Apakah Arab Saudi Ikut Normalisasi dengan Israel? Ini Perkembangan Terbarunya
Jum'at, 01 November 2024 - 14:36 WIB
RIYADH - Apakah Arab Saudi ikut menormalisasi hubungan dengan Israel menyusul negara-negara Arab lainnya? Jawaban pastinya: tidak untuk sekarang ini.
Empat negara Arab telah menormalisasi hubungan dengan Israel melalui Abraham Accord atau Kesepakatan Abraham 2020 yang ditengahi Amerika Serikat (AS). Empat negara Arab tersebut adalah Uni Emirat Arab, Bahrain, Sudan, dan Maroko.
Dua negara Arab lainnya sudah melakukannya puluhan tahun silam, yakni Mesir dan Yordania.
Israel sudah lama "membidik" Arab Saudi dengan target normalisasi hubungan, namun kerajaan yang secara de facto dipimpin Putra Mahkota Mohammed bin Salman itu masih tegas menolak.
Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu mengatakan dia mengupayakan perdamaian dengan negara-negara Arab setelah setahun perang di Gaza dan Lebanon memicu kemarahan dunia Arab.
Netanyahu menyampaikan hal itu kepada anggota Parlemen Israel pada Senin lalu saat Washington berupaya menggalang dukungan negara-negara Arab untuk rencana jangka panjang pemerintahan pascaperang di Jalur Gaza, dan kesepakatan normalisasi lebih lanjut dengan Israel setelah Kesepakatan Abraham 2020.
"Saya bercita-cita untuk melanjutkan proses yang saya lalui beberapa tahun lalu, dengan penandatanganan Kesepakatan Abraham yang bersejarah, untuk mencapai perdamaian dengan negara-negara Arab lainnya," kata Netanyahu dalam pidatonya di hadapan para anggota Parlemen.
"Saya menekankan perdamaian demi perdamaian, perdamaian demi kekuatan dengan negara-negara penting di Timur Tengah," kata Netanyahu.
"Negara-negara ini dan negara-negara lain melihat dengan jelas pukulan yang kami berikan kepada mereka yang menyerang kami, poros kejahatan Iran," imbuh dia, dua hari setelah Israel mengebom target militer di Iran, sebagai balasan atas serangan ratusan rudal Iran terhadap Israel pada 1 Oktober lalu.
"Mereka terkesan dengan tekad dan keberanian kami. Seperti kami, mereka bercita-cita untuk Timur Tengah yang stabil, aman, dan makmur," ujarnya."
Menteri Luar Negeri Arab Saudi Pangeran Faisal bin Farhan mengecam "devaluasi" kehidupan Palestina oleh Israel, menegaskan kembali sikap Riyadh bahwa tidak akan ada normalisasi hubungan tanpa berdirinya Negara Palestina yang merdeka.
"Tingkat kehancuran di Gaza dan devaluasi yang nyata terhadap kehidupan manusia Palestina biasa akan memicu siklus yang merugikan semua pihak," kata Pangeran Faisal saat diwawancarai di Future Investment Initiative (FII) di Ibu Kota Arab Saudi, Riyadh, yang dilansir Al Arabiya English, Jumat (1/11/2024).
Diperkirakan lebih dari 40.000 warga Palestina telah tewas akibat pengeboman brutal Israel sejak Oktober lalu, ketika militer Israel mulai mengebom Gaza sebagai respons atas serangan Hamas pada 7 Oktober.
Israel juga secara rutin memblokir bantuan kemanusiaan agar tidak masuk ke daerah kantong itu, yang berpuncak pada peringatan terbaru dari AS bahwa jika lebih banyak bantuan tidak masuk, AS dapat mengambil tindakan khusus sebagai respons.
Washington dan pemerintahan Joe Biden sebagian besar dikritik karena gagal mengekang respons Israel terhadap serangan 7 Oktober dan mencegah apa yang disebut banyak orang sebagai genosida terhadap rakyat Palestina.
Ketika ditanya tentang penyebutan ini sebagai genosida, Pangeran Faisal mengatakan blokade terhadap akses apa pun ke barang-barang kemanusiaan, dengan serangan militer Israel yang terus berlanjut dan tidak ada jalur bagi warga sipil untuk menemukan tempat berlindung atau zona aman, "hanya dapat digambarkan sebagai bentuk genosida."
"Ini tentu saja melanggar hukum humaniter internasional, dan ini memicu siklus kekerasan yang berkelanjutan," katanya.
Meskipun perang telah berlangsung selama setahun, pemerintahan Biden terus menggembar-gemborkan kemungkinan menjadi perantara kesepakatan bagi Arab Saudi untuk menjalin hubungan diplomatik dengan Israel.
Pangeran Faisal mengatakan: "Itu bukan sekadar risiko; itu tidak akan terjadi sampai kita memiliki resolusi untuk negara Palestina."
Sebagai bagian dari kesepakatan yang diajukan oleh Washington, Arab Saudi juga akan menerima jaminan keamanan yang kuat dan akses ke senjata melalui AS.
Tanpa normalisasi, Arab Saudi "cukup senang" untuk menunggu sampai tuntutannya dipenuhi, kata Pangeran Faisal.
"Hubungan kerja dengan AS adalah salah satu yang terbaik yang pernah kita miliki, termasuk dalam ruang keamanan nasional, tetapi juga dalam masalah kerja sama ekonomi," ujarnya.
Arab Saudi meluncurkan inisiatif baru bulan lalu yang bertujuan untuk menerapkan solusi dua negara untuk memungkinkan warga Palestina menerima hak mereka untuk menentukan nasib sendiri.
Israel terus menolak untuk mengakui Negara Palestina atau membahas langkah-langkah yang diperlukan agar hal ini terjadi.
Pangeran Faisal mengatakan komentar Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu baru-baru ini yang, sekali lagi, gagal menyebutkan Palestina atau perlunya mengakhiri perang di Gaza sangat mengkhawatirkan.
“Itu memberi tahu saya bahwa ada kurangnya pemahaman yang nyata tentang realitas strategis. Kita berada di sini di wilayah ini, kita terjebak di wilayah ini, kita semua, Palestina dan semua orang. Dan kita harus menemukan cara untuk hidup bersama,” kata Pangeran Faisal.
"Kita akan terus berada dalam siklus kekerasan yang tidak menguntungkan siapa pun kecuali para ekstremis.”
Secara terpisah, Pangeran Faisal mengoreksi laporan berita baru-baru ini tentang latihan militer gabungan antara Arab Saudi dan Iran.
"Tidak ada latihan militer. Saya pikir, mengingat konteks regional saat ini, kecil kemungkinan akan ada latihan dalam waktu dekat," katanya.
Empat negara Arab telah menormalisasi hubungan dengan Israel melalui Abraham Accord atau Kesepakatan Abraham 2020 yang ditengahi Amerika Serikat (AS). Empat negara Arab tersebut adalah Uni Emirat Arab, Bahrain, Sudan, dan Maroko.
Dua negara Arab lainnya sudah melakukannya puluhan tahun silam, yakni Mesir dan Yordania.
Israel sudah lama "membidik" Arab Saudi dengan target normalisasi hubungan, namun kerajaan yang secara de facto dipimpin Putra Mahkota Mohammed bin Salman itu masih tegas menolak.
Baca Juga
Israel Ingin Berdamai dengan Negara-negara Arab
Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu mengatakan dia mengupayakan perdamaian dengan negara-negara Arab setelah setahun perang di Gaza dan Lebanon memicu kemarahan dunia Arab.
Netanyahu menyampaikan hal itu kepada anggota Parlemen Israel pada Senin lalu saat Washington berupaya menggalang dukungan negara-negara Arab untuk rencana jangka panjang pemerintahan pascaperang di Jalur Gaza, dan kesepakatan normalisasi lebih lanjut dengan Israel setelah Kesepakatan Abraham 2020.
"Saya bercita-cita untuk melanjutkan proses yang saya lalui beberapa tahun lalu, dengan penandatanganan Kesepakatan Abraham yang bersejarah, untuk mencapai perdamaian dengan negara-negara Arab lainnya," kata Netanyahu dalam pidatonya di hadapan para anggota Parlemen.
"Saya menekankan perdamaian demi perdamaian, perdamaian demi kekuatan dengan negara-negara penting di Timur Tengah," kata Netanyahu.
"Negara-negara ini dan negara-negara lain melihat dengan jelas pukulan yang kami berikan kepada mereka yang menyerang kami, poros kejahatan Iran," imbuh dia, dua hari setelah Israel mengebom target militer di Iran, sebagai balasan atas serangan ratusan rudal Iran terhadap Israel pada 1 Oktober lalu.
"Mereka terkesan dengan tekad dan keberanian kami. Seperti kami, mereka bercita-cita untuk Timur Tengah yang stabil, aman, dan makmur," ujarnya."
Arab Saudi Masih Menolak Normalisasi dengan Israel
Menteri Luar Negeri Arab Saudi Pangeran Faisal bin Farhan mengecam "devaluasi" kehidupan Palestina oleh Israel, menegaskan kembali sikap Riyadh bahwa tidak akan ada normalisasi hubungan tanpa berdirinya Negara Palestina yang merdeka.
"Tingkat kehancuran di Gaza dan devaluasi yang nyata terhadap kehidupan manusia Palestina biasa akan memicu siklus yang merugikan semua pihak," kata Pangeran Faisal saat diwawancarai di Future Investment Initiative (FII) di Ibu Kota Arab Saudi, Riyadh, yang dilansir Al Arabiya English, Jumat (1/11/2024).
Diperkirakan lebih dari 40.000 warga Palestina telah tewas akibat pengeboman brutal Israel sejak Oktober lalu, ketika militer Israel mulai mengebom Gaza sebagai respons atas serangan Hamas pada 7 Oktober.
Israel juga secara rutin memblokir bantuan kemanusiaan agar tidak masuk ke daerah kantong itu, yang berpuncak pada peringatan terbaru dari AS bahwa jika lebih banyak bantuan tidak masuk, AS dapat mengambil tindakan khusus sebagai respons.
Washington dan pemerintahan Joe Biden sebagian besar dikritik karena gagal mengekang respons Israel terhadap serangan 7 Oktober dan mencegah apa yang disebut banyak orang sebagai genosida terhadap rakyat Palestina.
Ketika ditanya tentang penyebutan ini sebagai genosida, Pangeran Faisal mengatakan blokade terhadap akses apa pun ke barang-barang kemanusiaan, dengan serangan militer Israel yang terus berlanjut dan tidak ada jalur bagi warga sipil untuk menemukan tempat berlindung atau zona aman, "hanya dapat digambarkan sebagai bentuk genosida."
"Ini tentu saja melanggar hukum humaniter internasional, dan ini memicu siklus kekerasan yang berkelanjutan," katanya.
Meskipun perang telah berlangsung selama setahun, pemerintahan Biden terus menggembar-gemborkan kemungkinan menjadi perantara kesepakatan bagi Arab Saudi untuk menjalin hubungan diplomatik dengan Israel.
Pangeran Faisal mengatakan: "Itu bukan sekadar risiko; itu tidak akan terjadi sampai kita memiliki resolusi untuk negara Palestina."
Sebagai bagian dari kesepakatan yang diajukan oleh Washington, Arab Saudi juga akan menerima jaminan keamanan yang kuat dan akses ke senjata melalui AS.
Tanpa normalisasi, Arab Saudi "cukup senang" untuk menunggu sampai tuntutannya dipenuhi, kata Pangeran Faisal.
"Hubungan kerja dengan AS adalah salah satu yang terbaik yang pernah kita miliki, termasuk dalam ruang keamanan nasional, tetapi juga dalam masalah kerja sama ekonomi," ujarnya.
Arab Saudi meluncurkan inisiatif baru bulan lalu yang bertujuan untuk menerapkan solusi dua negara untuk memungkinkan warga Palestina menerima hak mereka untuk menentukan nasib sendiri.
Israel terus menolak untuk mengakui Negara Palestina atau membahas langkah-langkah yang diperlukan agar hal ini terjadi.
Pangeran Faisal mengatakan komentar Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu baru-baru ini yang, sekali lagi, gagal menyebutkan Palestina atau perlunya mengakhiri perang di Gaza sangat mengkhawatirkan.
“Itu memberi tahu saya bahwa ada kurangnya pemahaman yang nyata tentang realitas strategis. Kita berada di sini di wilayah ini, kita terjebak di wilayah ini, kita semua, Palestina dan semua orang. Dan kita harus menemukan cara untuk hidup bersama,” kata Pangeran Faisal.
"Kita akan terus berada dalam siklus kekerasan yang tidak menguntungkan siapa pun kecuali para ekstremis.”
Secara terpisah, Pangeran Faisal mengoreksi laporan berita baru-baru ini tentang latihan militer gabungan antara Arab Saudi dan Iran.
"Tidak ada latihan militer. Saya pikir, mengingat konteks regional saat ini, kecil kemungkinan akan ada latihan dalam waktu dekat," katanya.
(mas)
tulis komentar anda