Uganda Ngaku Diperas Barat Gegara Sahkan Hukuman Mati untuk LGBT
Rabu, 31 Mei 2023 - 08:00 WIB
KAMPALA - Uganda mengutuk tanggapan Barat terhadap undang-undang baru anti- LGBTQ negara Afrika Timur itu. Uganda menyebut ancaman sanksi dari para donor sama dengan "pemerasan".
Undang-undang yang ditandatangani oleh Presiden Yoweri Museveni itu memuat hukuman mati bagi "homoseksualitas yang diperparah", sebuah pelanggaran yang mencakup penularan HIV melalui seks sesama jenis.
Pengesahan undang-undang pada awal pekan ini memantik teguran langsung dari pemerintah Barat dan membahayakan sebagian dari miliaran dolar bantuan luar negeri yang diterima Uganda setiap tahun.
Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden mengancam pemotongan bantuan dan sanksi lainnya. Sementara Menteri Luar Negeri Antony Blinken mengatakan, pemerintah akan mempertimbangkan pembatasan visa terhadap pejabat Uganda.
Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa, Josep Borrell mengatakan, undang-undang itu akan berdampak pada hubungan Uganda dengan mitra internasional.
Dalam komentar rinci pertama pemerintah Uganda sejak Museveni menandatangani undang-undang tersebut, Menteri Penerangan Chris Baryomunsi menolak kecaman tersebut.
"Kami tidak menganggap homoseksualitas sebagai hak konstitusional. Itu hanya penyimpangan seksual yang tidak kami promosikan sebagai orang Uganda dan Afrika," katanya kepada Reuters, Selasa (30/5/2023).
“Sementara kami menghargai dukungan yang kami dapatkan dari mitra, mereka harus diingatkan bahwa kami adalah negara berdaulat dan kami tidak membuat undang-undang untuk dunia Barat. Kami membuat undang-undang untuk rakyat kami sendiri di sini di Uganda. Jadi pemerasan semacam itu tidak dapat diterima," lanjutnya.
Aktivis dan pengacara Uganda mengajukan gugatan pada hari Senin terhadap undang-undang tersebut. Mereka mengatakan itu mendorong diskriminasi dan stimmatisasi dan menyatakan itu disahkan tanpa partisipasi publik yang berarti.
Dalam sebuah wawancara, Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia Volker Turk mengatakan kepada Reuters bahwa dia mengharapkan pengadilan untuk menyetujuinya.
"Saya berharap pengadilan akan memeriksanya dan saya dapat memberi tahu Anda, jika mereka melihat hukum hak asasi manusia, konstitusi mereka sendiri, mereka akan menganggapnya melanggar," kata Turk, menggambarkan undang-undang itu sebagai "menghancurkan".
Dia tidak merinci aspek konstitusi mana yang dilanggar. Ditanya tentang dugaan pelanggaran hukum internasional, seorang juru bicara kemudian menambahkan: "berbagai macam", mengatakan ini termasuk hak atas kesetaraan, non-diskriminasi, dan hak untuk hidup.
Lihat Juga: Laksamana Amerika Ketir-ketir Rusia Bakal Bantu China Pangkas Dominasi Militer AS, Begini Caranya
Undang-undang yang ditandatangani oleh Presiden Yoweri Museveni itu memuat hukuman mati bagi "homoseksualitas yang diperparah", sebuah pelanggaran yang mencakup penularan HIV melalui seks sesama jenis.
Pengesahan undang-undang pada awal pekan ini memantik teguran langsung dari pemerintah Barat dan membahayakan sebagian dari miliaran dolar bantuan luar negeri yang diterima Uganda setiap tahun.
Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden mengancam pemotongan bantuan dan sanksi lainnya. Sementara Menteri Luar Negeri Antony Blinken mengatakan, pemerintah akan mempertimbangkan pembatasan visa terhadap pejabat Uganda.
Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa, Josep Borrell mengatakan, undang-undang itu akan berdampak pada hubungan Uganda dengan mitra internasional.
Dalam komentar rinci pertama pemerintah Uganda sejak Museveni menandatangani undang-undang tersebut, Menteri Penerangan Chris Baryomunsi menolak kecaman tersebut.
"Kami tidak menganggap homoseksualitas sebagai hak konstitusional. Itu hanya penyimpangan seksual yang tidak kami promosikan sebagai orang Uganda dan Afrika," katanya kepada Reuters, Selasa (30/5/2023).
“Sementara kami menghargai dukungan yang kami dapatkan dari mitra, mereka harus diingatkan bahwa kami adalah negara berdaulat dan kami tidak membuat undang-undang untuk dunia Barat. Kami membuat undang-undang untuk rakyat kami sendiri di sini di Uganda. Jadi pemerasan semacam itu tidak dapat diterima," lanjutnya.
Aktivis dan pengacara Uganda mengajukan gugatan pada hari Senin terhadap undang-undang tersebut. Mereka mengatakan itu mendorong diskriminasi dan stimmatisasi dan menyatakan itu disahkan tanpa partisipasi publik yang berarti.
Dalam sebuah wawancara, Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia Volker Turk mengatakan kepada Reuters bahwa dia mengharapkan pengadilan untuk menyetujuinya.
Baca Juga
"Saya berharap pengadilan akan memeriksanya dan saya dapat memberi tahu Anda, jika mereka melihat hukum hak asasi manusia, konstitusi mereka sendiri, mereka akan menganggapnya melanggar," kata Turk, menggambarkan undang-undang itu sebagai "menghancurkan".
Dia tidak merinci aspek konstitusi mana yang dilanggar. Ditanya tentang dugaan pelanggaran hukum internasional, seorang juru bicara kemudian menambahkan: "berbagai macam", mengatakan ini termasuk hak atas kesetaraan, non-diskriminasi, dan hak untuk hidup.
Lihat Juga: Laksamana Amerika Ketir-ketir Rusia Bakal Bantu China Pangkas Dominasi Militer AS, Begini Caranya
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
(esn)
tulis komentar anda