Profil Mohamed Hamdan Dagalo: Dari Pedagang Unta hingga Jadi Jenderal RSF yang Ditakuti Sudan
Senin, 17 April 2023 - 19:45 WIB
Sekadar informasi, sebelumnya al-Bashir sendiri pernah merekrut anggota Janjaweed untuk melawan pemberontak di pemerintahannya. Seiring waktu, nama Dagalo mulai banyak dikenal luas dan menarik perhatian Presiden al-Bashir.
Sayangnya, kelompok Hak Asasi Manusia menuduh Janjaweed melakukan kejahatan perang seperti pembunuhan, penyiksaan dan pemerkosaan terhadap warga sipil selama konflik Darfur.
Pada tahun 2013, Rapid Support Forces (RSF) dibentuk di bawah kepemimpinan Mohamed Hamdan Dagalo. Tak seperti Janjaweed, mereka berada langsung di bawah naungan al-Bashir dan Badan Intelijen Keamanan Nasional.
Seiring waktu, Dagalo menjadi orang kepercayaan al-Bashir. Hal ini membuatnya mendapat kenaikan pangkat menjadi Letnan Jenderal serta berhasil melipatgandakan kekayaannya dalam waktu tak lama.
Akan tetapi, setelah semua koneksi dan pengaruh yang diberikan al-Bashir, Dagalo justru turut ambil bagian dalam penggulingan Presiden di tahun 2019. Momen ini sekaligus mengakhiri kekuasaan al-Bashir selama hampir 30 tahun.
Pasca keruntuhan rezim al-Bashir, pemerintahan sipil-militer dibentuk. Dalam hal ini, Dagalo menjadi wakil kepala Dewan Militer Transisi.
Sama seperti yang dilakukannya dulu, Dagalo sangat keras terhadap para pembangkang. Tercatat, pasukan RSF miliknya telah membunuh lebih dari 100 orang di satu kamp protes tahun 2019. Namun, dirinya enggan untuk mengakui hal tersebut.
Pada Oktober 2021, militer merebut kekuasaan pemerintah dan mengumumkan keadaan darurat. Dalam salah satu pernyataannya, Dagalo menyebut langkah tersebut sebagai “perbaikan revolusi rakyat”.
Namun, pada perkembangannya justru terdapat perpecahan antara RSF dan pihak militer Sudan. Meski hanya berstatus pasukan para militer, namun banyak petinggi militer Sudan yang mempercayainya sebagai ancaman di masa mendatang, termasuk petingginya Mohamed Hamdan Dagalo.
Sayangnya, kelompok Hak Asasi Manusia menuduh Janjaweed melakukan kejahatan perang seperti pembunuhan, penyiksaan dan pemerkosaan terhadap warga sipil selama konflik Darfur.
Pada tahun 2013, Rapid Support Forces (RSF) dibentuk di bawah kepemimpinan Mohamed Hamdan Dagalo. Tak seperti Janjaweed, mereka berada langsung di bawah naungan al-Bashir dan Badan Intelijen Keamanan Nasional.
Seiring waktu, Dagalo menjadi orang kepercayaan al-Bashir. Hal ini membuatnya mendapat kenaikan pangkat menjadi Letnan Jenderal serta berhasil melipatgandakan kekayaannya dalam waktu tak lama.
Akan tetapi, setelah semua koneksi dan pengaruh yang diberikan al-Bashir, Dagalo justru turut ambil bagian dalam penggulingan Presiden di tahun 2019. Momen ini sekaligus mengakhiri kekuasaan al-Bashir selama hampir 30 tahun.
Pasca keruntuhan rezim al-Bashir, pemerintahan sipil-militer dibentuk. Dalam hal ini, Dagalo menjadi wakil kepala Dewan Militer Transisi.
Sama seperti yang dilakukannya dulu, Dagalo sangat keras terhadap para pembangkang. Tercatat, pasukan RSF miliknya telah membunuh lebih dari 100 orang di satu kamp protes tahun 2019. Namun, dirinya enggan untuk mengakui hal tersebut.
Pada Oktober 2021, militer merebut kekuasaan pemerintah dan mengumumkan keadaan darurat. Dalam salah satu pernyataannya, Dagalo menyebut langkah tersebut sebagai “perbaikan revolusi rakyat”.
Namun, pada perkembangannya justru terdapat perpecahan antara RSF dan pihak militer Sudan. Meski hanya berstatus pasukan para militer, namun banyak petinggi militer Sudan yang mempercayainya sebagai ancaman di masa mendatang, termasuk petingginya Mohamed Hamdan Dagalo.
(sya)
tulis komentar anda