Kekerasan Etnis di India: Desa-desa Dibakar Menjadi Abu
Selasa, 09 Mei 2023 - 19:07 WIB
NEW DELHI - Jalan menuju Heiroklian mulus dan segar, dengan tanda yang memproklamasikannya sebagai bagian dari prakarsa pembangunan pemerintah India. Tetapi kekerasan etnis telah mereduksi desa itu menjadi abu yang membara.
Sanatomba menelusuri reruntuhan rumah saudara perempuannya di negara bagian timur laut Manipur, mencoba menyelamatkan apa pun yang berharga, tetapi hanya dapat menemukan bangku tradisional.
"Dulu ini dapur kakak saya," kata perempuan berusia 20 tahun itu.
"Itu kamarnya dan dia menyimpan TV-nya di sana, lemari es di sana, almirah (lemari) untuk pakaian di sana. Tapi sekarang semua yang dia tinggali bersama suaminya, empat anak dan anggota keluarga lainnya hilang selamanya," ungkapnya seperti dikutip dari Channel News Asia, Selasa (9/5/2023).
Lebih dari 50 orang telah tewas di wilayah perbatasan berbukit dalam bentrokan antara mayoritas etnis Meitei, yang sebagian besar beragama Hindu, dan suku Kuki yang sebagian besar beragama Kristen.
Ribuan tentara telah dikerahkan untuk memulihkan ketertiban, sementara sekitar 23.000 penduduk telah meninggalkan rumah mereka demi keamanan ke kamp-kamp ad-hoc yang dikelola tentara untuk para pengungsi.
Saudara Sanatomba ada di antara mereka. Mereka adalah etnis Kuki, dan dia yakin dia dan keluarganya tidak akan pernah bisa kembali.
"Dia menyuruhku datang ke sini dan mencari apa pun yang bisa kutemukan," katanya, tangan dan kakinya berlumuran jelaga hitam.
Desa lainnya mengalami nasib serupa, tiga permukimannya berserakan dengan pintu yang rusak, tangki air yang terbakar, dan batang logam yang dibuka paksa.
Gereja desa yang menjulang tinggi, gedung sekolah, dan bahkan pohon nangka dibakar oleh para pelaku penyerangan.
Para perampok, kata Sanatomba, mencuri ternak dan unggas warga.
“Hewan-hewan yang tidak bisa mereka ambil hidup-hidup, mereka bunuh dan diambil sebagai daging," ujarnya.
"Saya takut pada orang Meitei," tukasnya.
Sementara itu Thanglallem Kuki (32), seorang guru di sebuah sekolah swasta, menyaksikan dari puncak bukit saat desanya di Kamuching diserang dan dibakar habis, menghabiskan dua malam di hutan sebelum diselamatkan dan dibawa ke kamp tentara.
Dia mengatakan massa Meitei pergi dari rumah ke rumah, mengambil barang-barang berharga, gadget elektronik, tabung gas untuk memasak, dan bahkan kasur, memuat hasil rampasan mereka ke dalam kendaraan.
“Setelah itu mereka membakar rumah-rumah dan mereka membakar satu rumah ke rumah lainnya," ujarnya.
"Untuk pertama kalinya ketika mereka membakar rumah, mereka membiarkan beberapa rumah tidak terbakar dan mereka menyerbu masuk lagi setelah dua hari dan mereka benar-benar membakarnya," ungkapnya.
Dia mengaku tidak punya apa-apa.
"Kami melihat dan menangis dengan hati yang hancur dan kami melihat ke bawah pada rumah kami yang terbakar menjadi abu dengan ketidakberdayaan dan tanpa harapan."
Negara-negara bagian yang jauh di timur laut India - terjepit di antara Bangladesh, China, dan Myanmar - telah lama menjadi pusat ketegangan antara kelompok etnis yang berbeda.
Percikan bentrokan etnis terbaru adalah protes tentang rencana untuk memberikan status "Suku Terdaftar" Meitei.
Suatu bentuk tindakan afirmatif untuk memerangi ketidaksetaraan dan diskriminasi struktural, klasifikasi itu akan memberi mereka jaminan kuota pekerjaan pemerintah dan penerimaan perguruan tinggi.
Kekerasan meletus di Ibu Kota regional Imphal dan di tempat lain, dengan pengunjuk rasa membakar kendaraan dan bangunan. Menurut penduduk desa, gerombolan Meitei bersenjatakan senapan dan kaleng bensin kemudian menyerang pemukiman Kuki di perbukitan.
Seorang perwira militer mengatakan pihak berwenang khawatir akan ada lebih banyak serangan balasan karena kedua komunitas kini telah mengumpulkan senjata.
"Apakah kamu yakin tidak ada di antara kamu yang memiliki senjata yang ingin kamu serahkan?" seorang perwira senior bertanya pada pertemuan etnis Kuki di sebuah desa di luar Imphal pada Senin kemarin.
"Masyarakat lain telah berjanji untuk menyerahkan senjata mereka jika Anda melakukannya juga," tambahnya.
"Saya ingin Anda mempertimbangkan ini karena tidak membantu kedua komunitas untuk memiliki senjata-senjata ini dalam peredaran," imbaunya.
Tak satu pun dari sebagian besar pria yang hadir dalam pertemuan itumelakukannya.
Sanatomba menelusuri reruntuhan rumah saudara perempuannya di negara bagian timur laut Manipur, mencoba menyelamatkan apa pun yang berharga, tetapi hanya dapat menemukan bangku tradisional.
"Dulu ini dapur kakak saya," kata perempuan berusia 20 tahun itu.
"Itu kamarnya dan dia menyimpan TV-nya di sana, lemari es di sana, almirah (lemari) untuk pakaian di sana. Tapi sekarang semua yang dia tinggali bersama suaminya, empat anak dan anggota keluarga lainnya hilang selamanya," ungkapnya seperti dikutip dari Channel News Asia, Selasa (9/5/2023).
Lebih dari 50 orang telah tewas di wilayah perbatasan berbukit dalam bentrokan antara mayoritas etnis Meitei, yang sebagian besar beragama Hindu, dan suku Kuki yang sebagian besar beragama Kristen.
Ribuan tentara telah dikerahkan untuk memulihkan ketertiban, sementara sekitar 23.000 penduduk telah meninggalkan rumah mereka demi keamanan ke kamp-kamp ad-hoc yang dikelola tentara untuk para pengungsi.
Saudara Sanatomba ada di antara mereka. Mereka adalah etnis Kuki, dan dia yakin dia dan keluarganya tidak akan pernah bisa kembali.
"Dia menyuruhku datang ke sini dan mencari apa pun yang bisa kutemukan," katanya, tangan dan kakinya berlumuran jelaga hitam.
Desa lainnya mengalami nasib serupa, tiga permukimannya berserakan dengan pintu yang rusak, tangki air yang terbakar, dan batang logam yang dibuka paksa.
Gereja desa yang menjulang tinggi, gedung sekolah, dan bahkan pohon nangka dibakar oleh para pelaku penyerangan.
Para perampok, kata Sanatomba, mencuri ternak dan unggas warga.
“Hewan-hewan yang tidak bisa mereka ambil hidup-hidup, mereka bunuh dan diambil sebagai daging," ujarnya.
"Saya takut pada orang Meitei," tukasnya.
Sementara itu Thanglallem Kuki (32), seorang guru di sebuah sekolah swasta, menyaksikan dari puncak bukit saat desanya di Kamuching diserang dan dibakar habis, menghabiskan dua malam di hutan sebelum diselamatkan dan dibawa ke kamp tentara.
Dia mengatakan massa Meitei pergi dari rumah ke rumah, mengambil barang-barang berharga, gadget elektronik, tabung gas untuk memasak, dan bahkan kasur, memuat hasil rampasan mereka ke dalam kendaraan.
“Setelah itu mereka membakar rumah-rumah dan mereka membakar satu rumah ke rumah lainnya," ujarnya.
"Untuk pertama kalinya ketika mereka membakar rumah, mereka membiarkan beberapa rumah tidak terbakar dan mereka menyerbu masuk lagi setelah dua hari dan mereka benar-benar membakarnya," ungkapnya.
Dia mengaku tidak punya apa-apa.
"Kami melihat dan menangis dengan hati yang hancur dan kami melihat ke bawah pada rumah kami yang terbakar menjadi abu dengan ketidakberdayaan dan tanpa harapan."
Negara-negara bagian yang jauh di timur laut India - terjepit di antara Bangladesh, China, dan Myanmar - telah lama menjadi pusat ketegangan antara kelompok etnis yang berbeda.
Percikan bentrokan etnis terbaru adalah protes tentang rencana untuk memberikan status "Suku Terdaftar" Meitei.
Suatu bentuk tindakan afirmatif untuk memerangi ketidaksetaraan dan diskriminasi struktural, klasifikasi itu akan memberi mereka jaminan kuota pekerjaan pemerintah dan penerimaan perguruan tinggi.
Kekerasan meletus di Ibu Kota regional Imphal dan di tempat lain, dengan pengunjuk rasa membakar kendaraan dan bangunan. Menurut penduduk desa, gerombolan Meitei bersenjatakan senapan dan kaleng bensin kemudian menyerang pemukiman Kuki di perbukitan.
Seorang perwira militer mengatakan pihak berwenang khawatir akan ada lebih banyak serangan balasan karena kedua komunitas kini telah mengumpulkan senjata.
"Apakah kamu yakin tidak ada di antara kamu yang memiliki senjata yang ingin kamu serahkan?" seorang perwira senior bertanya pada pertemuan etnis Kuki di sebuah desa di luar Imphal pada Senin kemarin.
"Masyarakat lain telah berjanji untuk menyerahkan senjata mereka jika Anda melakukannya juga," tambahnya.
"Saya ingin Anda mempertimbangkan ini karena tidak membantu kedua komunitas untuk memiliki senjata-senjata ini dalam peredaran," imbaunya.
Tak satu pun dari sebagian besar pria yang hadir dalam pertemuan itumelakukannya.
(ian)
Lihat Juga :
tulis komentar anda