China dalam Posisi Tak Menguntungkan soal Pertikaiannya dengan Filipina
Selasa, 16 Juli 2024 - 08:11 WIB
Mengutip dari The Singapore Post, Selasa (16/7/2024), Wakil Menteri Luar Negeri AS Kurt Campbell menegaskan kembali Perjanjian Pertahanan Bersama tahun 1951 yang mewajibkan Washington dan Manila untuk saling membantu dalam konflik besar, “yang mencakup serangan bersenjata terhadap Angkatan Bersenjata Filipina, kapal atau pesawat umum, termasuk milik Coast Guard-nya, di mana pun di Laut China Selatan.”
Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr telah menegaskan bahwa negaranya tidak akan menyerah kepada "kekuatan asing mana pun”, sementara Kepala Angkatan Bersenjata Filipina Jenderal Romeo Brawner telah memperingatkan bahwa pasukannya akan melawan jika diserang lagi di Laut China Selatan.
Jenderal Brawner juga telah meminta China untuk membayar ganti rugi sebesar USD1 juta kepada Filipina untuk dua kapal Angkatan Laut tersebut, dan mengembalikan tujuh senapan yang disita Coast Guard China. Militer Filipina juga dapat meminta China untuk membiayai operasi yang direncanakan pada tangan perwira Angkatan Laut yang kehilangan ibu jari kanannya.
Tidak seperti retorika yang biasa digunakan untuk membenarkan perilaku sewenang-wenangnya terhadap negara-negara yang dianggap China lebih lemah dari dirinya sendiri, kali ini Beijing telah mendekati Manila untuk berunding.
Dalam kunjungan Wakil Menteri Luar Negeri China Chen Xiaodong ke Manila, sebuah perjanjian ditandatangani antara kedua negara untuk meningkatkan komunikasi selama keadaan darurat di laut.
Kedua belah pihak sepakat melanjutkan pembicaraan tentang peningkatan hubungan antara Coast Guard mereka. Ada juga rencana membangun kepercayaan lain untuk mengadakan forum akademis di antara para ilmuwan dan akademisi guna meningkatkan kerja sama ilmiah kelautan.
Wakil Menteri Luar Negeri Filipina Theresa Lazaro telah menjelaskan kepada Wakil Menteri Luar Negeri China: “Filipina akan gigih dalam melindungi kepentingannya dan menegakkan kedaulatan, hak kedaulatan, dan yurisdiksinya di Laut China Selatan.”
Dalam gerakan perdamaian lebih lanjut, China baru-baru ini mengungkapkan untuk kali pertama apa yang diklaimnya sebagai "perjanjian tidak tertulis" dengan Filipina mengenai akses ke kepulauan Laut China Selatan ketika mantan Presiden Filipina Rodrigo Duterte, yang dikenal pro-China, telah mengunjungi Beijing.
Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr telah menegaskan bahwa negaranya tidak akan menyerah kepada "kekuatan asing mana pun”, sementara Kepala Angkatan Bersenjata Filipina Jenderal Romeo Brawner telah memperingatkan bahwa pasukannya akan melawan jika diserang lagi di Laut China Selatan.
Baca Juga
Jenderal Brawner juga telah meminta China untuk membayar ganti rugi sebesar USD1 juta kepada Filipina untuk dua kapal Angkatan Laut tersebut, dan mengembalikan tujuh senapan yang disita Coast Guard China. Militer Filipina juga dapat meminta China untuk membiayai operasi yang direncanakan pada tangan perwira Angkatan Laut yang kehilangan ibu jari kanannya.
China Melunak?
Tidak seperti retorika yang biasa digunakan untuk membenarkan perilaku sewenang-wenangnya terhadap negara-negara yang dianggap China lebih lemah dari dirinya sendiri, kali ini Beijing telah mendekati Manila untuk berunding.
Dalam kunjungan Wakil Menteri Luar Negeri China Chen Xiaodong ke Manila, sebuah perjanjian ditandatangani antara kedua negara untuk meningkatkan komunikasi selama keadaan darurat di laut.
Kedua belah pihak sepakat melanjutkan pembicaraan tentang peningkatan hubungan antara Coast Guard mereka. Ada juga rencana membangun kepercayaan lain untuk mengadakan forum akademis di antara para ilmuwan dan akademisi guna meningkatkan kerja sama ilmiah kelautan.
Wakil Menteri Luar Negeri Filipina Theresa Lazaro telah menjelaskan kepada Wakil Menteri Luar Negeri China: “Filipina akan gigih dalam melindungi kepentingannya dan menegakkan kedaulatan, hak kedaulatan, dan yurisdiksinya di Laut China Selatan.”
Dalam gerakan perdamaian lebih lanjut, China baru-baru ini mengungkapkan untuk kali pertama apa yang diklaimnya sebagai "perjanjian tidak tertulis" dengan Filipina mengenai akses ke kepulauan Laut China Selatan ketika mantan Presiden Filipina Rodrigo Duterte, yang dikenal pro-China, telah mengunjungi Beijing.
Lihat Juga :
tulis komentar anda