Eks Diplomat AS Akui Standar Ganda Perlakuan untuk Israel Dibanding Ukraina
Sabtu, 09 Desember 2023 - 06:01 WIB
Josh Paul menjadi berita utama pada tanggal 18 Oktober ketika dia mengundurkan diri dari Biro Urusan Politik-Militer Departemen Luar Negeri AS selama serangan gencar Israel yang didukung AS di Gaza.
“Saya mengundurkan diri hari ini karena saya percaya bahwa dalam upaya kita saat ini sehubungan dengan penyediaan senjata mematikan yang berkelanjutan, bahkan diperluas dan dipercepat, kepada Israel, saya telah mencapai akhir dari kesepakatan itu,” ujar dia dalam surat pengunduran dirinya.
Mantan pakar perdagangan senjata ini sebelumnya membantu AS melatih polisi Irak dan pasukan keamanan Palestina serta mengawasi perdagangan senjata ke beberapa rezim yang dituduh melakukan pelanggaran hak asasi manusia, termasuk Arab Saudi selama perang di Yaman.
Dia kini angkat bicara dengan harapan dapat memberikan tekanan yang lebih besar terhadap kebijakan luar negeri AS.
Berbicara kepada Middle East Eye di London, Paul mengatakan dia awalnya mencoba mengangkat masalah penjualan senjata ke Israel secara internal dengan berbicara kepada tokoh-tokoh senior dan Biro Hak Asasi Manusia, namun tidak membuahkan hasil.
“Tidak ada pembicaraan mengenai apakah kami harus mengubah arah,” ungkap dia. “Dan tidak ada pembicaraan di Kongres.”
“Faktanya, salah satu hal yang benar-benar mendorong saya adalah Kongres pada umumnya memang peduli terhadap hak asasi manusia,” papar.
“Anda mungkin tidak terlalu sering melihatnya secara terbuka, namun di balik pintu tertutup, selalu ada perdebatan panjang mengenai apakah kita harus memberikan senjata ini kepada negara ini, yang memiliki catatan hak asasi manusia yang buruk, yang telah terlibat dalam, Anda tahu, berbagai aktivitas apakah itu penindasan atau korban sipil, kerugian sipil,” papar dia.
Penjualan senjata Amerika ke negara lain dapat menimbulkan pertanyaan mengenai konflik kepentingan institusional, menurut Paul.
Peraturan penjualan berasal dari Direktorat Pengendalian Perdagangan Pertahanan (DDTC), yang sebagian didanai melalui biaya yang dikumpulkan dari industri senjata.
“Saya mengundurkan diri hari ini karena saya percaya bahwa dalam upaya kita saat ini sehubungan dengan penyediaan senjata mematikan yang berkelanjutan, bahkan diperluas dan dipercepat, kepada Israel, saya telah mencapai akhir dari kesepakatan itu,” ujar dia dalam surat pengunduran dirinya.
Mantan pakar perdagangan senjata ini sebelumnya membantu AS melatih polisi Irak dan pasukan keamanan Palestina serta mengawasi perdagangan senjata ke beberapa rezim yang dituduh melakukan pelanggaran hak asasi manusia, termasuk Arab Saudi selama perang di Yaman.
Dia kini angkat bicara dengan harapan dapat memberikan tekanan yang lebih besar terhadap kebijakan luar negeri AS.
Berbicara kepada Middle East Eye di London, Paul mengatakan dia awalnya mencoba mengangkat masalah penjualan senjata ke Israel secara internal dengan berbicara kepada tokoh-tokoh senior dan Biro Hak Asasi Manusia, namun tidak membuahkan hasil.
“Tidak ada pembicaraan mengenai apakah kami harus mengubah arah,” ungkap dia. “Dan tidak ada pembicaraan di Kongres.”
“Faktanya, salah satu hal yang benar-benar mendorong saya adalah Kongres pada umumnya memang peduli terhadap hak asasi manusia,” papar.
“Anda mungkin tidak terlalu sering melihatnya secara terbuka, namun di balik pintu tertutup, selalu ada perdebatan panjang mengenai apakah kita harus memberikan senjata ini kepada negara ini, yang memiliki catatan hak asasi manusia yang buruk, yang telah terlibat dalam, Anda tahu, berbagai aktivitas apakah itu penindasan atau korban sipil, kerugian sipil,” papar dia.
Penjualan senjata Amerika ke negara lain dapat menimbulkan pertanyaan mengenai konflik kepentingan institusional, menurut Paul.
Peraturan penjualan berasal dari Direktorat Pengendalian Perdagangan Pertahanan (DDTC), yang sebagian didanai melalui biaya yang dikumpulkan dari industri senjata.
tulis komentar anda