Apa Dampak Pembunuhan Pemimpin Hamas Ismail Haniyeh bagi Israel?
Sabtu, 03 Agustus 2024 - 11:45 WIB
TEL AVIV - Pembunuhan kepala politik Hamas Ismail Haniyeh pada hari Rabu (31/7/2024) berisiko menyebabkan wilayah tersebut terjerumus ke dalam konflik yang lebih luas.
Tak hanya itu, pembunuhan itu dapat membantu atau merusak prospek kesepakatan gencatan senjata untuk mengakhiri perang Israel di Gaza, menurut beberapa analis mengatakan kepada Al Jazeera.
Haniyeh terbunuh setelah menghadiri pelantikan Presiden Iran yang reformis Masoud Pezeshkian di ibu kota Iran, Teheran.
Hamas menyalahkan pembunuhan itu pada Israel, dengan mengatakan Haniyeh terbunuh dalam "serangan berbahaya Zionis di kediamannya di Teheran". Tidak ada komentar langsung dari Israel.
Serangan itu terjadi beberapa jam setelah Israel menyerang satu gedung pada Selasa malam di Dahiya, lingkungan yang ramai di ibu kota Lebanon, Beirut, menewaskan Fuad Shukr, seorang komandan tinggi dari kelompok bersenjata Lebanon, Hizbullah.
Serangan di Beirut terjadi tiga hari setelah serangan yang menewaskan 12 anak Druze di Dataran Tinggi Golan yang diduduki Israel, yang oleh Israel dituduhkan dilakukan Hizbullah, meskipun kelompok Lebanon itu menyangkal bertanggung jawab.
Lantas, apa dampak pembunuhan Haniyeh bagi Israel?
Pembunuhan Haniyeh dan Shukr akan mendorong Iran dan Hizbullah untuk menanggapi dengan hati-hati guna menghindari konflik regional yang lebih besar.
Para diplomat dari Amerika Serikat dan Uni Eropa dilaporkan tengah berunding dengan mitra regional mereka, untuk mencoba mencegah krisis semakin memburuk.
Upaya Uni Eropa diyakini difokuskan pada Iran, yang para pemimpinnya telah bersumpah melakukan "balas dendam yang keras" terhadap Israel, yang mereka salahkan atas pembunuhan Haniyeh di Teheran.
Namun, setiap pembalasan, meskipun terukur, meningkatkan kemungkinan eskalasi lebih lanjut, menurut analis regional kepada Al Jazeera.
Para ahli tidak yakin bagaimana Hamas, yang memerintah Gaza, akan atau dapat menanggapi, mengingat mereka telah terlibat dalam perang selama 10 bulan dengan Israel.
“Serangan terhadap dua ibu kota regional dan penargetan dua pemimpin senior poros perlawanan, jaringan kelompok bersenjata regional yang menentang hegemoni Israel-AS di kawasan tersebut, merupakan eskalasi yang dapat memperluas perang ini ke berbagai front," ungkap Negar Mortazavi, pakar Iran dan peneliti senior di Center for International Policy.
"(Namun) saya tidak berpikir Iran menginginkan eskalasi besar," ungkap dia kepada Al Jazeera. "Mereka menghindarinya pada bulan April ketika mereka melihat serangan Israel terhadap konsulat mereka di Suriah sebagai pelanggaran batas, dan Iran membalas, tetapi dengan cara yang meminimalkan dampak (serangan mereka) untuk menghindari eskalasi besar.”
"Saya memperkirakan situasi serupa akan terjadi lagi kali ini,” papar dia.
Mortazavi merujuk pada serangan Iran pada April ketika negara itu menembakkan rentetan rudal dan pesawat nirawak ke Israel sebagai tanggapan atas serangan udara terhadap gedung konsulat Iran di Suriah, yang menewaskan tujuh orang termasuk dua jenderal Iran.
Otoritas Iran menyalahkan Israel atas serangan itu. Pejabat Iran juga berulang kali mengatakan negara-negara regional diberi peringatan 72 jam sebelum serangan diluncurkan ke Israel.
Pembunuhan Haniyeh, seorang lawan bicara utama Israel dalam negosiasi untuk mengakhiri perang di Gaza, dapat menyabotase atau mempercepat kesepakatan damai, menurut para analis.
Perang Israel yang menghancurkan di Gaza telah menewaskan hampir 40.000 orang, mengusir hampir seluruh populasi yang berjumlah 2,3 juta orang dan menyebabkan apa yang disebut para ahli PBB sebagai kelaparan di daerah kantong itu.
Selama beberapa bulan terakhir, Hamas dan Israel telah terlibat dalam pembicaraan gencatan senjata yang bertujuan mengakhiri pembunuhan di Gaza dan membebaskan tawanan Israel dengan imbalan ribuan tahanan Palestina, yang berisiko mengalami penyiksaan di penjara-penjara Israel.
Namun, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu sering kali merusak pembicaraan gencatan senjata, menurut para kritikus dan ahli.
Mereka menuduh Netanyahu, yang popularitasnya sedang berada pada titik terendah sepanjang masa, tidak ingin mengakhiri perang karena takut hal itu dapat meruntuhkan pemerintahan koalisi sayap kanannya dan memicu pemilihan umum lebih awal.
Namun, Mairav Zonszein, pakar Israel-Palestina untuk International Crisis Group, yakin Netanyahu dapat mencoba menggembar-gemborkan pembunuhan Haniyeh sebagai "kemenangan" bagi Israel, sehingga secara politis lebih memungkinkan baginya untuk menyetujui gencatan senjata.
"Berlawanan dengan intuisi, beberapa pejabat Israel mungkin mengatakan (pembunuhan) ini membawa kita lebih dekat ke gencatan senjata, karena kita memiliki narasi kemenangan sekarang," ujar Zonszein.
Azmi Keshawi, peneliti Crisis Group dan pakar Hamas, yakin Israel harus segera menyetujui kesepakatan jika mereka dapat memanfaatkan momentum pembunuhan Haniyeh.
Banyak warga Israel menyerukan gencatan senjata untuk membebaskan para tawanan di Gaza dan meredakan tekanan terhadap tentara Israel, yang kekurangan peralatan, amunisi, dan pasukan cadangan yang semakin menolak bertugas.
Keshawi menambahkan jika Israel berlarut-larut dalam negosiasi, mereka mungkin menganggap pengganti Haniyeh kurang berkompromi.
“Haniyeh tidak dianggap sebagai garis keras. Dia adalah orang yang mempersatukan dan dia siap berkompromi. Sekarang dengan ketidakhadirannya, (Israel) mungkin perlu berurusan dengan orang garis keras dari (petinggi) Hamas,” ungkap dia kepada Al Jazeera.
“Jika Israel dan AS cerdas, maka mereka akan mengambil citra kemenangan yang mereka cari untuk keluar dari Gaza,” papar dia.
Serangan yang dipimpin Hamas pada 7 Oktober dipandang oleh orang Israel dan pakar keamanan sebagai kegagalan besar intelijen Israel.
Namun pembunuhan Haniyeh telah membantu memulihkan kepercayaan banyak orang Israel pada aparat keamanan dan intelijen mereka, menurut Ori Goldberg, komentator dan analis Israel.
“Serangan ini memberi kehidupan baru pada jajaran tinggi tentara Israel. Mereka berkata, ‘Hei, kita masih bisa melakukan banyak hal dan kita tidak setidak kompeten yang terlihat’,” ujar Goldberg kepada Al Jazeera.
“Namun pembunuhan Haniyeh di Teheran merupakan pukulan besar bagi harga diri Iran dan bukan sesuatu yang bisa diabaikan,” tegas dia.
Imad Salamey, ilmuwan politik dan sarjana di Universitas Amerika Lebanon, meyakini Iran dan "proksinya" yang merujuk pada kelompok bersenjata yang bersekutu dengan Iran akan merasa terdorong untuk menanggapi, menggemakan pandangan beberapa analis lainnya.
"(Serangan Israel) dapat memicu pembalasan terkoordinasi oleh proksi Iran di Lebanon, Yaman, dan Irak, dengan menggunakan senjata yang lebih canggih dan mematikan," papar dia.
"Namun, Iran kemungkinan akan mendukung konflik dengan intensitas rendah, yang bertujuan menyeret Israel ke dalam perang atrisi yang berkepanjangan dan mahal."
Amerika Serikat memikul tanggung jawab terbesar karena membiarkan Israel berpotensi menggagalkan perundingan gencatan senjata Gaza dan memicu eskalasi regional, menurut Omar Rahman, pakar Israel-Palestina untuk Dewan Hubungan Luar Negeri Timur Tengah di Doha, Qatar.
"Karena dukungan AS yang tanpa syarat, Israel merasa berdaya untuk bertindak sesuai keinginannya dan manifestasi terbaru dari itu adalah peristiwa baru-baru ini di Beirut dan Teheran,” ujar Rahman kepada Al Jazeera.
“Dukungan AS (terhadap Israel) adalah salah satu faktor utama di balik semua yang terjadi sejak 7 Oktober, dan ancaman perang regional juga berasal dari sana,” pungkas dia.
Tak hanya itu, pembunuhan itu dapat membantu atau merusak prospek kesepakatan gencatan senjata untuk mengakhiri perang Israel di Gaza, menurut beberapa analis mengatakan kepada Al Jazeera.
Haniyeh terbunuh setelah menghadiri pelantikan Presiden Iran yang reformis Masoud Pezeshkian di ibu kota Iran, Teheran.
Hamas menyalahkan pembunuhan itu pada Israel, dengan mengatakan Haniyeh terbunuh dalam "serangan berbahaya Zionis di kediamannya di Teheran". Tidak ada komentar langsung dari Israel.
Serangan itu terjadi beberapa jam setelah Israel menyerang satu gedung pada Selasa malam di Dahiya, lingkungan yang ramai di ibu kota Lebanon, Beirut, menewaskan Fuad Shukr, seorang komandan tinggi dari kelompok bersenjata Lebanon, Hizbullah.
Serangan di Beirut terjadi tiga hari setelah serangan yang menewaskan 12 anak Druze di Dataran Tinggi Golan yang diduduki Israel, yang oleh Israel dituduhkan dilakukan Hizbullah, meskipun kelompok Lebanon itu menyangkal bertanggung jawab.
Lantas, apa dampak pembunuhan Haniyeh bagi Israel?
1. Menyeret Israel dalam Eskalasi Lebih Luas
Pembunuhan Haniyeh dan Shukr akan mendorong Iran dan Hizbullah untuk menanggapi dengan hati-hati guna menghindari konflik regional yang lebih besar.
Para diplomat dari Amerika Serikat dan Uni Eropa dilaporkan tengah berunding dengan mitra regional mereka, untuk mencoba mencegah krisis semakin memburuk.
Upaya Uni Eropa diyakini difokuskan pada Iran, yang para pemimpinnya telah bersumpah melakukan "balas dendam yang keras" terhadap Israel, yang mereka salahkan atas pembunuhan Haniyeh di Teheran.
Namun, setiap pembalasan, meskipun terukur, meningkatkan kemungkinan eskalasi lebih lanjut, menurut analis regional kepada Al Jazeera.
Para ahli tidak yakin bagaimana Hamas, yang memerintah Gaza, akan atau dapat menanggapi, mengingat mereka telah terlibat dalam perang selama 10 bulan dengan Israel.
“Serangan terhadap dua ibu kota regional dan penargetan dua pemimpin senior poros perlawanan, jaringan kelompok bersenjata regional yang menentang hegemoni Israel-AS di kawasan tersebut, merupakan eskalasi yang dapat memperluas perang ini ke berbagai front," ungkap Negar Mortazavi, pakar Iran dan peneliti senior di Center for International Policy.
"(Namun) saya tidak berpikir Iran menginginkan eskalasi besar," ungkap dia kepada Al Jazeera. "Mereka menghindarinya pada bulan April ketika mereka melihat serangan Israel terhadap konsulat mereka di Suriah sebagai pelanggaran batas, dan Iran membalas, tetapi dengan cara yang meminimalkan dampak (serangan mereka) untuk menghindari eskalasi besar.”
"Saya memperkirakan situasi serupa akan terjadi lagi kali ini,” papar dia.
Mortazavi merujuk pada serangan Iran pada April ketika negara itu menembakkan rentetan rudal dan pesawat nirawak ke Israel sebagai tanggapan atas serangan udara terhadap gedung konsulat Iran di Suriah, yang menewaskan tujuh orang termasuk dua jenderal Iran.
Otoritas Iran menyalahkan Israel atas serangan itu. Pejabat Iran juga berulang kali mengatakan negara-negara regional diberi peringatan 72 jam sebelum serangan diluncurkan ke Israel.
2. Kesepakatan Gencatan Senjata Gaza Makin Suram
Pembunuhan Haniyeh, seorang lawan bicara utama Israel dalam negosiasi untuk mengakhiri perang di Gaza, dapat menyabotase atau mempercepat kesepakatan damai, menurut para analis.
Perang Israel yang menghancurkan di Gaza telah menewaskan hampir 40.000 orang, mengusir hampir seluruh populasi yang berjumlah 2,3 juta orang dan menyebabkan apa yang disebut para ahli PBB sebagai kelaparan di daerah kantong itu.
Selama beberapa bulan terakhir, Hamas dan Israel telah terlibat dalam pembicaraan gencatan senjata yang bertujuan mengakhiri pembunuhan di Gaza dan membebaskan tawanan Israel dengan imbalan ribuan tahanan Palestina, yang berisiko mengalami penyiksaan di penjara-penjara Israel.
Namun, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu sering kali merusak pembicaraan gencatan senjata, menurut para kritikus dan ahli.
Mereka menuduh Netanyahu, yang popularitasnya sedang berada pada titik terendah sepanjang masa, tidak ingin mengakhiri perang karena takut hal itu dapat meruntuhkan pemerintahan koalisi sayap kanannya dan memicu pemilihan umum lebih awal.
Namun, Mairav Zonszein, pakar Israel-Palestina untuk International Crisis Group, yakin Netanyahu dapat mencoba menggembar-gemborkan pembunuhan Haniyeh sebagai "kemenangan" bagi Israel, sehingga secara politis lebih memungkinkan baginya untuk menyetujui gencatan senjata.
"Berlawanan dengan intuisi, beberapa pejabat Israel mungkin mengatakan (pembunuhan) ini membawa kita lebih dekat ke gencatan senjata, karena kita memiliki narasi kemenangan sekarang," ujar Zonszein.
Azmi Keshawi, peneliti Crisis Group dan pakar Hamas, yakin Israel harus segera menyetujui kesepakatan jika mereka dapat memanfaatkan momentum pembunuhan Haniyeh.
Banyak warga Israel menyerukan gencatan senjata untuk membebaskan para tawanan di Gaza dan meredakan tekanan terhadap tentara Israel, yang kekurangan peralatan, amunisi, dan pasukan cadangan yang semakin menolak bertugas.
Keshawi menambahkan jika Israel berlarut-larut dalam negosiasi, mereka mungkin menganggap pengganti Haniyeh kurang berkompromi.
“Haniyeh tidak dianggap sebagai garis keras. Dia adalah orang yang mempersatukan dan dia siap berkompromi. Sekarang dengan ketidakhadirannya, (Israel) mungkin perlu berurusan dengan orang garis keras dari (petinggi) Hamas,” ungkap dia kepada Al Jazeera.
“Jika Israel dan AS cerdas, maka mereka akan mengambil citra kemenangan yang mereka cari untuk keluar dari Gaza,” papar dia.
3. Israel Merasa Hebat dan Bebas Bertindak
Serangan yang dipimpin Hamas pada 7 Oktober dipandang oleh orang Israel dan pakar keamanan sebagai kegagalan besar intelijen Israel.
Namun pembunuhan Haniyeh telah membantu memulihkan kepercayaan banyak orang Israel pada aparat keamanan dan intelijen mereka, menurut Ori Goldberg, komentator dan analis Israel.
“Serangan ini memberi kehidupan baru pada jajaran tinggi tentara Israel. Mereka berkata, ‘Hei, kita masih bisa melakukan banyak hal dan kita tidak setidak kompeten yang terlihat’,” ujar Goldberg kepada Al Jazeera.
“Namun pembunuhan Haniyeh di Teheran merupakan pukulan besar bagi harga diri Iran dan bukan sesuatu yang bisa diabaikan,” tegas dia.
Imad Salamey, ilmuwan politik dan sarjana di Universitas Amerika Lebanon, meyakini Iran dan "proksinya" yang merujuk pada kelompok bersenjata yang bersekutu dengan Iran akan merasa terdorong untuk menanggapi, menggemakan pandangan beberapa analis lainnya.
"(Serangan Israel) dapat memicu pembalasan terkoordinasi oleh proksi Iran di Lebanon, Yaman, dan Irak, dengan menggunakan senjata yang lebih canggih dan mematikan," papar dia.
"Namun, Iran kemungkinan akan mendukung konflik dengan intensitas rendah, yang bertujuan menyeret Israel ke dalam perang atrisi yang berkepanjangan dan mahal."
Amerika Serikat memikul tanggung jawab terbesar karena membiarkan Israel berpotensi menggagalkan perundingan gencatan senjata Gaza dan memicu eskalasi regional, menurut Omar Rahman, pakar Israel-Palestina untuk Dewan Hubungan Luar Negeri Timur Tengah di Doha, Qatar.
"Karena dukungan AS yang tanpa syarat, Israel merasa berdaya untuk bertindak sesuai keinginannya dan manifestasi terbaru dari itu adalah peristiwa baru-baru ini di Beirut dan Teheran,” ujar Rahman kepada Al Jazeera.
“Dukungan AS (terhadap Israel) adalah salah satu faktor utama di balik semua yang terjadi sejak 7 Oktober, dan ancaman perang regional juga berasal dari sana,” pungkas dia.
Baca Juga
(sya)
tulis komentar anda