Salahkan AS, Akademisi China Warning Asia Bisa Jadi Panggung Perang Dunia III
Kamis, 29 Agustus 2024 - 11:02 WIB
BEIJING - Seorang akademisi terkemuka China memperingatkan bahwa Asia bisa berubah menjadi panggung utama Perang Dunia III karena kebijakan Amerika Serikat (AS) dan sekutunya.
Zheng Yongnian, seorang profesor di kampus University of Hong Kong’s Shenzhen, telah memperingatkan bahwa China dapat menemukan dirinya di "pusat badai" saat AS menyelaraskan kembali fokus strategis NATO.
Dia juga memperingatkan bahwa meningkatnya ketegangan nuklir di semenanjung Korea dapat memicu krisis.
"Meskipun AS mengeklaim mencapai perdamaian di Asia di bawah kepemimpinannya, kenyataannya justru sebaliknya—Asia, di bawah dominasi AS, dengan cepat meluncur menuju perang," katanya, yang dilansir South China Morning Post (SCMP), Kamis (29/8/2024), mengutip dari artikelnya yang pertama kali diterbitkan minggu lalu di WeChat.
Komentar tersebut dirilis hanya beberapa hari sebelum kunjungan Penasihat Keamanan Nasional AS Jake Sullivan ke China untuk "dialog strategis" dengan Menteri Luar Negeri Wang Yi.
Zheng berpendapat bahwa kawasan Asia-Pasifik kemungkinan akan menjadi titik fokus dari setiap konflik dunia di masa depan, mengingat kombinasi kepentingan ekonomi, keterlibatan AS, upaya untuk menciptakan mitra Asia bagi NATO, modernisasi militer, dan meningkatnya nasionalisme.
Meskipun ada upaya dari AS dan China untuk mengelola ketegangan, perpecahan yang signifikan masih terjadi pada berbagai isu, termasuk perdagangan, teknologi, dan antariksa.
Selain itu, Laut China Selatan dan Selat Taiwan terus menjadi titik api potensial yang besar.
Beijing menganggap Taiwan sebagai bagian dari wilayah China yang harus disatukan kembali dengan daratan China, bahkan dengan kekerasan jika perlu.
Sementara sebagian besar negara, termasuk AS, tidak secara resmi mengakui Taiwan sebagai negara merdeka, Washington menentang segala upaya untuk merebut pulau itu secara paksa dan secara hukum berkomitmen untuk menyediakan senjata untuk mendukung pertahanan diri Taiwan.
Zheng mengatakan bahwa AS "sangat tertanam di Asia" dan semakin menjadi "penyelenggara utama" konflik di kawasan tersebut.
"Sejak AS beralih ke Asia pada akhir tahun 2011, AS telah membentuk sedikitnya tujuh aliansi mini-multilateral, yang semuanya ditujukan untuk melawan China," imbuh Zheng, meskipun dia tidak menyebutkan perjanjian mana yang dia maksud.
Dia juga mencatat bahwa tujuan utama AS adalah untuk memprovokasi "pergeseran strategis" dalam fokus NATO untuk menganggap China sebagai ancaman besar, yang mengharuskan negara-negara Eropa terkemuka memandang China dalam sudut pandang ini.
SCMP melaporkan hubungan China dengan Uni Eropa telah memburuk dalam beberapa tahun terakhir karena ketidaksepakatan yang signifikan atas isu-isu seperti subsidi untuk kendaraan listrik, hak asasi manusia, dan hubungan Beijing yang semakin erat dengan Rusia.
Selain itu, negara-negara anggota utama Uni Eropa, termasuk Prancis dan Jerman, telah meningkatkan keterlibatan mereka di kawasan Indo-Pasifik.
Zheng mengamati bahwa meskipun AS menegaskan tindakannya dimaksudkan untuk "menahan" potensi konflik yang berasal dari perilaku China, pada kenyataannya, AS "membangun kerangka kerja perang global."
"China tidak diragukan lagi adalah 'mata badai' dalam situasi geopolitik ini...Tentu saja, mengatasi pergeseran geopolitik yang mendalam ini adalah tantangan paling berat bagi generasi kita," paparnya.
Zheng juga memperingatkan bahwa AS sedang berupaya menciptakan mitra Asia bagi NATO.
Dalam beberapa tahun terakhir, AS telah berupaya memperkuat jaringan aliansinya dengan negara-negara seperti Filipina, Jepang, dan Korea Selatan, serta telah membentuk kemitraan baru seperti Aukus dengan Inggris dan Australia serta Quad dengan Jepang, India, dan Australia.
Selain itu, Australia, Jepang, Korea Selatan, dan Selandia Baru telah diundang ke pertemuan puncak NATO baru-baru ini—sebuah langkah yang digambarkan oleh Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken sebagai upaya untuk "meruntuhkan sekat-sekat antara Eropa, Asia, dan Amerika Serikat".
Zheng mencatat bahwa Jepang telah memainkan peran utama sebagai "proksi" Amerika dan semakin bertindak sebagai jembatan antara Eropa dan Asia Timur Laut.
Dia menunjukkan bahwa perkembangan seperti pakta pertahanan bersama baru-baru ini antara Rusia dan Korea Utara juga memengaruhi situasi, mendorong Jepang, Korea Selatan, dan AS untuk memperkuat aliansi pertahanan mereka sendiri karena kekhawatiran atas kemampuan nuklir Pyongyang.
Sementara banyak pengamat mengaitkan pakta tersebut dengan kebutuhan mendesak Rusia untuk mendapatkan dukungan militer di Ukraina dan keinginan Korea Utara untuk mendapatkan teknologi militer canggih, Zheng berpendapat bahwa tindakan AS juga merupakan faktor signifikan di balik penataan ulang strategis ini.
Lihat Juga: Laksamana Amerika Ketir-ketir Rusia Bakal Bantu China Pangkas Dominasi Militer AS, Begini Caranya
Zheng Yongnian, seorang profesor di kampus University of Hong Kong’s Shenzhen, telah memperingatkan bahwa China dapat menemukan dirinya di "pusat badai" saat AS menyelaraskan kembali fokus strategis NATO.
Dia juga memperingatkan bahwa meningkatnya ketegangan nuklir di semenanjung Korea dapat memicu krisis.
"Meskipun AS mengeklaim mencapai perdamaian di Asia di bawah kepemimpinannya, kenyataannya justru sebaliknya—Asia, di bawah dominasi AS, dengan cepat meluncur menuju perang," katanya, yang dilansir South China Morning Post (SCMP), Kamis (29/8/2024), mengutip dari artikelnya yang pertama kali diterbitkan minggu lalu di WeChat.
Baca Juga
Komentar tersebut dirilis hanya beberapa hari sebelum kunjungan Penasihat Keamanan Nasional AS Jake Sullivan ke China untuk "dialog strategis" dengan Menteri Luar Negeri Wang Yi.
Zheng berpendapat bahwa kawasan Asia-Pasifik kemungkinan akan menjadi titik fokus dari setiap konflik dunia di masa depan, mengingat kombinasi kepentingan ekonomi, keterlibatan AS, upaya untuk menciptakan mitra Asia bagi NATO, modernisasi militer, dan meningkatnya nasionalisme.
Meskipun ada upaya dari AS dan China untuk mengelola ketegangan, perpecahan yang signifikan masih terjadi pada berbagai isu, termasuk perdagangan, teknologi, dan antariksa.
Selain itu, Laut China Selatan dan Selat Taiwan terus menjadi titik api potensial yang besar.
Beijing menganggap Taiwan sebagai bagian dari wilayah China yang harus disatukan kembali dengan daratan China, bahkan dengan kekerasan jika perlu.
Sementara sebagian besar negara, termasuk AS, tidak secara resmi mengakui Taiwan sebagai negara merdeka, Washington menentang segala upaya untuk merebut pulau itu secara paksa dan secara hukum berkomitmen untuk menyediakan senjata untuk mendukung pertahanan diri Taiwan.
Zheng mengatakan bahwa AS "sangat tertanam di Asia" dan semakin menjadi "penyelenggara utama" konflik di kawasan tersebut.
"Sejak AS beralih ke Asia pada akhir tahun 2011, AS telah membentuk sedikitnya tujuh aliansi mini-multilateral, yang semuanya ditujukan untuk melawan China," imbuh Zheng, meskipun dia tidak menyebutkan perjanjian mana yang dia maksud.
Dia juga mencatat bahwa tujuan utama AS adalah untuk memprovokasi "pergeseran strategis" dalam fokus NATO untuk menganggap China sebagai ancaman besar, yang mengharuskan negara-negara Eropa terkemuka memandang China dalam sudut pandang ini.
SCMP melaporkan hubungan China dengan Uni Eropa telah memburuk dalam beberapa tahun terakhir karena ketidaksepakatan yang signifikan atas isu-isu seperti subsidi untuk kendaraan listrik, hak asasi manusia, dan hubungan Beijing yang semakin erat dengan Rusia.
Selain itu, negara-negara anggota utama Uni Eropa, termasuk Prancis dan Jerman, telah meningkatkan keterlibatan mereka di kawasan Indo-Pasifik.
Zheng mengamati bahwa meskipun AS menegaskan tindakannya dimaksudkan untuk "menahan" potensi konflik yang berasal dari perilaku China, pada kenyataannya, AS "membangun kerangka kerja perang global."
"China tidak diragukan lagi adalah 'mata badai' dalam situasi geopolitik ini...Tentu saja, mengatasi pergeseran geopolitik yang mendalam ini adalah tantangan paling berat bagi generasi kita," paparnya.
Zheng juga memperingatkan bahwa AS sedang berupaya menciptakan mitra Asia bagi NATO.
Dalam beberapa tahun terakhir, AS telah berupaya memperkuat jaringan aliansinya dengan negara-negara seperti Filipina, Jepang, dan Korea Selatan, serta telah membentuk kemitraan baru seperti Aukus dengan Inggris dan Australia serta Quad dengan Jepang, India, dan Australia.
Selain itu, Australia, Jepang, Korea Selatan, dan Selandia Baru telah diundang ke pertemuan puncak NATO baru-baru ini—sebuah langkah yang digambarkan oleh Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken sebagai upaya untuk "meruntuhkan sekat-sekat antara Eropa, Asia, dan Amerika Serikat".
Zheng mencatat bahwa Jepang telah memainkan peran utama sebagai "proksi" Amerika dan semakin bertindak sebagai jembatan antara Eropa dan Asia Timur Laut.
Dia menunjukkan bahwa perkembangan seperti pakta pertahanan bersama baru-baru ini antara Rusia dan Korea Utara juga memengaruhi situasi, mendorong Jepang, Korea Selatan, dan AS untuk memperkuat aliansi pertahanan mereka sendiri karena kekhawatiran atas kemampuan nuklir Pyongyang.
Sementara banyak pengamat mengaitkan pakta tersebut dengan kebutuhan mendesak Rusia untuk mendapatkan dukungan militer di Ukraina dan keinginan Korea Utara untuk mendapatkan teknologi militer canggih, Zheng berpendapat bahwa tindakan AS juga merupakan faktor signifikan di balik penataan ulang strategis ini.
Lihat Juga: Laksamana Amerika Ketir-ketir Rusia Bakal Bantu China Pangkas Dominasi Militer AS, Begini Caranya
(mas)
tulis komentar anda