Pameran China di Tunisia Diduga Sembunyikan Pelanggaran HAM Masyarakat Tibet
Minggu, 06 Agustus 2023 - 09:35 WIB
BEIJING - Pameran berjudul "Perceive China-Great Beauty Qinghai" yang diselenggarakan Kantor Informasi Pemerintah Rakyat Provinsi Qinghai, China, digelar di Tunisia baru-baru ini. Pameran tersebut menarik minat dan perhatian masyarakat setempat.
Acara tersebut juga diklaim digelar untuk menampilkan keindahan alam dan beragam sejarah budaya Qinghai.
Namun, pameran tersebutdidugabagian dari upaya China dalam memproyeksikan citra Tibet yang menyesatkan lewat lewat promosi wisata, dan di waktu bersamaan menyembunyikan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di wilayah tersebut.
Dengan menyajikan tampilan keindahan dan warisan budaya Qinghai yang dikuratori dengan hati-hati, Partai Komunis China (PKC) berupaya mengalihkan perhatian dari pelanggaran HAM dan penindasan budaya yang dihadapi orang-orang Tibet.
Banyak pengunjung, yang sebelumnya hanya tahu tentang kota-kota besar China seperti Beijing dan Shanghai, terpesona oleh kemegahan alam yang ditampilkan dalam pameran, tanpa menyadari kenyataan pahit yang dialami warga Tibet di bawah kekuasaan PKC.
Pameran ini menampilkan lebih dari 150 gambar fotografi, lebih dari 50 jenis buku, 12 karya Thangka, dan film dokumenter yang menggambarkan pemandangan alam menakjubkan, peradaban sejarah, dan aspek budaya nasional di Qinghai.
Serangkaian foto dalam pameran memperlihatkan banyak keindahan alam, mulai dari puncak gunung yang tertutup es, sungai-sungai yang luas, hingga bentang alam Danxia yang unik beserta keanekaragaman flora dan fauna.
Sementara para pengunjung menghargai daya tarik visual dari pameran, sebagian besar dari mereka tetap tidak menyadari sisi gelap dari sejarah Tibet dan perjuangannya yang berkelanjutan di bidang HAM dan otonomi.
Pameran semacam itu dinilai hanya berfungsi sebagai alat propaganda PKC untuk menutupi tindakannya di Tibet.
PKC memiliki sejarah menggunakan acara budaya seperti ini untuk memproyeksikan citra positif di panggung internasional, sambil menjaga ketat informasi dan menekan perbedaan pendapat di area perbatasannya.
Dengan mengorganisir pameran di negara lain, dalam hal ini Tunisia, mereka bertujuan membentuk narasi tentang Tibet dan mendapatkan dukungan untuk kebijakan mereka sembari mengecilkan kekhawatiran sah tentang pelanggaran HAM dan erosi budaya Tibet.
Pameran semacam itu harus dipahami seiring dengan obsesi PKC dalam membangun museum. Keinginan PKC dalam mendorong pembangunan museum tidak hanya terbatas pada Tibet.
Baru-baru ini, museum ternama di China; Palace Museum, mulai memajang artefak di Hong Kong dan juga museum Xinjiang di Urumqi, di Daerah Otonomi Xinjiang, yang dibangun dengan fokus pada "sejarah dan adat istiadat rakyat Xinjiang”.
Menurut The Economist, China membangun museum dengan sangat cepat. Di tahun 2000, jumlah museum China berjumlah kurang dari 1.200, dan pada akhir 2021 menjadi hampir lima kali lipat.
Tujuan percepatan pembangunan museum ini adalah untuk memengaruhi penulisan dan persepsi sejarah yang akan bertindak sebagai alat bantu untuk mengatur wilayah-wilayah yang “tidak stabil” seperti Tibet dan Xinjiang.
Sesuai laporan kantor berita DW, rencana kerja Administrasi Warisan Budaya Nasional China untuk 2016-2020 adalah memiliki satu museum untuk setiap 250.000 orang yang dibangun pada 2020.
Kembali ke Tunisia, keberhasilan pameran dalam membangkitkan minat warga lokal dan mempromosikan pemandangan indah Qinghai dapat semakin meningkatkan pariwisata ke wilayah tersebut.
Sementara pariwisata dapat membawa manfaat ekonomi di Qinghai, sektor tersebut juga dapat secara tidak sengaja berkontribusi pada eksploitasi sumber daya lokal dan pengenceran identitas budaya asli.
Di saat pameran China berikutnya akan digelar Maroko, masih ada kekhawatiran tentang bagaimana acara semacam itu berkontribusi pada strategi PKC yang lebih besar dalam mempromosikan citra Tibet yang menyimpang, dan di waktu bersamaan mengalihkan perhatian dari masalah HAM mendesak yang dihadapi orang-orang Tibet.
Warga Tibet di pengasingan telah melakukan perlawanan berani dalam menentang kekeliruaan representasi masa lalu mereka oleh China.
Berbeda dari museum China, Museum Tibet di Dharamshala, India, merupakan "museum yang dibuat oleh dan untuk orang Tibet" dengan tujuan "menantang representasi Tibet beserta warganya yang selama ini ditampilkan di museum-museum China" dan di tempat lain.
Museum Tibet di Dharamshala menceritakan "cerita berbeda”. Tibet di museum tersebut "memiliki masa lalu, masa kini, dan masa depan," tidak seperti museum-museum China yang dikemas dengan tontonan yang menceritakan kisah mengenai rasa sakit, kemarahan, dan pengkhianatan.
Acara tersebut juga diklaim digelar untuk menampilkan keindahan alam dan beragam sejarah budaya Qinghai.
Namun, pameran tersebutdidugabagian dari upaya China dalam memproyeksikan citra Tibet yang menyesatkan lewat lewat promosi wisata, dan di waktu bersamaan menyembunyikan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di wilayah tersebut.
Dengan menyajikan tampilan keindahan dan warisan budaya Qinghai yang dikuratori dengan hati-hati, Partai Komunis China (PKC) berupaya mengalihkan perhatian dari pelanggaran HAM dan penindasan budaya yang dihadapi orang-orang Tibet.
Banyak pengunjung, yang sebelumnya hanya tahu tentang kota-kota besar China seperti Beijing dan Shanghai, terpesona oleh kemegahan alam yang ditampilkan dalam pameran, tanpa menyadari kenyataan pahit yang dialami warga Tibet di bawah kekuasaan PKC.
Pameran ini menampilkan lebih dari 150 gambar fotografi, lebih dari 50 jenis buku, 12 karya Thangka, dan film dokumenter yang menggambarkan pemandangan alam menakjubkan, peradaban sejarah, dan aspek budaya nasional di Qinghai.
Serangkaian foto dalam pameran memperlihatkan banyak keindahan alam, mulai dari puncak gunung yang tertutup es, sungai-sungai yang luas, hingga bentang alam Danxia yang unik beserta keanekaragaman flora dan fauna.
Sementara para pengunjung menghargai daya tarik visual dari pameran, sebagian besar dari mereka tetap tidak menyadari sisi gelap dari sejarah Tibet dan perjuangannya yang berkelanjutan di bidang HAM dan otonomi.
Pameran semacam itu dinilai hanya berfungsi sebagai alat propaganda PKC untuk menutupi tindakannya di Tibet.
PKC memiliki sejarah menggunakan acara budaya seperti ini untuk memproyeksikan citra positif di panggung internasional, sambil menjaga ketat informasi dan menekan perbedaan pendapat di area perbatasannya.
Dengan mengorganisir pameran di negara lain, dalam hal ini Tunisia, mereka bertujuan membentuk narasi tentang Tibet dan mendapatkan dukungan untuk kebijakan mereka sembari mengecilkan kekhawatiran sah tentang pelanggaran HAM dan erosi budaya Tibet.
Pameran semacam itu harus dipahami seiring dengan obsesi PKC dalam membangun museum. Keinginan PKC dalam mendorong pembangunan museum tidak hanya terbatas pada Tibet.
Baru-baru ini, museum ternama di China; Palace Museum, mulai memajang artefak di Hong Kong dan juga museum Xinjiang di Urumqi, di Daerah Otonomi Xinjiang, yang dibangun dengan fokus pada "sejarah dan adat istiadat rakyat Xinjiang”.
Menurut The Economist, China membangun museum dengan sangat cepat. Di tahun 2000, jumlah museum China berjumlah kurang dari 1.200, dan pada akhir 2021 menjadi hampir lima kali lipat.
Tujuan percepatan pembangunan museum ini adalah untuk memengaruhi penulisan dan persepsi sejarah yang akan bertindak sebagai alat bantu untuk mengatur wilayah-wilayah yang “tidak stabil” seperti Tibet dan Xinjiang.
Sesuai laporan kantor berita DW, rencana kerja Administrasi Warisan Budaya Nasional China untuk 2016-2020 adalah memiliki satu museum untuk setiap 250.000 orang yang dibangun pada 2020.
Kembali ke Tunisia, keberhasilan pameran dalam membangkitkan minat warga lokal dan mempromosikan pemandangan indah Qinghai dapat semakin meningkatkan pariwisata ke wilayah tersebut.
Sementara pariwisata dapat membawa manfaat ekonomi di Qinghai, sektor tersebut juga dapat secara tidak sengaja berkontribusi pada eksploitasi sumber daya lokal dan pengenceran identitas budaya asli.
Di saat pameran China berikutnya akan digelar Maroko, masih ada kekhawatiran tentang bagaimana acara semacam itu berkontribusi pada strategi PKC yang lebih besar dalam mempromosikan citra Tibet yang menyimpang, dan di waktu bersamaan mengalihkan perhatian dari masalah HAM mendesak yang dihadapi orang-orang Tibet.
Warga Tibet di pengasingan telah melakukan perlawanan berani dalam menentang kekeliruaan representasi masa lalu mereka oleh China.
Berbeda dari museum China, Museum Tibet di Dharamshala, India, merupakan "museum yang dibuat oleh dan untuk orang Tibet" dengan tujuan "menantang representasi Tibet beserta warganya yang selama ini ditampilkan di museum-museum China" dan di tempat lain.
Museum Tibet di Dharamshala menceritakan "cerita berbeda”. Tibet di museum tersebut "memiliki masa lalu, masa kini, dan masa depan," tidak seperti museum-museum China yang dikemas dengan tontonan yang menceritakan kisah mengenai rasa sakit, kemarahan, dan pengkhianatan.
(mas)
tulis komentar anda