AS Bakal Kerahkan Rudal Jarak Jauh ke Jerman, Termasuk Tomahawk
Kamis, 11 Juli 2024 - 08:06 WIB
WASHINGTON - Amerika Serikat (AS) akan menempatkan rudal-rudal jarak jauh di Jerman mulai tahun 2026 dan seterusnya. Senjata-senjata tersebut, termasuk sistem SM-6 dan Tomahawk.
Keputusan pengerahan senjata berbahaya itu diumumkan kedua pemerintah di Gedung Putih pada hari Rabu.
Sekadar diketahui, SM-6 dan Tomahawk merupakan rudal yang dilarang di benua Eropa sampai Washington membatalkan perjanjian penting era Perang Dingin pada tahun 2019.
"Amerika akan memulai pengerahan kemampuan penembakan jarak jauh secara episodik dari Satuan Tugas Multi-Domain di Jerman pada tahun 2026, sebagai bagian dari perencanaan penempatan kemampuan ini secara berkelanjutan di masa depan," bunyi pernyataan yang diterbitkan Gedung Putih.
Pernyataan itu dikeluarkan setelah pembicaraan antara pejabat Amerika dan Jerman pada pertemuan puncak tahunan NATO di Washington pada hari Rabu.
Rudal anti-udara SM-6 memiliki jangkauan hingga 460 km (290 mil), dan rudal jelajah Tomahawk dapat menyerang sasaran yang berjarak lebih dari 2.500 km.
Gedung Putih mengatakan bahwa senjata hipersonik yang sedang dikembangkan juga akan ditempatkan di Jerman. "Dan akan memiliki jangkauan yang jauh lebih jauh dibandingkan senjata yang ada di darat saat ini di Eropa," katanya, yang dilansir Reuters, Kamis (11/7/2024).
AS belum berhasil meluncurkan senjata hipersonik, dan telah membatalkan setiap proyek hipersonik sejak uji coba pertamanya yang berhasil pada tahun 2017.
Rudal yang diluncurkan dari darat dengan jangkauan antara 500 km hingga 5.500 km dilarang di wilayah Eropa berdasarkan perjanjian Intermediate-Range Nuclear Forces (INF), yang ditandatangani oleh Ronald Reagan dan Mikhail Gorbachev pada tahun 1987.
Bersamaan dengan perjanjian START-I dan START-II, perjanjian INF membantu meredakan ketegangan nuklir di Eropa setelah Barat dan Uni Soviet hampir terlibat perang nuklir selama latihan militer Able Archer NATO pada tahun 1983.
AS menarik diri dari perjanjian INF pada tahun 2019, dan Departemen Luar Negeri AS mengeklaim bahwa beberapa rudal jelajah Rusia telah melanggar perjanjian tersebut.
Moskow membantahnya dan Presiden Rusia Vladimir Putin memperingatkan Presiden AS saat itu, Donald Trump, bahwa pembatalan perjanjian tersebut akan “memiliki konsekuensi yang paling buruk.”
Rusia terus mematuhi perjanjian tersebut dan memberlakukan moratorium pengembangan rudal yang dilarangnya.
Namun, Putin mengumumkan awal bulan ini bahwa industri pertahanan Rusia akan melanjutkan pengembangan persenjataan tersebut, dengan alasan “tindakan permusuhan” AS.
“Kami sekarang tahu bahwa AS tidak hanya memproduksi sistem rudal ini, namun juga membawanya ke Eropa, Denmark, untuk digunakan dalam latihan. Belum lama ini dikabarkan mereka berada di Filipina,” jelas Putin saat itu.
Pasukan AS dan Denmark berlatih dengan rudal SM-6 pada bulan September lalu, sementara Pentagon mengerahkan Typhon Weapon System—yang dapat menembakkan rudal SM-6 dan Tomahawk—ke Filipina pada bulan April.
Denmark sebelumnya membantah klaim Putin bahwa AS mengerahkan rudal jarak jauh ke negara Eropa tersebut.
Keputusan pengerahan senjata berbahaya itu diumumkan kedua pemerintah di Gedung Putih pada hari Rabu.
Sekadar diketahui, SM-6 dan Tomahawk merupakan rudal yang dilarang di benua Eropa sampai Washington membatalkan perjanjian penting era Perang Dingin pada tahun 2019.
"Amerika akan memulai pengerahan kemampuan penembakan jarak jauh secara episodik dari Satuan Tugas Multi-Domain di Jerman pada tahun 2026, sebagai bagian dari perencanaan penempatan kemampuan ini secara berkelanjutan di masa depan," bunyi pernyataan yang diterbitkan Gedung Putih.
Pernyataan itu dikeluarkan setelah pembicaraan antara pejabat Amerika dan Jerman pada pertemuan puncak tahunan NATO di Washington pada hari Rabu.
Rudal anti-udara SM-6 memiliki jangkauan hingga 460 km (290 mil), dan rudal jelajah Tomahawk dapat menyerang sasaran yang berjarak lebih dari 2.500 km.
Gedung Putih mengatakan bahwa senjata hipersonik yang sedang dikembangkan juga akan ditempatkan di Jerman. "Dan akan memiliki jangkauan yang jauh lebih jauh dibandingkan senjata yang ada di darat saat ini di Eropa," katanya, yang dilansir Reuters, Kamis (11/7/2024).
AS belum berhasil meluncurkan senjata hipersonik, dan telah membatalkan setiap proyek hipersonik sejak uji coba pertamanya yang berhasil pada tahun 2017.
Rudal yang diluncurkan dari darat dengan jangkauan antara 500 km hingga 5.500 km dilarang di wilayah Eropa berdasarkan perjanjian Intermediate-Range Nuclear Forces (INF), yang ditandatangani oleh Ronald Reagan dan Mikhail Gorbachev pada tahun 1987.
Bersamaan dengan perjanjian START-I dan START-II, perjanjian INF membantu meredakan ketegangan nuklir di Eropa setelah Barat dan Uni Soviet hampir terlibat perang nuklir selama latihan militer Able Archer NATO pada tahun 1983.
AS menarik diri dari perjanjian INF pada tahun 2019, dan Departemen Luar Negeri AS mengeklaim bahwa beberapa rudal jelajah Rusia telah melanggar perjanjian tersebut.
Moskow membantahnya dan Presiden Rusia Vladimir Putin memperingatkan Presiden AS saat itu, Donald Trump, bahwa pembatalan perjanjian tersebut akan “memiliki konsekuensi yang paling buruk.”
Rusia terus mematuhi perjanjian tersebut dan memberlakukan moratorium pengembangan rudal yang dilarangnya.
Namun, Putin mengumumkan awal bulan ini bahwa industri pertahanan Rusia akan melanjutkan pengembangan persenjataan tersebut, dengan alasan “tindakan permusuhan” AS.
“Kami sekarang tahu bahwa AS tidak hanya memproduksi sistem rudal ini, namun juga membawanya ke Eropa, Denmark, untuk digunakan dalam latihan. Belum lama ini dikabarkan mereka berada di Filipina,” jelas Putin saat itu.
Pasukan AS dan Denmark berlatih dengan rudal SM-6 pada bulan September lalu, sementara Pentagon mengerahkan Typhon Weapon System—yang dapat menembakkan rudal SM-6 dan Tomahawk—ke Filipina pada bulan April.
Denmark sebelumnya membantah klaim Putin bahwa AS mengerahkan rudal jarak jauh ke negara Eropa tersebut.
(mas)
tulis komentar anda