Jerman Terapkan Uji Loyalitas pada Israel dalam UU Kewarganegaraan Baru
Kamis, 27 Juni 2024 - 21:30 WIB
Tes kewarganegaraan baru ini akan mencakup pertanyaan tentang Yudaisme dan kehidupan Yahudi di Jerman, dan memerlukan deklarasi eksplisit mengenai hak keberadaan negara Israel.
Persyaratan ini telah menimbulkan keheranan di kalangan pakar hukum dan pembela hak asasi manusia, yang mempertanyakan implikasi legalitas dan etika dari pemberian mandat posisi politik pada negara asing sebagai prasyarat untuk mendapatkan kewarganegaraan Jerman.
Tindakan ini dianggap sebagai bagian dari tindakan keras yang lebih luas terhadap aktivisme pro-Palestina di Jerman.
Pendekatan pemerintah telah menimbulkan kontroversi di kalangan akademisi. Awal bulan ini, Menteri Muda Pendidikan Tinggi Jerman Sabine Doring terpaksa mengundurkan diri setelah kementeriannya menjajaki opsi untuk mendanai penelitian oleh akademisi Jerman yang telah menandatangani surat yang mengkritik tindakan keras polisi terhadap protes mahasiswa anti-Israel.
Sejak 7 Oktober tahun lalu, Jerman telah mengambil sikap agresif dalam membela Israel dan serangan militernya di Gaza.
Pada April, pemerintah Jerman melarang ahli bedah Palestina asal Inggris, Ghassan Abu-Sitta, memasuki Jerman untuk berpidato di konferensi Berlin tentang pekerjaannya di Gaza.
Sebulan kemudian, Abu Sitta memenangkan gugatan hukumnya terhadap larangan tersebut.
Undang-undang kewarganegaraan Jerman yang baru mencerminkan langkah-langkah kejam yang dilakukan Amerika Serikat (AS) di mana sebanyak 35 negara bagian telah memberlakukan undang-undang atau perintah eksekutif yang melarang lembaga-lembaga negara membuat kontrak atau berinvestasi di perusahaan-perusahaan yang memboikot Israel.
Tindakan tersebut digambarkan sebagai ujian loyalitas yang dikenakan pada warga negara AS yang mengancam Amandemen Pertama untuk melayani negara asing, Israel.
Persyaratan ini telah menimbulkan keheranan di kalangan pakar hukum dan pembela hak asasi manusia, yang mempertanyakan implikasi legalitas dan etika dari pemberian mandat posisi politik pada negara asing sebagai prasyarat untuk mendapatkan kewarganegaraan Jerman.
Tindakan ini dianggap sebagai bagian dari tindakan keras yang lebih luas terhadap aktivisme pro-Palestina di Jerman.
Pendekatan pemerintah telah menimbulkan kontroversi di kalangan akademisi. Awal bulan ini, Menteri Muda Pendidikan Tinggi Jerman Sabine Doring terpaksa mengundurkan diri setelah kementeriannya menjajaki opsi untuk mendanai penelitian oleh akademisi Jerman yang telah menandatangani surat yang mengkritik tindakan keras polisi terhadap protes mahasiswa anti-Israel.
Sejak 7 Oktober tahun lalu, Jerman telah mengambil sikap agresif dalam membela Israel dan serangan militernya di Gaza.
Pada April, pemerintah Jerman melarang ahli bedah Palestina asal Inggris, Ghassan Abu-Sitta, memasuki Jerman untuk berpidato di konferensi Berlin tentang pekerjaannya di Gaza.
Sebulan kemudian, Abu Sitta memenangkan gugatan hukumnya terhadap larangan tersebut.
Undang-undang kewarganegaraan Jerman yang baru mencerminkan langkah-langkah kejam yang dilakukan Amerika Serikat (AS) di mana sebanyak 35 negara bagian telah memberlakukan undang-undang atau perintah eksekutif yang melarang lembaga-lembaga negara membuat kontrak atau berinvestasi di perusahaan-perusahaan yang memboikot Israel.
Tindakan tersebut digambarkan sebagai ujian loyalitas yang dikenakan pada warga negara AS yang mengancam Amandemen Pertama untuk melayani negara asing, Israel.
(sya)
Lihat Juga :
tulis komentar anda