakan proteksionis tidak hanya akan memperburuk ketegangan perdagangan global dan mengganggu rantai pasokan global, tetapi juga dapat membebani prospek pertumbuhan jangka menengah."
IMF ingin dunia untuk duduk dan memperhatikan secara seksama perang dagang antara AS dan China, dan melihat bagaimana hal tersebut berdampak pada seluruh dunia.
Penurunan ini diproyeksikan terjadi meski sejumlah paket stimulus telah disuntikkan oleh rezim Presiden China Xi Jinping dalam beberapa waktu terakhir.
Mengutip dari Financial Post, Minggu (3/11/2024), laporan terbaru IMF menyoroti sektor properti China yang melemah dan rendahnya belanja konsumen sebagai alasan utama kegagalan ekonominya.
IMF telah memperkirakan tingkat pertumbuhan China sebesar 4,5 persen pada tahun 2025, meski ada sejumlah langkah yang diambil seperti peningkatan ekspor neto dan lebih banyak dana yang dikeluarkan untuk mendukung pertumbuhan negara.
Kesengsaraan China tidak berakhir di sini karena perang dagangnya yang terus-menerus dengan Amerika Serikat (AS) telah mengakibatkan tarif baru yang saling dikenakan oleh kedua negara, dan tarif perdagangan ini memiliki konsekuensi ekonomi tersendiri bagi negara-negara di seluruh dunia.
Wakil Direktur IMF Gita Gopinath selama ini telah menyoroti eskalasi AS-China dan dampak globalnya bagi pihak lain.
"Kami melihat ada banyak perdagangan yang didorong faktor geopolitik di seluruh dunia. Itulah sebabnya jika Anda melihat perdagangan secara keseluruhan terhadap PDB, maka kondisinya bisa terlihat berjalan dengan baik. Tetapi, mengenai siapa yang berdagang dengan siapa, pastinya ada perubahan,” kata Gopinath dalam sebuah jumpa pers.
Peningkatan jumlah tarif perdagangan antara China, Uni Eropa, dan AS telah terjadi sepanjang 2024. Baik Uni Eropa (UE) maupun AS telah menyoroti praktik perdagangan yang tidak adil dan produksi berlebihan oleh China sebagai alasan untuk menaikkan tarif karena para pelaku industri lokal merasa tertipu.
China juga dalam tanggapannya menerapkan beberapa tarif sementara yang baru dan lebih tinggi pada sejumlah impor AS dan UE di saat ketegangannya dengan AS terus berlanjut.
Meroketnya Suku Bunga
Pernyataan Gopinath seputar kenaikan tarif oleh negara-negara ini menunjukkan bahwa hal itu cenderung berdampak buruk kepada semua pihak. Mengenai hubungan dagang AS-China dan dampak globalnya, dia berkata: “Hasil akan jauh lebih rendah daripada yang kami proyeksikan untuk semua negara di dunia, dan akan ada tekanan pada inflasi, jadi itu bukan arah yang seharusnya kita tuju.”
Komentar Gopinath muncul setelah Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva menyatakan kekhawatirannya tentang bagaimana perdagangan global tidak lagi bergantung pada praktik perdagangan yang baik, dan sekarang sebagian besarnya didorong tindakan perdagangan balasan yang diambil suatu negara terhadap para pesaingnya.
Tim Adams, CEO Institute of International Finance, juga memperingatkan terhadap usulan tarif yang datang dari calon presiden AS Donald Trump karena hal itu dapat membuka jalan bagi disinflasi dan akhirnya mengarah pada suku bunga yang meroket.
Gopinath dari IMF mengindikasikan bahwa stabilitas ekonomi dunia bergantung pada hubungan AS-China yang baik, dan tidak ada yang lebih baik jika ‘rasa kewarasan’ berlaku di antara negara-negara terkemuka. “Menjaga hubungan ini tetap stabil telah menjadi kepentingan semua pihak,” katanya.
Dalam laporan Prospek Ekonomi Dunia 2024, IMF mengatakan bahwa penggunaan kebijakan proteksionis yang berkelanjutan oleh sejumlah negara da[at memicu penurunan pertumbuhan ekonomi secara global.
IMF juga mengatakan bahwa ekonomi AS telah menjadi penggerak utama pertumbuhan global hingga akhir tahun ini dan tahun 2025, tetapi ekonomi China yang tergelincirlah yang berjuang melawan inflasi, dan aksi saling serang antar kedua negara itu telah menyebabkan meroketnya suku bunga tinggi di kancah global.
Perang Dagang AS-China
Laporan IMF selanjutnya menunjukkan bahwa pasar negara berkembang seperti India dan Brasil telah menonjol dalam hal peningkatan perkiraan IMF. Tetapi China, negara dengan ekonomi nomor dua dunia, telah bernasib di bawah ekspektasi pada 2024 dengan tingkat pertumbuhan di bawah tren sebesar 4,5 persen dan diperkirakan tergelincir di tahun 2025.
Laporan IMF juga memperingatkan terhadap kemungkinan risiko konflik bersenjata, potensi perang dagang baru, dan sisa dari kebijakan moneter ketat yang digunakan Federal Reserve AS dan bank sentral lainnya untuk mengendalikan inflasi.
"Hari ini, IMF melaporkan bahwa Amerika Serikat memimpin negara-negara maju dalam hal pertumbuhan untuk tahun kedua berturut-turut," kata Lael Brainard, Direktur Dewan Ekonomi Nasional Gedung Putih, dalam sebuah pernyataan.
Laporan IMF secara meyakinkan menyatakan: "Kemunduran menyeluruh dari sistem perdagangan global berbasis aturan mendorong banyak negara untuk mengambil tindakan sepihak. Intensifikasi kebijakan proteksionis tidak hanya akan memperburuk ketegangan perdagangan global dan mengganggu rantai pasokan global, tetapi juga dapat membebani prospek pertumbuhan jangka menengah."
IMF ingin dunia untuk duduk dan memperhatikan secara seksama perang dagang antara AS dan China, dan melihat bagaimana hal tersebut berdampak pada seluruh dunia.
(mas)
tulis komentar anda