Program Relokasi Paksa China Cenderung Miskinkan Warga Tibet

Rabu, 11 September 2024 - 16:17 WIB
Program relokasi paksa China dinilai cenderung miskinkan warga Tibet. Foto/WeChat/Gongjue Pioneers/HRW
BEIJING - Pemerintah China telah secara sistematis menghapus ratusan desa dan mengusir para pengembara Tibet dari tanah leluhur mereka.

Warga dari ratusan desa tersebut dipindahkan secara paksa ke pemukiman terpusat dengan kedok "pengentasan kemiskinan" dan perlindungan lingkungan, menurut keterangan akademisi dan cendekiawan Pema Gyalpo asal Jepang di situs berita Japan Forward, Rabu (11/9/2024).

Kampanye relokasi massal ini telah meningkat secara dramatis sejak 2016. Kampanye ini mengikis budaya Tibet, mengganggu mata pencaharian tradisional, dan membuat banyak keluarga yang direlokasi menjadi miskin dan bergantung pada subsidi pemerintah.



Relokasi Sistematis Massal



Menurut laporan terbaru Human Rights Watch (HRW), lebih dari 930.000 warga pedesaan Tibet telah direlokasi sejak tahun 2000. Sebanyak 76 persen dari relokasi ini terjadi sejak 2016.

“Pemerintah China membingkai relokasi ini sebagai upaya pengentasan kemiskinan sukarela. Namun, bukti menunjukkan bahwa relokasi tersebut sering kali bersifat koersif dan didorong agenda politik Beijing untuk mengasimilasi warga Tibet dan memperketat kendali atas wilayah tersebut,” kata Pema.



Banyak dari relokasi ini melibatkan pemindahan seluruh desa ratusan kilometer dari rumah asal mereka.

Pihak berwenang menyebut warga Tibet yang direlokasi sebagai "penjaga perbatasan”, yang pada dasarnya mengubah mereka menjadi penjaga sipil di sepanjang perbatasan yang disengketakan antara China dengan India, Nepal, dan Bhutan.

Citra satelit menunjukkan bahwa China telah secara strategis menempatkan pemukiman baru di dekat hampir setiap jalur Himalaya yang dapat diakses di sepanjang perbatasan ini.

Meski secara resmi bersifat sipil, desa-desa perbatasan ini menyediakan infrastruktur yang dapat mendukung pengerahan militer yang cepat jika diperlukan.

Lebih berbahaya lagi, relokasi ini berfungsi sebagai bentuk "rekayasa demografi”, yang secara permanen mengubah populasi wilayah yang disengketakan untuk memperkuat klaim teritorial China.

Hilangnya Kemandirian Ekonomi



Namun bagi warga Tibet, relokasi ini sering kali menyebabkan kesulitan ekonomi dan dislokasi budaya. Penggembala nomaden tradisional terpaksa menjual hewan ternak dan meninggalkan padang rumput mereka.

Petani dipindahkan dari ladang leluhur mereka. Di rumah baru mereka, banyak yang berjuang untuk mencari pekerjaan atau memenuhi kebutuhan hidup.

Sebuah dokumen pemerintah daerah yang ditinjau oleh The New York Times mengindikasikan beberapa penduduk desa mungkin menerima sekitar 20.000 yuan (kurang dari USD3.000) per tahun untuk relokasi.

Beberapa mendapatkan penghasilan tambahan dari pekerjaan patroli perbatasan. Namun bagi banyak orang, relokasi berarti hilangnya kemandirian ekonomi sepenuhnya.



Kebijakan relokasi China tampaknya tidak hanya mengendalikan populasi Tibet, tetapi juga secara mendasar membentuk kembali masyarakat dan budaya Tibet.

Kehidupan beragama jelas tidak ada di permukiman baru. Tidak ada biara atau kuil Buddha yang dapat ditemukan.

Sebaliknya, desa-desa didominasi oleh simbol-simbol negara China—bendera nasional dan potret Presiden Xi Jinping menghiasi dinding dan tiang lampu di seluruh desa.

Penghapusan budaya ini bukanlah suatu kebetulan. Pema mengatakan program relokasi berfungsi sebagai propaganda, sebuah pertunjukan kekuatan dan keunggulan China di wilayah tersebut.

Ini adalah rekayasa sosial yang bertujuan mengasimilasi orang Tibet ke dalam masyarakat China arus utama.

Menghapus Budaya Tibet



Relokasi massal hanyalah satu komponen dari upaya China yang lebih luas untuk membentuk kembali Tibet. Peningkatan pengawasan, pembatasan praktik keagamaan, dan kebijakan pendidikan bahasa Mandarin semuanya berfungsi untuk melemahkan identitas dan otonomi Tibet.

Namun, relokasi paksa tersebut sangat menghancurkan dalam cakupan dan dampaknya terhadap cara hidup tradisional. Sebuah laporan HRW menyoroti bagaimana otoritas China menggunakan taktik koersif untuk mengatasi keengganan orang Tibet untuk pindah.

Pejabat melakukan kunjungan rumah berulang kali, mengancam dengan hukuman, dan memperingatkan bahwa layanan penting akan diputus bagi mereka yang menolak untuk pindah.

Otoritas tingkat tinggi menekan pejabat lokal untuk memenuhi kuota relokasi, membingkai program tersebut sebagai kebijakan yang tidak dapat dinegosiasikan bagi Beijing.

“Bahkan ketika relokasi dibingkai sebagai sukarela, keluarga Tibet sering kali disesatkan tentang prospek ekonomi rumah baru mereka,” tutur Pema.

Survei yang dilakukan oleh para cendekiawan China menemukan bahwa banyak warga Tibet yang direlokasi tidak dapat menemukan pekerjaan yang sesuai untuk menghidupi keluarga mereka dan melaporkan kepuasan yang rendah terhadap keadaan baru mereka.

Seluruh Desa Direlokasi



Skala relokasi ini mengejutkan. Di luar 140.000 warga Tibet pedesaan yang dipindahkan melalui "relokasi seluruh desa”, 567.000 lainnya mungkin telah direlokasi melalui program "rumah tangga individu" sejak 2016.

Secara total, HRW memperkirakan bahwa berbagai program relokasi dan "sedentarisasi" telah memengaruhi sebagian besar dari 4,55 juta penduduk pedesaan Tibet.

Pendekatan China terhadap etnis minoritas, khususnya di Tibet, mengungkap strategi yang sangat manipulatif yang bertujuan menghapus identitas budaya yang berbeda. Dengan kedok pengentasan kemiskinan dan modernisasi, pemerintah China secara sistematis merusak budaya minoritas.

Hal itu dicapai melalui relokasi paksa, kebijakan bahasa yang mendukung bahasa Mandarin, dan kontrol ketat terhadap praktik keagamaan.

Menghancurkan Keberagaman



Pema mengatakan taktik-taktik ini bukan hanya tentang pembangunan ekonomi atau keamanan nasional. Taktik-taktik ini mencerminkan upaya bersama untuk menyeragamkan populasi yang beragam menjadi satu identitas China yang disetujui negara.

“Dengan mencabut komunitas dari tanah leluhur mereka, memutuskan hubungan dengan mata pencaharian tradisional, dan membanjiri daerah-daerah minoritas dengan pemukim Tionghoa Han, Beijing berupaya untuk mengencerkan dan akhirnya menghapus identitas etnis yang unik,” ungkapnya.

Pendekatan pemerintah yang keras kepala menunjukkan pengabaian mendasar terhadap nilai keragaman budaya. Pendekatan ini, kata Pema, merusak hak-hak populasi minoritas untuk mempertahankan cara hidup yang berbeda.

“Penghapusan budaya ini, yang disamarkan sebagai kemajuan, merupakan bentuk pembersihan etnis yang lembut yang mengancam untuk secara permanen mengubah jalinan etnis yang kaya di dalam perbatasan China,” sambung dia.

Hukum internasional melarang penggusuran paksa, menjadikan program relokasi paksa China sebagai pelanggaran hak asasi manusia yang jelas.

Penggusuran massal komunitas Tibet mengancam untuk merusak budaya dan identitas Tibet secara permanen. Dengan cara itu, identitas Tibet berada di tangan negara-partai China dan diberantas berdasarkan arahan kebijakan yang berbeda.

Mimpi Buruk Ekspansionis Beijing Berlanjut



Bukti-bukti menggambarkan gambaran yang jelas tentang kampanye sistematis untuk membentuk kembali demografi Tibet, mengonsolidasikan kendali negara, dan mengikis identitas budaya Tibet. Jauh dari pengentasan kemiskinan, relokasi paksa ini menciptakan kelas warga Tibet miskin yang terusir.

Mereka telah dibuat bergantung pada subsidi negara dan terputus dari mata pencaharian tradisional dan akar budaya mereka. Seiring China yang terus memperketat cengkeramannya di Tibet, masyarakat internasional harus menentang relokasi paksa ini dan kebijakan lain yang mengancam budaya dan otonomi Tibet.

Tanpa intervensi, sebut Pema, kampanye rekayasa demografi dan penghapusan budaya di Tibet hanya akan semakin cepat. Kampanye ini berpotensi menghancurkan salah satu budaya paling unik dan semarak di dunia.

"Gaya imperialisme dan kolonialisme China yang unik, seperti yang mungkin ingin dilabeli oleh Beijing, melihat Tibet sebagai mangsa dan korban pertamanya. Namun, impian besar dan ambisius China untuk melakukan ekspansi tidak berhenti di situ,” kata Pema.

“Anda dapat melihat apa yang terjadi di Mongolia Selatan dan Turkistan Timur (alias Daerah Otonomi Uighur). Semua warga dari negara tetangga China dapat menghadapi nasib yang sama, kecuali dunia secara sadar meningkatkan kewaspadaan,” pungkasnya.
(mas)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More