Tolak Interaksi Militer dengan AS, China Gunakan Eskalasi untuk Majukan Kepentingan
Rabu, 18 Oktober 2023 - 13:37 WIB
Santoro mengatakan bahwa AS tidak boleh menyerah dalam menjalin hubungan dengan China. Namun pada saat yang sama, AS harus berpikir jernih mengenai apa yang bisa dicapai.
Ketika PLA melakukan modernisasi dan menjadi lebih kuat, selera mereka terhadap risiko pun meningkat. Seperti yang disampaikan Roy Kamphausen, Presiden NBR: "Ekspansi persenjataan nuklir dan modernisasi militer konvensional China menunjukkan adanya perubahan berkelanjutan dan sistematis dalam strategi pencegahan mereka, dan menimbulkan pertanyaan penting mengenai langkah-langkah yang perlu diambil Amerika Serikat untuk mencegah agresi dan mempertahankan status quo."
Kamphausen menyoroti perubahan postur kekuatan nuklir China, di mana PLA diperkirakan memiliki persediaan 1.500 hulu ledak nuklir pada 2030. Dia menyimpulkan; "Secara lebih luas, tren ini juga memerlukan penilaian ulang atas kesediaan China untuk mengambil risiko demi memajukan kepentingan dan tujuannya."
"Setelah sempat menghindari risiko dan mewaspadai dinamika eskalasi dalam upaya mencapai tujuannya, China kini semakin bersedia menggunakan angkatan bersenjatanya sebagai instrumen untuk mencapai tujuannya di Selat Taiwan, Laut China Selatan, Laut China Timur, dan tempat lainnya, meski pada dasarnya mereka berusaha menghindari konflik dengan kita," jelas Kamphausen.
“Meski kita di Amerika Serikat cenderung melihat krisis sebagai anomali situasional yang ingin kita atasi dengan cepat, namun China tampaknya menerima ketidakstabilan dan menganggapnya sebagai sebuah fitur, dan bukan merupakan suatu kesalahan dalam sistem internasional, namun justru memberikan peluang untuk memajukan kepentingannya,” imbuh dia.
"Melihat kondisi regional saat ini, perhitungan krisis yang dilakukan China sering kali tercermin dalam penyadapan yang tidak aman dan perilaku operasional yang tidak profesional dari PLA dalam interaksinya dengan militer AS, serta dengan sekutu dan mitra regional," kata Kamphausen.
Hal ini, misalnya, terlihat dalam peningkatan pesat serangan udara PLA ke zona identifikasi pertahanan udara Taiwan.
"Tema utama (lainnya) adalah bahwa PLA terus meningkatkan kemampuan militernya," kata Kamphausen.
"Risiko krisis dengan Amerika Serikat—melalui saluran komunikasi yang ada namun terbatas saat ini–sebagian besar tidak aktif. Mekanisme komunikasi yang ada, seperti perjanjian konsultasi maritim militer, pembicaraan koordinasi kebijakan, pembicaraan komandan teater China-AS, semuanya ditangguhkan setelah kunjungan Pelosi ke Taiwan pada Agustus 2022, dan tetap dibekukan hingga hari ini," sambungnya.
Ketika PLA melakukan modernisasi dan menjadi lebih kuat, selera mereka terhadap risiko pun meningkat. Seperti yang disampaikan Roy Kamphausen, Presiden NBR: "Ekspansi persenjataan nuklir dan modernisasi militer konvensional China menunjukkan adanya perubahan berkelanjutan dan sistematis dalam strategi pencegahan mereka, dan menimbulkan pertanyaan penting mengenai langkah-langkah yang perlu diambil Amerika Serikat untuk mencegah agresi dan mempertahankan status quo."
Kamphausen menyoroti perubahan postur kekuatan nuklir China, di mana PLA diperkirakan memiliki persediaan 1.500 hulu ledak nuklir pada 2030. Dia menyimpulkan; "Secara lebih luas, tren ini juga memerlukan penilaian ulang atas kesediaan China untuk mengambil risiko demi memajukan kepentingan dan tujuannya."
"Setelah sempat menghindari risiko dan mewaspadai dinamika eskalasi dalam upaya mencapai tujuannya, China kini semakin bersedia menggunakan angkatan bersenjatanya sebagai instrumen untuk mencapai tujuannya di Selat Taiwan, Laut China Selatan, Laut China Timur, dan tempat lainnya, meski pada dasarnya mereka berusaha menghindari konflik dengan kita," jelas Kamphausen.
“Meski kita di Amerika Serikat cenderung melihat krisis sebagai anomali situasional yang ingin kita atasi dengan cepat, namun China tampaknya menerima ketidakstabilan dan menganggapnya sebagai sebuah fitur, dan bukan merupakan suatu kesalahan dalam sistem internasional, namun justru memberikan peluang untuk memajukan kepentingannya,” imbuh dia.
"Melihat kondisi regional saat ini, perhitungan krisis yang dilakukan China sering kali tercermin dalam penyadapan yang tidak aman dan perilaku operasional yang tidak profesional dari PLA dalam interaksinya dengan militer AS, serta dengan sekutu dan mitra regional," kata Kamphausen.
Hal ini, misalnya, terlihat dalam peningkatan pesat serangan udara PLA ke zona identifikasi pertahanan udara Taiwan.
"Tema utama (lainnya) adalah bahwa PLA terus meningkatkan kemampuan militernya," kata Kamphausen.
"Risiko krisis dengan Amerika Serikat—melalui saluran komunikasi yang ada namun terbatas saat ini–sebagian besar tidak aktif. Mekanisme komunikasi yang ada, seperti perjanjian konsultasi maritim militer, pembicaraan koordinasi kebijakan, pembicaraan komandan teater China-AS, semuanya ditangguhkan setelah kunjungan Pelosi ke Taiwan pada Agustus 2022, dan tetap dibekukan hingga hari ini," sambungnya.
Mentalitas Perang Dingin
tulis komentar anda