Turki Deportasi Warga Uighur, Erdogan Dikecam Aktivis Muslim
Kamis, 30 Juli 2020 - 19:17 WIB
Turki dan China juga dilaporkan telah menandatangani draft perjanjian ekstradisi pada 2017 tetapi parlemen Turki belum meratifikasinya.
Di bidang ekonomi, pada 2010 China dan Turki menandatangani delapan pakta perjanjian strategis yang bisa meningkatkan volume perdagangan tahunan mereka menjadi USD100 miliar pada tahun ini.
Tahun lalu, bank sentral China memberikan suntikan uang tunai senilai USD1 miliar ke dalam perekonomian Turki untuk menalangi bank-bank lokal yang tengah kesulitan. Beijing bahkan telah menyetujui paket tambahan USD3,6 miliar untuk membantu pengembangan sektor energi Turki.
Karena alasan inilah, Erdogan diduga tidak akan mengatakan apa pun tentang Uighur. Presiden Turki itu dianggap berutang budi kepada China seperti negara-negara Muslim lainnya.
Media Jerman DW.de, pada Selasa (28/7/2020) melaporkan bahwa sejak negeri di dua benua itu dilanda krisis ekonomi, sikap Ankara terkait Uighur mulai berubah. Dalam kunjungannya ke Beijing Juli 2019 silam, Erdogan di hadapan media pemerintah menyatakan bahwa warga Uighur di Xinjiang dalam kondisi baik-baik saja.
Selain Turki, sejumlah negara yang awalnya melindungi pelarian Uighur dari China kini berbalik arah dan mendorong agar mereka dideportasi. China menggunakan kekuatan ekonominya untuk menekan negara-negara tempat warga Uighur meminta perlindungan.
Selain di Turki, komunitas Uighur juga menghadapi pilihan sulit di Arab Saudi. Hendak pulang ke China dan mengambil risiko mendarat di kamp re-edukasi, atau hidup dengan status ilegal di Arab Saudi di bawah ancaman deportasi karena paspornya tidak diperpanjang pemerintah komunis China.
Kedekatan Beijing dengan pemerintah Riyadh membuat gentar kaum Uighur di Arab Saudi. Belum lama ini Putra Mahkota Mohammad bin Salman mengisyaratkan China bisa menggandakan jejak diplomasinya di Timur Tengah melalui Arab Saudi. Sejak beberapa tahun terakhir kedua negara giat meningkatkan kemitraan dagang, antara lain lewat proyek Jalur Sutra Abad 21 atau One Belt One Road Initiative.
Di bidang ekonomi, pada 2010 China dan Turki menandatangani delapan pakta perjanjian strategis yang bisa meningkatkan volume perdagangan tahunan mereka menjadi USD100 miliar pada tahun ini.
Tahun lalu, bank sentral China memberikan suntikan uang tunai senilai USD1 miliar ke dalam perekonomian Turki untuk menalangi bank-bank lokal yang tengah kesulitan. Beijing bahkan telah menyetujui paket tambahan USD3,6 miliar untuk membantu pengembangan sektor energi Turki.
Karena alasan inilah, Erdogan diduga tidak akan mengatakan apa pun tentang Uighur. Presiden Turki itu dianggap berutang budi kepada China seperti negara-negara Muslim lainnya.
Media Jerman DW.de, pada Selasa (28/7/2020) melaporkan bahwa sejak negeri di dua benua itu dilanda krisis ekonomi, sikap Ankara terkait Uighur mulai berubah. Dalam kunjungannya ke Beijing Juli 2019 silam, Erdogan di hadapan media pemerintah menyatakan bahwa warga Uighur di Xinjiang dalam kondisi baik-baik saja.
Selain Turki, sejumlah negara yang awalnya melindungi pelarian Uighur dari China kini berbalik arah dan mendorong agar mereka dideportasi. China menggunakan kekuatan ekonominya untuk menekan negara-negara tempat warga Uighur meminta perlindungan.
Selain di Turki, komunitas Uighur juga menghadapi pilihan sulit di Arab Saudi. Hendak pulang ke China dan mengambil risiko mendarat di kamp re-edukasi, atau hidup dengan status ilegal di Arab Saudi di bawah ancaman deportasi karena paspornya tidak diperpanjang pemerintah komunis China.
Kedekatan Beijing dengan pemerintah Riyadh membuat gentar kaum Uighur di Arab Saudi. Belum lama ini Putra Mahkota Mohammad bin Salman mengisyaratkan China bisa menggandakan jejak diplomasinya di Timur Tengah melalui Arab Saudi. Sejak beberapa tahun terakhir kedua negara giat meningkatkan kemitraan dagang, antara lain lewat proyek Jalur Sutra Abad 21 atau One Belt One Road Initiative.
(min)
Lihat Juga :
tulis komentar anda