Evolusi Sikap Arab Saudi dalam Perang Gaza: dari Netral hingga Embargo Senjata untuk Israel

Kamis, 23 November 2023 - 07:44 WIB
Sikap Arab Saudi dalam perang Israel-Hamas di Gaza perlahan berubah. Awalnya netral, kini Putra Mahkota Mohammed bin Salman serukan embargo senjata untuk Israel. Foto/REUTERS
RIYADH - Meskipun Arab Saudi sama sekali bukan pihak dalam perang antara Israel dan kelompok perlawanan Palestina; Hamas, kerajaan yang kaya ini hadir dalam setiap analisis geopolitik mengenai perang tersebut.

Selama berbulan-bulan sebelum serangan 7 Oktober oleh Hamas dan genosida Israel di Jalur Gaza, baik Israel maupun pemerintah Arab Saudi telah mengambil langkah signifikan menuju normalisasi hubungan.

Arab Saudi mengatakan bahwa hubungan diplomatik dengan Israel selalu dikondisikan berdasarkan resolusi pendudukan Israel di Palestina.





Namun, pemerintah Israel bersikeras bahwa kondisi seperti itu tidak pernah disyaratkan dalam perundingan yang dimediasi oleh Amerika Serikat.

Dengan rasa kemenangan yang nyata, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu memegang poster pada pidatonya di Majelis Umum PBB pada 20 September, dengan mengangkat peta Timur Tengah. Berwarna hijau adalah negara-negara yang seharusnya menjadi bagian dari "Timur Tengah Baru" yang diinginkan Netanyahu. Itu termasuk Arab Saudi.

“Perdamaian antara Israel dan Arab Saudi akan benar-benar menciptakan Timur Tengah yang baru,” kata Netanyahu dalam pidatonya saat itu.

"Perdamaian seperti itu akan sangat membantu dalam mengakhiri konflik Arab-Israel. Hal ini akan mendorong negara-negara Arab lainnya untuk menormalisasi hubungan mereka dengan Israel," katanya lagi.

Normalisasi dan Genosida Gaza oleh Israel



Ketika perang Gaza dimulai, beberapa pejabat Amerika terus mempromosikan gagasan bahwa normalisasi masih mungkin dilakukan.

Namun ketika kampanye pembunuhan Israel terhadap rakyat Palestina di Gaza berubah menjadi genosida, isu normalisasi tampak remeh, bahkan keterlaluan.

Hal ini dapat dilihat dari perubahan sikap politik yang muncul di Riyadh.

Pada 8 Oktober, satu hari setelah serangan Operasi Badai al-Aqsa, Menteri Luar Negeri Arab Saudi Pangeran Faisal bin Farhan mengatakan bahwa negaranya menolak penargetan warga sipil tak bersenjata dengan cara apa pun.

Pada 14 Oktober, intensitas bahasa Arab Saudi menjadi lebih tinggi, meskipun kritik terhadap Israel tidak sekuat yang diharapkan oleh orang-orang Palestina.

“Ini adalah situasi yang meresahkan. Ini adalah situasi yang sangat sulit. Dan tahukah Anda, korban utama dari situasi ini adalah warga sipil dan penduduk sipil di kedua belah pihak terkena dampaknya,” kata Pangeran Farhan.

Farhan masih mengartikulasikan visi politiknya, meskipun tidak jelas: “Hentikan penderitaan warga sipil lebih lanjut,” dan “turunkan situasi untuk segera mengembalikan perdamaian.”

Arab Saudi Beralih ke Iran dan China



Namun perlahan-lahan, posisi Arab Saudi mulai berubah. Pada 30 Oktober, Riyadh memperkuat koordinasi politiknya dengan Iran, melalui percakapan langsung antara Pangeran Farhan dan Menteri Luar Negeri Iran Hossein Amir-Abdollahian.

Pada 3 November, Arab Saudi mulai menjangkau aktor-aktor politik non-Barat lainnya, salah satunya adalah China, yang telah berulang kali menantang posisi AS di Dewan Keamanan PBB dan ketegarannya dalam menolak gencatan senjata segera dan tanpa syarat di Gaza.

Pada 11 November, Arab Saudi menjadi tuan rumah, tidak hanya satu konferensi darurat tetapi dua: Liga Arab dan Organisasi Negara-negara Islam (OKI).

Pangeran Farhan sendirilah yang mengartikulasikan posisi kolektif terkuat Arab dan Muslim, dengan menyatakan bahwa delegasi yang mewakili semua negara ini akan berkeliling dunia untuk mempromosikan gencatan senjata dan solidaritas dengan rakyat Palestina.

Menariknya, delegasi tersebut, termasuk Pangeran Farhan, pertama-tama berangkat ke Beijing, bukan Washington, lalu Moskow, sebelum berangkat ke London untuk melakukan pembicaraan lebih lanjut.

Pada saat itu, Arab Saudi tidak hanya kritis terhadap perang Israel, namun juga terhadap sekutu Israel yang, menurut Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman sendiri, telah berkontribusi pada “kegagalan Dewan Keamanan dan komunitas internasional untuk mengakhiri pelanggaran mencolok Israel terhadap hukum internasional.”

Pada titik ini, Pangeran Farhan dipandang sebagai pemimpin diplomasi Arab melalui bahasa yang sangat berbeda dibandingkan dengan bahasa yang digunakan pada 8 Oktober.

“Kami mulai melihat adanya pergeseran posisi, belum cukup, namun bergerak ke arah yang benar,” ujarnya pada konferensi pers usai KTT Bersama OKI-Liga Arab.

“Kami mulai mendengar bahwa negara-negara yang dulunya memberikan cek kosong kepada Israel kini berbicara tentang perlindungan warga sipil dan pentingnya melakukan pertempuran dalam batas-batas Hukum Humaniter Internasional dan jeda kemanusiaan," paparnya.

Meskipun Arab Saudi telah mengesampingkan penggunaan kekuatan ekonomi mereka untuk melakukan embargo terhadap negara-negara Barat yang mendukung dan membiayai perang Israel di Gaza, Putra Mahkota Mohammed bin Salman mengambil beberapa langkah lebih dekat ke posisi yang dianggap kuat.

Dalam pidatonya pada KTT Luar Biasa BRICS pada Selasa, 21 November 2023, Mohammed bin Salman mengatakan kejahatan brutal disaksikan di Gaza terhadap warga sipil tak berdosa. Dia menuntut komunitas internasional untuk menghentikan bencana kemanusiaan tersebut.

Dia mengulangi kecaman Riyadh atas agresi Israel di Jalur Gaza, menolak segala dalih yang membenarkan tindakan Israel dan yang paling penting, dia mendesak pemberlakuan embargo senjata untuk Israel.

"Kami mendesak semua negara untuk berhenti mengekspor senjata dan amunisi ke Israel," kata Pangeran Mohammed bin Salman.

Menariknya, masuknya Israel ke Timur Tengah, dan potensi normalisasi Israel-Arab Saudi, sering disebut-sebut sebagai bagian dari upaya AS untuk memperkuat keamanan sekutunya: yaitu untuk menawarkan perlindungan militer Israel kepada negara-negara Arab dalam persaingan geostrategis Timur Tengah mereka melawan Iran.

Menurut laporan Palestine Chronicle, Kamis (23/11/2023), seruan Pangeran Mohammed bin Salman untuk melakukan embargo senjata terhadap Israel merupakan indikasi perubahan sikap Riyadh terhadap Tel Aviv.
(mas)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More