Yaman Bisa Jadi Aljazair Bagi AS, Harganya Diprediksi Lebih dari 6 Juta Nyawa
Selasa, 23 Januari 2024 - 16:01 WIB
SANAA - Setelah sepuluh hari pengeboman berkelanjutan di Yaman gagal menghentikan serangan Houthi terhadap kapal-kapal pelayaran di Laut Merah, pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden punya rencana baru.
Washington dilaporkan sedang mengembangkan rencana memperluas konflik tersebut menjadi kampanye militer yang berkelanjutan.
Kampanye tersebut, yang masih belum mendapat izin dari Kongres, diprakarsai pemerintahan Biden sebagai tanggapan terhadap serangan pasukan Houthi terhadap kapal-kapal yang mereka klaim terkait dengan Israel.
Setelah serangan awal AS di Yaman, pasukan Houthi mengumumkan mereka akan membalas dengan cara yang sama. Houthi menuntut Israel menghentikan kampanye militernya di Gaza.
Penyiar berita pemenang penghargaan dan jurnalis yang berbasis di Lebanon, Laith Marouf, mengatakan kepada Sputnik’s Critical Hour bahwa konflik tersebut bisa berakhir lebih buruk daripada Vietnam dan mungkin lebih mirip dengan Aljazair.
“Aljazair adalah (pergolakan) terakhir dari era imperialis Prancis dan Prancis (sedang) mundur ke perbatasannya… dibutuhkan 6 juta orang Aljazair yang mati dan menjadi martir bagi Prancis untuk mengakhiri visi imperialisnya,” ungkap Marouf.
Dia menjelaskan, “Palestina pasti akan membutuhkan harga yang lebih tinggi dalam hal jumlah manusia dibandingkan pembebasan Aljazair karena Israel sebagai negara jajahan adalah landasan dan permata imperialisme Amerika.”
“Bodoh jika berpikir Amerika Serikat akan melepaskan era imperialisnya dengan harga yang lebih murah daripada 6 juta orang,” tutur dia.
Marouf mencatat akan jauh lebih murah bagi Barat jika membiarkan Houthi menargetkan kapal-kapal Israel, mengingat kapal-kapal dari negara lain menambahkan “Tidak ada koneksi Israel/AS” pada label mereka.
Loyalitas terhadap Israel ini, menurut Marouf, berasal dari Zionisme relijius elit Barat.
“Para elit di Barat mengatakan Tuhan mereka adalah Zionisme, agama mereka adalah Zionisme, dan mereka berjanji setia,” ungkap Marouf kepada pembawa acara Garland Nixon dan Wilmer Leon.
Dia menjelaskan, “Kita tahu Biden harus menghadapi Trump, dan keduanya harus memperjuangkan, menunjukkan mereka lebih Zionis dibandingkan yang lain.”
“Saya pikir Amerika Serikat yang melakukan hal tersebut, dan mereka akan mengorbankan tentara Amerika demi janji kesetiaannya,” ungkap Marouf memperingatkan.
Marouf kemudian ditanya tentang laporan baru-baru ini bahwa pejabat militer Israel memerintahkan pasukan menembak tawanan warga Israel sendiri pada tanggal 7 Oktober, sebagai bagian dari implementasi arahan Hannibal, meskipun nama arahan tersebut tidak pernah disebutkan oleh para pejabat.
Marouf mencatat Hamas mungkin tidak mengetahui tentang festival musik tersebut, yang berlangsung di dekat perbatasan dan pangkalan militer Israel, karena festival tersebut diperpanjang selama satu hari selama acara tersebut.
“Mereka (Hamas) bahkan tidak tahu bahwa pesta itu sedang berlangsung,” papar Marouf.
“Helikopter Israel datang dan mengebom karpet para pengunjung yang pergi dan mencoba melarikan diri dengan mobil mereka sendiri. Jadi kita punya puluhan mobil, bahkan ratusan mobil, yang bertumpuk di sisi Gaza yang dibakar hingga hangus dengan rudal-rudal ini. Militer Israel sendiri yang membunuh para pengunjung tersebut,” ungkap dia.
“Kondisi kemanusiaan di Gaza, termasuk kekurangan makanan, air dan obat-obatan serta penyebaran penyakit, akan menyebabkan lebih banyak kematian dan memaksa poros perlawanan mempercepat keterlibatan mereka,” ujar Marouf, mengacu pada negara dan pasukan yang terlibat di Timur Tengah yang menentang kampanye Israel di Gaza.
Washington dilaporkan sedang mengembangkan rencana memperluas konflik tersebut menjadi kampanye militer yang berkelanjutan.
Kampanye tersebut, yang masih belum mendapat izin dari Kongres, diprakarsai pemerintahan Biden sebagai tanggapan terhadap serangan pasukan Houthi terhadap kapal-kapal yang mereka klaim terkait dengan Israel.
Setelah serangan awal AS di Yaman, pasukan Houthi mengumumkan mereka akan membalas dengan cara yang sama. Houthi menuntut Israel menghentikan kampanye militernya di Gaza.
Penyiar berita pemenang penghargaan dan jurnalis yang berbasis di Lebanon, Laith Marouf, mengatakan kepada Sputnik’s Critical Hour bahwa konflik tersebut bisa berakhir lebih buruk daripada Vietnam dan mungkin lebih mirip dengan Aljazair.
“Aljazair adalah (pergolakan) terakhir dari era imperialis Prancis dan Prancis (sedang) mundur ke perbatasannya… dibutuhkan 6 juta orang Aljazair yang mati dan menjadi martir bagi Prancis untuk mengakhiri visi imperialisnya,” ungkap Marouf.
Dia menjelaskan, “Palestina pasti akan membutuhkan harga yang lebih tinggi dalam hal jumlah manusia dibandingkan pembebasan Aljazair karena Israel sebagai negara jajahan adalah landasan dan permata imperialisme Amerika.”
“Bodoh jika berpikir Amerika Serikat akan melepaskan era imperialisnya dengan harga yang lebih murah daripada 6 juta orang,” tutur dia.
Marouf mencatat akan jauh lebih murah bagi Barat jika membiarkan Houthi menargetkan kapal-kapal Israel, mengingat kapal-kapal dari negara lain menambahkan “Tidak ada koneksi Israel/AS” pada label mereka.
Loyalitas terhadap Israel ini, menurut Marouf, berasal dari Zionisme relijius elit Barat.
“Para elit di Barat mengatakan Tuhan mereka adalah Zionisme, agama mereka adalah Zionisme, dan mereka berjanji setia,” ungkap Marouf kepada pembawa acara Garland Nixon dan Wilmer Leon.
Dia menjelaskan, “Kita tahu Biden harus menghadapi Trump, dan keduanya harus memperjuangkan, menunjukkan mereka lebih Zionis dibandingkan yang lain.”
“Saya pikir Amerika Serikat yang melakukan hal tersebut, dan mereka akan mengorbankan tentara Amerika demi janji kesetiaannya,” ungkap Marouf memperingatkan.
Marouf kemudian ditanya tentang laporan baru-baru ini bahwa pejabat militer Israel memerintahkan pasukan menembak tawanan warga Israel sendiri pada tanggal 7 Oktober, sebagai bagian dari implementasi arahan Hannibal, meskipun nama arahan tersebut tidak pernah disebutkan oleh para pejabat.
Marouf mencatat Hamas mungkin tidak mengetahui tentang festival musik tersebut, yang berlangsung di dekat perbatasan dan pangkalan militer Israel, karena festival tersebut diperpanjang selama satu hari selama acara tersebut.
“Mereka (Hamas) bahkan tidak tahu bahwa pesta itu sedang berlangsung,” papar Marouf.
“Helikopter Israel datang dan mengebom karpet para pengunjung yang pergi dan mencoba melarikan diri dengan mobil mereka sendiri. Jadi kita punya puluhan mobil, bahkan ratusan mobil, yang bertumpuk di sisi Gaza yang dibakar hingga hangus dengan rudal-rudal ini. Militer Israel sendiri yang membunuh para pengunjung tersebut,” ungkap dia.
“Kondisi kemanusiaan di Gaza, termasuk kekurangan makanan, air dan obat-obatan serta penyebaran penyakit, akan menyebabkan lebih banyak kematian dan memaksa poros perlawanan mempercepat keterlibatan mereka,” ujar Marouf, mengacu pada negara dan pasukan yang terlibat di Timur Tengah yang menentang kampanye Israel di Gaza.
(sya)
tulis komentar anda