Persaingan Pengembangan Vaksin Covid-19 Mulai Merambah Pencurian Data
Senin, 20 Juli 2020 - 11:09 WIB
LONDON - Rusia dan China kerap dituduh sebagai negara yang hendak mencuri data rahasia vaksin virus corona (Covid-19) . Tudingan tersebut diluncurkan Amerika Serikat (AS) dan koalisinya, seperti Inggris, Kanada, dan Prancis. Itu menunjukkan persaingan pengembangan vaksin sudah menunjukkan arah yang tidak sehat.
Aktivitas intelijen memang kini banyak bekerja di ranah siber untuk melakukan pencurian data. Kekuatan intelijen pun menjadi bagian penting untuk membantu dan menyukseskan suatu pengembangan vaksin. Itu termasuk dilakukan dengan pencurian data pengembangan vaksin yang dilakukan negara lain. Apalagi vaksin merupakan satu-satunya obat yang mampu meredam pandemi.
Upaya pengembangan vaksin di berbagai negara juga melibatkan pengamanan intelijen dan keamanan. Hal itu disebabkan banyak negara yang telah menginvestasikan dananya untuk pengembangan vaksin. Karena itu, vaksin bukan saja proyek perusahaan farmasi, tetapi sudah menjadi kepentingan negara yang bersangkutan. (Baca: AS Rilis Bukti Virus Corona Buatan Laboratorium China)
Belum lagi, proyek pengembangan vaksin juga dilakukan banyak negara, seperti China dan AS menunjukkan adanya persaingan. Siapa yang menjadi pertama kali menemukan vaksin, maka mereka adalah pemenangnya. Hingga kini belum ada yang menjadi pemenangnya. Dengan segala cara, mereka pun ingin menjadi pemenangnya. Termasuk dengan pencurian data.
Kenapa harus mencuri data pengembangan vaksin? Biaya pengembangan vaksin diperlukan bukan lagi ratusan jutaan dolar yang harus dikeluarkan, tetapi miliaran dolar. Dana besar itu membuat banyak negara tidak mau mengeluarkan anggaran tersebut. Kalau pencurian data bisa dikatakan sangat murah biayanya sehingga kerap ditempuh sebagai salah jalan untuk memudahkan mendapatkan vaksin dengan cara instan.
Duta Besar Rusia untuk Inggris, Andrei Kelin, membantah kalau badan intelijen Moskow hendak mencuri hasil penelitian vaksin virus corona. “Saya tidak percaya dengan cerita ini keseluruhan. Hal itu tidak masuk akal,” kata Kelin kepada BBC. (Baca juga: Sudah Puluhan ASN di Lingkup Pemkab Maros Terpapar Virus Covid-19)
Kelin mengabaikan klaim bahwa Rusia akan mengambil keuntungan dengan pencurian data penelitian tersebut. Dia mengungkapkan, perusahaan farmasi Rusia, R-Pharm, telah bekerja sama dengan AstraZeneca untuk memproduksi vaksin yang dikembangkan Universitas Oxford. Dengan begitu, pencurian vaksin tidaklah penting.
Badan keamanan Inggris menyatakan para peretas menargetkan pengembang vaksin itu sebagai bagian dari kerja badan intelijen Rusia. Badan Keamanan Cyber Nasional Inggris (NCSC) mengatakan, 95% kebenarannya bahwa kelompok yang disebut juga dengan nama The Dukes atau Cozy Bear merupakan bagian dari layanan badan intelijen Rusia. Bukan hanya Inggris, AS dan Kanada juga mengungkapkan hal sama. Mereka menuding kelompok yang disebut dengan APT29 menarget berbagai organisasi yang terlibat daam pengembangan vaksin. Aksi itu bertujuan untuk melakukan pencurian data.
Sebelumnya, pemerintahan AS mengingatkan tentang ancaman serangan siber yang dilakukan Pemerintah China untuk mendapatkan perkembangan dan penelitian vaksin serta pengobatan virus corona. Laporan itu pertama kali diungkap The New York Times. Peringatan itu disampaikan Biro Penyidik Federal (FBI) dan Departemen Keamanan Dalam Negeri (DHS). Kedua lembaga tersebut memantau aktivitas aneh dari peretas pemerintah asing selama pandemi. Mereka memperingatkan pihak universitas, fasilitas penelitian, dan institusi kesehatan yang rentan terhadap serangan peretasan tersebut.
Lembaga keamanan di Inggris dan AS juga memperingatkan adanya aktor siber negara yang menarget lembaga kesehatan, perusahaan farmasi, dan organisasi penelitian. Beberapa firma keamanan siber juga menyatakan Rusia, China, Iran, dan Korea Utara meningkatkan aktivitas sibernya untuk mendapatkan informasi berkaitan dengan virus corona. (Baca juga: Perhatikan Ini! Hanya Tiga Bulan di Jawa Timur 361 Perawat Positif Covid-19, 13 Meninggal)
Direktur Kontraintelijen Nasional dan Pusat Keamanan Bill Evanina mengatakan, Pemerintah AS telah memperingatkan risiko organisasi penelitian medis mengenai aksi spionase. Namun, dia tidak mengatakan apakah ada laporan pencurian data. Bukan hanya AS semata, sumber keamanana Inggris juga mengatakan mereka juga mewaspadai aksi spionase itu.
Evanina mengungkapkan, lembaganya memberikan bantuan dan panduan untuk melawan lembaga intelijen asing terhadap pengusaha dan akademisi. “Kita telah bekerja dengan industri dan pemerintah dengan erat untuk menjamin mereka melindungi seluruh penelitian serta data mereka,” katanya kepada BBC.
Bagaimana respons China? China mengklaim mereka memimpin dalam perlombaan vaksin korona. China menentang segala bentuk serangan siber. China memiliki tiga kandidat vaksin yang sedang tahap uji klinis. Tiga di antaranya sudah memasuki fase kedua tahap klinis, termasuk vaksin yang dikembangkan Sinovac Biotech, perusahaan berbasis di Beijing. (Lihat videonya: Seorang Nenek Renta di Banyuasi Digugat Anaknya Sendiri Perihal Warisan)
Menurut pakar imunitas China yang enggan disebutkan namanya, mengatakan China mengembangkan vaksin inactivated, sedangkan AS fokus pada vaksin berbasis DNA dan RNA. Itu menunjukkan materi penelitian AS memiliki nilai sedikit bagi China. Para pakar juga menyatakan China membuka informasi penelitian tentang vaksin tersebut. Buktinya, China bekerja sama dengan mitra asing, termasuk di antaranya AS, Inggris, dan Jerman.
“AS bisa merusak mekanisme kerja sama dengan membuat tuduhan spionase siber,” kata Lu Xang, peneliti kajian AS di Chinese Academy of Social Sciences di Beijing kepada The Global Times. China mampu melakukan penelitian dan pengembangan vaksin Covid-19 dengan independen. “Kita bukan satu-satunya yang membutuhkan vaksin, mereka juga,” katanya.
Iran juga menjadi negara yang kerap dituduh karena hendak mencuri data terkait penelitian dan pengembangan obat serta vaksin virus korona. Para peretas asal Iran menargetkan Gilead Sciences, produsen remdesivir, obat yang diklaim mampu mengobati virus korona. Peretasan itu dilakukan melalui email yang didesain untuk mencuri kata sandi para eksekutif Gilead dalam bidang hubungan korporasi dan legal. (Andika H Mustaqim)
Aktivitas intelijen memang kini banyak bekerja di ranah siber untuk melakukan pencurian data. Kekuatan intelijen pun menjadi bagian penting untuk membantu dan menyukseskan suatu pengembangan vaksin. Itu termasuk dilakukan dengan pencurian data pengembangan vaksin yang dilakukan negara lain. Apalagi vaksin merupakan satu-satunya obat yang mampu meredam pandemi.
Upaya pengembangan vaksin di berbagai negara juga melibatkan pengamanan intelijen dan keamanan. Hal itu disebabkan banyak negara yang telah menginvestasikan dananya untuk pengembangan vaksin. Karena itu, vaksin bukan saja proyek perusahaan farmasi, tetapi sudah menjadi kepentingan negara yang bersangkutan. (Baca: AS Rilis Bukti Virus Corona Buatan Laboratorium China)
Belum lagi, proyek pengembangan vaksin juga dilakukan banyak negara, seperti China dan AS menunjukkan adanya persaingan. Siapa yang menjadi pertama kali menemukan vaksin, maka mereka adalah pemenangnya. Hingga kini belum ada yang menjadi pemenangnya. Dengan segala cara, mereka pun ingin menjadi pemenangnya. Termasuk dengan pencurian data.
Kenapa harus mencuri data pengembangan vaksin? Biaya pengembangan vaksin diperlukan bukan lagi ratusan jutaan dolar yang harus dikeluarkan, tetapi miliaran dolar. Dana besar itu membuat banyak negara tidak mau mengeluarkan anggaran tersebut. Kalau pencurian data bisa dikatakan sangat murah biayanya sehingga kerap ditempuh sebagai salah jalan untuk memudahkan mendapatkan vaksin dengan cara instan.
Duta Besar Rusia untuk Inggris, Andrei Kelin, membantah kalau badan intelijen Moskow hendak mencuri hasil penelitian vaksin virus corona. “Saya tidak percaya dengan cerita ini keseluruhan. Hal itu tidak masuk akal,” kata Kelin kepada BBC. (Baca juga: Sudah Puluhan ASN di Lingkup Pemkab Maros Terpapar Virus Covid-19)
Kelin mengabaikan klaim bahwa Rusia akan mengambil keuntungan dengan pencurian data penelitian tersebut. Dia mengungkapkan, perusahaan farmasi Rusia, R-Pharm, telah bekerja sama dengan AstraZeneca untuk memproduksi vaksin yang dikembangkan Universitas Oxford. Dengan begitu, pencurian vaksin tidaklah penting.
Badan keamanan Inggris menyatakan para peretas menargetkan pengembang vaksin itu sebagai bagian dari kerja badan intelijen Rusia. Badan Keamanan Cyber Nasional Inggris (NCSC) mengatakan, 95% kebenarannya bahwa kelompok yang disebut juga dengan nama The Dukes atau Cozy Bear merupakan bagian dari layanan badan intelijen Rusia. Bukan hanya Inggris, AS dan Kanada juga mengungkapkan hal sama. Mereka menuding kelompok yang disebut dengan APT29 menarget berbagai organisasi yang terlibat daam pengembangan vaksin. Aksi itu bertujuan untuk melakukan pencurian data.
Sebelumnya, pemerintahan AS mengingatkan tentang ancaman serangan siber yang dilakukan Pemerintah China untuk mendapatkan perkembangan dan penelitian vaksin serta pengobatan virus corona. Laporan itu pertama kali diungkap The New York Times. Peringatan itu disampaikan Biro Penyidik Federal (FBI) dan Departemen Keamanan Dalam Negeri (DHS). Kedua lembaga tersebut memantau aktivitas aneh dari peretas pemerintah asing selama pandemi. Mereka memperingatkan pihak universitas, fasilitas penelitian, dan institusi kesehatan yang rentan terhadap serangan peretasan tersebut.
Lembaga keamanan di Inggris dan AS juga memperingatkan adanya aktor siber negara yang menarget lembaga kesehatan, perusahaan farmasi, dan organisasi penelitian. Beberapa firma keamanan siber juga menyatakan Rusia, China, Iran, dan Korea Utara meningkatkan aktivitas sibernya untuk mendapatkan informasi berkaitan dengan virus corona. (Baca juga: Perhatikan Ini! Hanya Tiga Bulan di Jawa Timur 361 Perawat Positif Covid-19, 13 Meninggal)
Direktur Kontraintelijen Nasional dan Pusat Keamanan Bill Evanina mengatakan, Pemerintah AS telah memperingatkan risiko organisasi penelitian medis mengenai aksi spionase. Namun, dia tidak mengatakan apakah ada laporan pencurian data. Bukan hanya AS semata, sumber keamanana Inggris juga mengatakan mereka juga mewaspadai aksi spionase itu.
Evanina mengungkapkan, lembaganya memberikan bantuan dan panduan untuk melawan lembaga intelijen asing terhadap pengusaha dan akademisi. “Kita telah bekerja dengan industri dan pemerintah dengan erat untuk menjamin mereka melindungi seluruh penelitian serta data mereka,” katanya kepada BBC.
Bagaimana respons China? China mengklaim mereka memimpin dalam perlombaan vaksin korona. China menentang segala bentuk serangan siber. China memiliki tiga kandidat vaksin yang sedang tahap uji klinis. Tiga di antaranya sudah memasuki fase kedua tahap klinis, termasuk vaksin yang dikembangkan Sinovac Biotech, perusahaan berbasis di Beijing. (Lihat videonya: Seorang Nenek Renta di Banyuasi Digugat Anaknya Sendiri Perihal Warisan)
Menurut pakar imunitas China yang enggan disebutkan namanya, mengatakan China mengembangkan vaksin inactivated, sedangkan AS fokus pada vaksin berbasis DNA dan RNA. Itu menunjukkan materi penelitian AS memiliki nilai sedikit bagi China. Para pakar juga menyatakan China membuka informasi penelitian tentang vaksin tersebut. Buktinya, China bekerja sama dengan mitra asing, termasuk di antaranya AS, Inggris, dan Jerman.
“AS bisa merusak mekanisme kerja sama dengan membuat tuduhan spionase siber,” kata Lu Xang, peneliti kajian AS di Chinese Academy of Social Sciences di Beijing kepada The Global Times. China mampu melakukan penelitian dan pengembangan vaksin Covid-19 dengan independen. “Kita bukan satu-satunya yang membutuhkan vaksin, mereka juga,” katanya.
Iran juga menjadi negara yang kerap dituduh karena hendak mencuri data terkait penelitian dan pengembangan obat serta vaksin virus korona. Para peretas asal Iran menargetkan Gilead Sciences, produsen remdesivir, obat yang diklaim mampu mengobati virus korona. Peretasan itu dilakukan melalui email yang didesain untuk mencuri kata sandi para eksekutif Gilead dalam bidang hubungan korporasi dan legal. (Andika H Mustaqim)
(ysw)
tulis komentar anda