Tak Peduli Isu Etis, Ribuan Warga India Berburu Kerja di Israel saat Genosida Gaza
Jum'at, 26 Januari 2024 - 19:30 WIB
NEW DELHI - Ketika para pejabat Israel dan India mengadakan tes keterampilan selama enam hari bagi para pekerja di negara bagian Haryana awal Januari, ribuan orang mengantri untuk wawancara.
Warga India berbondong-bondong untuk kesempatan menunjukkan kemampuan mereka sebagai tukang kayu, tukang besi, dan tukang plester, dengan harapan mendapatkan pekerjaan di Israel.
Kekhawatiran terhadap perang yang sedang berlangsung antara Israel dan Hamas, tampaknya, dikesampingkan oleh pertimbangan yang lebih praktis, seperti bagaimana menghidupi keluarga.
“Saya memerlukan waktu tujuh jam dengan kereta api untuk sampai ke sini. Saya telah datang ke lokasi tersebut selama dua hari, dan saya berharap hari ini saya mendapat tempat untuk tes penyaringan,” ungkap Gaurav Seni, siswa lulusan SMA berusia 27 tahun pada Nikkei Asia saat dia menunggu di halaman universitas bersama kerumunan pria lainnya.
Seni mengatakan dia mempunyai utang sebesar 500.000 rupee (USD6.000). “Jika saya mendapatkan pekerjaan ini, saya bisa membebaskan keluarga saya dari utang… dalam beberapa bulan,” papar dia sambil menunjuk pada gaji bulanan yang dijanjikan sebesar 137.000 rupee.
Sejauh ini, Haryana dan negara bagian Uttar Pradesh telah mengiklankan pekerja terampil untuk melakukan wawancara dan tes pekerjaan di Israel.
Saat ini Israel beralih ke negara-negara seperti India dan Sri Lanka untuk mengisi kekurangan tenaga kerja di sektor-sektor seperti konstruksi dan pertanian yang selama ini diisi warga Palestina.
Sebanyak 10.000 pekerja awal akan dipekerjakan dari India.
Program ini bukannya tanpa kontroversi, baik dari segi risiko maupun etika. Kritikus mengecam perjanjian India dengan Israel, karena berpotensi membahayakan pekerja dengan mengirim mereka ke zona konflik, dan secara tidak langsung membantu Israel mencabut pekerjaan dari para pekerja Palestina.
Sekitar 90.000 warga Palestina dilaporkan bekerja di sektor konstruksi Israel. Namun karena konflik yang dimulai ketika pejuang Hamas menyerbu komunitas Israel dan menewaskan sekitar 1.200 orang pada bulan Oktober, Israel telah membatalkan izin kerja ribuan pekerja Palestina tersebut.
Sementara itu, lebih dari 25.000 orang telah dibunuh Israel secara brutal di Jalur Gaza, menurut pihak berwenang Palestina.
Sekelompok organisasi industri Pusat Serikat Buruh India (CITU) mengecam perekrutan tersebut dan mendesak pemerintahan Partai Bharatiya Janata (BJP) pimpinan Perdana Menteri Narendra Modi menghentikan perjanjian dengan Israel.
“CITU mengimbau para pekerja India untuk tidak menjadi korban dari bantuan pemerintah yang dipimpin BJP… dan negara-negara yang mencari pekerjaan di Israel, yang merupakan wilayah yang dilanda konflik dan (pemerintah) mereka membuat ribuan warga Palestina di Israel kehilangan pekerjaan sambil melakukan serangan genosida terhadap Palestina," ujar Tapan Sen, sekretaris jenderal CITU.
Pemerintah India, yang telah menjalin hubungan lebih dekat dengan Israel dalam beberapa tahun terakhir, membela upaya perekrutan pekerja tersebut.
"Kami memiliki kemitraan mobilitas dengan beberapa negara di seluruh dunia. Dan kami sekarang juga memiliki perjanjian dengan Israel. Perjanjian tersebut dimulai jauh sebelum konflik meletus," ujar juru bicara Kementerian Luar Negeri India Randhir Jaiswal kepada wartawan Kamis lalu.
Menekankan tidak ada dasar untuk khawatir, dia menambahkan, "Izinkan saya memberi tahu Anda bahwa undang-undang ketenagakerjaan di Israel kuat dan ketat serta memberikan perlindungan terhadap hak-hak buruh dan hak-hak migran."
Sebelum perang, perlindungan semacam itu dipertanyakan kelompok-kelompok hak asasi manusia, menyoroti dugaan kasus penganiayaan terhadap pekerja Thailand, sumber utama tenaga kerja lainnya di Israel yang berpenduduk sekitar 9 juta orang.
Namun Jaiswal menekankan, “Kami sadar akan tanggung jawab kami untuk memberikan keselamatan dan keamanan kepada orang-orang kami yang berada di luar negeri. Ketika konflik meletus di Israel, kami meluncurkan Operasi Ajay untuk semua orang yang ingin kembali,” mengacu pada penerbangan repatriasi. “Karena itu, kami tetap berkomitmen untuk migrasi yang aman bagi masyarakat kami.”
Bagi pekerja seperti Seni, keputusannya sederhana. “Risiko ada dimana-mana, dan kita harus menghadapinya. Saya tidak bisa hanya duduk di rumah dan membuat keluarga saya kelaparan,” ujar dia.
Dia juga yakin tidak akan bekerja di dekat perbatasan Israel yang tegang. “Mengapa pemerintah mengirim kami ke tempat yang tidak aman?” papar dia.
Antusiasme terhadap lapangan kerja juga menyoroti tantangan India dalam menemukan pekerjaan yang cukup bagi penduduknya, yang kini merupakan negara terbesar di dunia dengan jumlah penduduk lebih dari 1,4 miliar jiwa.
Tingkat pengangguran secara keseluruhan mencapai 8,65% pada Desember, menurut Pusat Pemantauan Perekonomian India. Pengangguran untuk kelompok usia 20-24 tahun dilaporkan sebesar 44%.
Kamal Kishore, lulusan seni berusia 24 tahun dari Uttar Pradesh, mengatakan dia telah menghadapi banyak penolakan untuk mendapatkan pekerjaan di India.
Menurutnya, itulah sebabnya dia rela "menggigil kedinginan sejak jam 5 pagi" untuk mencoba pekerjaan pertukangan di Israel.
“Kami mempunyai tingkat pengangguran yang besar di India. Meskipun saya memiliki kualifikasi yang diperlukan, saya menghadapi tantangan dalam mendapatkan pekerjaan,” papar dia.
Dia menambahkan, “Saya berasal dari keluarga miskin, dan mendapatkan penghasilan untuk menghidupi keluarga saya adalah hal yang penting meskipun ada potensi risikonya.”
Alasannya mirip dengan Seni. "Apakah kita harus berurusan dengan perang?" katanya. "Kematian bisa datang di mana saja, tapi setidaknya saya bisa mendapat penghasilan lebih baik di Israel dan menghidupi keluarga saya."
Warga India berbondong-bondong untuk kesempatan menunjukkan kemampuan mereka sebagai tukang kayu, tukang besi, dan tukang plester, dengan harapan mendapatkan pekerjaan di Israel.
Kekhawatiran terhadap perang yang sedang berlangsung antara Israel dan Hamas, tampaknya, dikesampingkan oleh pertimbangan yang lebih praktis, seperti bagaimana menghidupi keluarga.
“Saya memerlukan waktu tujuh jam dengan kereta api untuk sampai ke sini. Saya telah datang ke lokasi tersebut selama dua hari, dan saya berharap hari ini saya mendapat tempat untuk tes penyaringan,” ungkap Gaurav Seni, siswa lulusan SMA berusia 27 tahun pada Nikkei Asia saat dia menunggu di halaman universitas bersama kerumunan pria lainnya.
Seni mengatakan dia mempunyai utang sebesar 500.000 rupee (USD6.000). “Jika saya mendapatkan pekerjaan ini, saya bisa membebaskan keluarga saya dari utang… dalam beberapa bulan,” papar dia sambil menunjuk pada gaji bulanan yang dijanjikan sebesar 137.000 rupee.
Sejauh ini, Haryana dan negara bagian Uttar Pradesh telah mengiklankan pekerja terampil untuk melakukan wawancara dan tes pekerjaan di Israel.
Saat ini Israel beralih ke negara-negara seperti India dan Sri Lanka untuk mengisi kekurangan tenaga kerja di sektor-sektor seperti konstruksi dan pertanian yang selama ini diisi warga Palestina.
Sebanyak 10.000 pekerja awal akan dipekerjakan dari India.
Program ini bukannya tanpa kontroversi, baik dari segi risiko maupun etika. Kritikus mengecam perjanjian India dengan Israel, karena berpotensi membahayakan pekerja dengan mengirim mereka ke zona konflik, dan secara tidak langsung membantu Israel mencabut pekerjaan dari para pekerja Palestina.
Sekitar 90.000 warga Palestina dilaporkan bekerja di sektor konstruksi Israel. Namun karena konflik yang dimulai ketika pejuang Hamas menyerbu komunitas Israel dan menewaskan sekitar 1.200 orang pada bulan Oktober, Israel telah membatalkan izin kerja ribuan pekerja Palestina tersebut.
Sementara itu, lebih dari 25.000 orang telah dibunuh Israel secara brutal di Jalur Gaza, menurut pihak berwenang Palestina.
Sekelompok organisasi industri Pusat Serikat Buruh India (CITU) mengecam perekrutan tersebut dan mendesak pemerintahan Partai Bharatiya Janata (BJP) pimpinan Perdana Menteri Narendra Modi menghentikan perjanjian dengan Israel.
“CITU mengimbau para pekerja India untuk tidak menjadi korban dari bantuan pemerintah yang dipimpin BJP… dan negara-negara yang mencari pekerjaan di Israel, yang merupakan wilayah yang dilanda konflik dan (pemerintah) mereka membuat ribuan warga Palestina di Israel kehilangan pekerjaan sambil melakukan serangan genosida terhadap Palestina," ujar Tapan Sen, sekretaris jenderal CITU.
Pemerintah India, yang telah menjalin hubungan lebih dekat dengan Israel dalam beberapa tahun terakhir, membela upaya perekrutan pekerja tersebut.
"Kami memiliki kemitraan mobilitas dengan beberapa negara di seluruh dunia. Dan kami sekarang juga memiliki perjanjian dengan Israel. Perjanjian tersebut dimulai jauh sebelum konflik meletus," ujar juru bicara Kementerian Luar Negeri India Randhir Jaiswal kepada wartawan Kamis lalu.
Menekankan tidak ada dasar untuk khawatir, dia menambahkan, "Izinkan saya memberi tahu Anda bahwa undang-undang ketenagakerjaan di Israel kuat dan ketat serta memberikan perlindungan terhadap hak-hak buruh dan hak-hak migran."
Sebelum perang, perlindungan semacam itu dipertanyakan kelompok-kelompok hak asasi manusia, menyoroti dugaan kasus penganiayaan terhadap pekerja Thailand, sumber utama tenaga kerja lainnya di Israel yang berpenduduk sekitar 9 juta orang.
Namun Jaiswal menekankan, “Kami sadar akan tanggung jawab kami untuk memberikan keselamatan dan keamanan kepada orang-orang kami yang berada di luar negeri. Ketika konflik meletus di Israel, kami meluncurkan Operasi Ajay untuk semua orang yang ingin kembali,” mengacu pada penerbangan repatriasi. “Karena itu, kami tetap berkomitmen untuk migrasi yang aman bagi masyarakat kami.”
Bagi pekerja seperti Seni, keputusannya sederhana. “Risiko ada dimana-mana, dan kita harus menghadapinya. Saya tidak bisa hanya duduk di rumah dan membuat keluarga saya kelaparan,” ujar dia.
Dia juga yakin tidak akan bekerja di dekat perbatasan Israel yang tegang. “Mengapa pemerintah mengirim kami ke tempat yang tidak aman?” papar dia.
Antusiasme terhadap lapangan kerja juga menyoroti tantangan India dalam menemukan pekerjaan yang cukup bagi penduduknya, yang kini merupakan negara terbesar di dunia dengan jumlah penduduk lebih dari 1,4 miliar jiwa.
Tingkat pengangguran secara keseluruhan mencapai 8,65% pada Desember, menurut Pusat Pemantauan Perekonomian India. Pengangguran untuk kelompok usia 20-24 tahun dilaporkan sebesar 44%.
Kamal Kishore, lulusan seni berusia 24 tahun dari Uttar Pradesh, mengatakan dia telah menghadapi banyak penolakan untuk mendapatkan pekerjaan di India.
Menurutnya, itulah sebabnya dia rela "menggigil kedinginan sejak jam 5 pagi" untuk mencoba pekerjaan pertukangan di Israel.
“Kami mempunyai tingkat pengangguran yang besar di India. Meskipun saya memiliki kualifikasi yang diperlukan, saya menghadapi tantangan dalam mendapatkan pekerjaan,” papar dia.
Dia menambahkan, “Saya berasal dari keluarga miskin, dan mendapatkan penghasilan untuk menghidupi keluarga saya adalah hal yang penting meskipun ada potensi risikonya.”
Alasannya mirip dengan Seni. "Apakah kita harus berurusan dengan perang?" katanya. "Kematian bisa datang di mana saja, tapi setidaknya saya bisa mendapat penghasilan lebih baik di Israel dan menghidupi keluarga saya."
(sya)
Lihat Juga :
tulis komentar anda