Pertarungan Setengah Hati di Laut China Selatan
Rabu, 15 Juli 2020 - 10:25 WIB
BEIJING - Sejak 2012, China telah membangun dua puluh pulau di Laut China Selatan (LCS). Kehadiran China di LCS pun telah mengkhawatirkan Amerika Serikat (AS) dan negara-negara di Asia Tenggara.
Saat ini China bisa dikatakan bisa menguasai seluruh LCS. Apalagi, Beijing menggunakan pendekatan kampanye pembangunan pulau dan penggunaan kapal nonperang. Strategi cerdik itu menunjukkan Beijing paham mereka tidak ingin konfrontasi militer, mereka hanya ingin unjuk kekuatan.
Beijing telah membangun sedikitnya 20 pos pemeriksaan di Kepulauan Paracel dan 7 di Spratlys. Mereka juga sedang berekspansi membangun pos pemeriksaan di Scarborough Shoal. Baik Kepulauan Paracel, Spratlys, maupun Scarborough merupakan dua pertiga dari teritorial yang diklaim di LCS.
China beranggapan bahwa negara besar bukan hanya mereka yang berjaya di daratan. Kesadaran maritim benar-benar dibangun oleh China. Mereka berpegang teguh kalau yang menguasai maritim maka otomatis akan menguasai dunia. Kesadaran China itu setelah mereka menyadari perlu memperluas pasar untuk menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi di dalam negeri. (Baca: Singapura Resesi, Warning Bagi Ekonomi Indonesia)
Langkah permainan AS di LCS juga terbilang sangat terlambat. Washington mengabaikan kehadiran Beijing di banyak pulau buatan, sedangkan AS hanya mengandalkan kapal perang yang berlalu lalang di LCS hanya untuk operasi kebebasan navigasi.
“Jika terjadi konflik, China biasa menguasai LCS dalam satu hari,” kata Ketua Program Asia Tenggara di Centre for Strategic and International Studies, Greg Poling, dilansir South China Morning Post. “China telah mendominasi LCS, sedangkan AS tidak. China pun sebenarnya menghindari konflik militer dengan AS,” katanya.
Imbas dari konflik LCS bukan hanya bagi negara di Asia Tenggara. Konfrontasi itu pun bisa meluas hingga Jepang dan Taiwan. Itu juga sangat disadari oleh AS dan China. Permainan konflik kedua kekuatan dunia pun mengarah pada menjadikan LCS untuk pengujian pesawat nirawak, senjata hipersonik, dan memamerkan kemampuan misil baru.
Dengan begitu, konflik LCS kerap disebut sebagai "contest of wills". Itu fokus kalau mereka tidak ingin berkompromi mengenai kedaulatan. Mengapa? Kedua negara tetap membangun jalur komunikasi di LCS.
Keduanya hanya ingin menunjukkan keinginan mereka, tetapi tidak mau meningkatkan status konfliknya. "Militer AS pun memublikasikan operasi mereka seperti kondisi normal," kata Collin Koh, pakar keamanan maritim dari Nanyang Technological University di Singapura. AS hanya ingin memperkuat komunikasi strategis untuk meraih dukungan komunitas internasional," katanya. (Baca juga: Kalah Jumlah, Mustahil Jet Tempur Siluman J-25 Kalahkan F-35 AS)
China pun tetap selalu siaga dan waspada, sedangkan AS tetap mengimbau aliansinya untuk membantu melawan China di LCS. Itu dibuktikan dengan banyak kapal perang AS dan Inggris kerap berlayar ke LCS. Konflik setengah hati pun bisa disebut untuk menggambarkan pertarungan AS dan China di LCS.
AS Tolak Klaim China di LCS
Amerika Serikat (AS) menolak klaim China yang ingin menguasai sebagian besar kawasan Laut China Selatan (LCS), Senin (13/7) waktu lokal. Langkah tersebut mendapatkan kritikan keras dari Beijing yang menyatakan Washington berupaya meningkatkan ketegangan di kawasan.
Hubungan antara AS dan China kembali memanas di tengah wabah virus korona (Covid-19). Presiden AS Donald Trump menuduh China sebagai biang menyebarnya Covid-19 ke seluruh dunia. AS juga tidak senang dengan campur tangan China dalam sistem pemerintahan Hong Kong dan bagaimana China memperlakukan umat muslim Uighur. (Baca juga: Buwas Sebut Tidak Perlu Terlalu Risau dengan Ancaman Krisis Pangan)
China telah mengklaim sekitar 90% dari kawasan LCS yang kaya akan sumber daya energi dan ikan. Namun, klaim itu tumpang tindih dengan kawasan perairan Brunei Darussalam, Malaysia, Filipina, dan Vietnam. Hampir setiap tahun kapal pengangkut barang senilai USD3 triliun berlayar di wilayah tersebut.
Menteri Luar Negeri (Menlu) AS Mike Pompeo menerangkan, China tidak pernah memiliki dasar hukum yang jelas untuk mengklaim LCS. Selama bertahun-tahun, China hanya menggunakan intimidasi ekonomi dan kekuatan militer sebagai alat untuk menyingkirkan pesaingnya dari Asia Tenggara.
"Kami ingin kembali menegaskan klaim Beijing di kawasan LCS di sepanjang garis lepas pantai tidak memiliki landasan hukum apa pun," ujar Pompeo di hadapan awak media, dikutip Reuters. "China hanya menggunakan kekerasan untuk menguasai wilayah tersebut, terutama secara mental," sambungnya.
AS telah menolak klaim China di LCS sejak China berupaya memperluas wilayah kedaulatannya beberapa dekade silam. Namun, China tetap tidak bergeming. China bahkan tidak segan membangun pulau reklamasi, pangkalan militer, dan mengirimkan armada tempur ke LCS.
"Dunia tidak akan membiarkan Beijing memperlakukan LCS sebagai wilayah kekaisaran maritim China di Asia," ujar Pompeo. Selain AS, beberapa negara di Asia Tenggara juga menentang keras klaim China, terutama Vietnam, Filipina, Malaysia, hingga Brunei Darussalam.
Kedutaan Besar (Kedubes) China untuk AS menepis semua tuduhan Pompeo dan menyebut semua pernyataannya tidak memiliki dasar dan bukti. Mereka mengatakan Departemen Luar Negeri AS dengan sengaja mengaburkan fakta-fakta dan hukum internasional termasuk Konvensi PBB mengenai Hukum Laut.
"Di bawah upaya menciptakan stabilitas, AS justru menunjukkan ototnya, meningkatkan ketegangan, dan memicu konfrontasi di kawasan," ungkap Kedubes China untuk AS. "Tuduhan ini sepenuhnya tidak bisa dibenarkan. China sepenuhnya menolak,” ungkap mereka. (Lihat videonya: Banjir Bandang di Kabupaten Luwu Hancurkan Akses Jalan Desa)
Pejabat tinggi Partai Republik dan Demokrat di Komite Hubungan Luar Negeri Senate AS dan Komite Urusan Luar Negeri DPR AS juga menolak klaim China di LCS. "Kita tidak lagi memiliki kepentingan yang sama. China yang bersikap agresif di LCS sudah banyak melanggar hukum internasional," kata Senator Jim Risch dan Bob Menendez.
Sebelumnya, AS sempat memberikan kesempatan kepada China dan negara terlibat sengketa untuk menyelesaikan konflik di LCS secara damai, diplomatis, dan sejalan dengan hukum internasional. Namun, kini, AS menilai China tidak berada dalam posisi pengklaim yang sah secara hukum sehingga tidak dapat bernegosiasi.
Para ahli internasional menyatakan, pendirian negara lain juga sangat vital dalam menentukan keberpihakan di LCS. Jika satu negara memiliki pandangan yang sama dengan AS, maka negara tersebut secara otomatis menentang keberadaan China di LCS. (Muh Shamil)
Saat ini China bisa dikatakan bisa menguasai seluruh LCS. Apalagi, Beijing menggunakan pendekatan kampanye pembangunan pulau dan penggunaan kapal nonperang. Strategi cerdik itu menunjukkan Beijing paham mereka tidak ingin konfrontasi militer, mereka hanya ingin unjuk kekuatan.
Beijing telah membangun sedikitnya 20 pos pemeriksaan di Kepulauan Paracel dan 7 di Spratlys. Mereka juga sedang berekspansi membangun pos pemeriksaan di Scarborough Shoal. Baik Kepulauan Paracel, Spratlys, maupun Scarborough merupakan dua pertiga dari teritorial yang diklaim di LCS.
China beranggapan bahwa negara besar bukan hanya mereka yang berjaya di daratan. Kesadaran maritim benar-benar dibangun oleh China. Mereka berpegang teguh kalau yang menguasai maritim maka otomatis akan menguasai dunia. Kesadaran China itu setelah mereka menyadari perlu memperluas pasar untuk menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi di dalam negeri. (Baca: Singapura Resesi, Warning Bagi Ekonomi Indonesia)
Langkah permainan AS di LCS juga terbilang sangat terlambat. Washington mengabaikan kehadiran Beijing di banyak pulau buatan, sedangkan AS hanya mengandalkan kapal perang yang berlalu lalang di LCS hanya untuk operasi kebebasan navigasi.
“Jika terjadi konflik, China biasa menguasai LCS dalam satu hari,” kata Ketua Program Asia Tenggara di Centre for Strategic and International Studies, Greg Poling, dilansir South China Morning Post. “China telah mendominasi LCS, sedangkan AS tidak. China pun sebenarnya menghindari konflik militer dengan AS,” katanya.
Imbas dari konflik LCS bukan hanya bagi negara di Asia Tenggara. Konfrontasi itu pun bisa meluas hingga Jepang dan Taiwan. Itu juga sangat disadari oleh AS dan China. Permainan konflik kedua kekuatan dunia pun mengarah pada menjadikan LCS untuk pengujian pesawat nirawak, senjata hipersonik, dan memamerkan kemampuan misil baru.
Dengan begitu, konflik LCS kerap disebut sebagai "contest of wills". Itu fokus kalau mereka tidak ingin berkompromi mengenai kedaulatan. Mengapa? Kedua negara tetap membangun jalur komunikasi di LCS.
Keduanya hanya ingin menunjukkan keinginan mereka, tetapi tidak mau meningkatkan status konfliknya. "Militer AS pun memublikasikan operasi mereka seperti kondisi normal," kata Collin Koh, pakar keamanan maritim dari Nanyang Technological University di Singapura. AS hanya ingin memperkuat komunikasi strategis untuk meraih dukungan komunitas internasional," katanya. (Baca juga: Kalah Jumlah, Mustahil Jet Tempur Siluman J-25 Kalahkan F-35 AS)
China pun tetap selalu siaga dan waspada, sedangkan AS tetap mengimbau aliansinya untuk membantu melawan China di LCS. Itu dibuktikan dengan banyak kapal perang AS dan Inggris kerap berlayar ke LCS. Konflik setengah hati pun bisa disebut untuk menggambarkan pertarungan AS dan China di LCS.
AS Tolak Klaim China di LCS
Amerika Serikat (AS) menolak klaim China yang ingin menguasai sebagian besar kawasan Laut China Selatan (LCS), Senin (13/7) waktu lokal. Langkah tersebut mendapatkan kritikan keras dari Beijing yang menyatakan Washington berupaya meningkatkan ketegangan di kawasan.
Hubungan antara AS dan China kembali memanas di tengah wabah virus korona (Covid-19). Presiden AS Donald Trump menuduh China sebagai biang menyebarnya Covid-19 ke seluruh dunia. AS juga tidak senang dengan campur tangan China dalam sistem pemerintahan Hong Kong dan bagaimana China memperlakukan umat muslim Uighur. (Baca juga: Buwas Sebut Tidak Perlu Terlalu Risau dengan Ancaman Krisis Pangan)
China telah mengklaim sekitar 90% dari kawasan LCS yang kaya akan sumber daya energi dan ikan. Namun, klaim itu tumpang tindih dengan kawasan perairan Brunei Darussalam, Malaysia, Filipina, dan Vietnam. Hampir setiap tahun kapal pengangkut barang senilai USD3 triliun berlayar di wilayah tersebut.
Menteri Luar Negeri (Menlu) AS Mike Pompeo menerangkan, China tidak pernah memiliki dasar hukum yang jelas untuk mengklaim LCS. Selama bertahun-tahun, China hanya menggunakan intimidasi ekonomi dan kekuatan militer sebagai alat untuk menyingkirkan pesaingnya dari Asia Tenggara.
"Kami ingin kembali menegaskan klaim Beijing di kawasan LCS di sepanjang garis lepas pantai tidak memiliki landasan hukum apa pun," ujar Pompeo di hadapan awak media, dikutip Reuters. "China hanya menggunakan kekerasan untuk menguasai wilayah tersebut, terutama secara mental," sambungnya.
AS telah menolak klaim China di LCS sejak China berupaya memperluas wilayah kedaulatannya beberapa dekade silam. Namun, China tetap tidak bergeming. China bahkan tidak segan membangun pulau reklamasi, pangkalan militer, dan mengirimkan armada tempur ke LCS.
"Dunia tidak akan membiarkan Beijing memperlakukan LCS sebagai wilayah kekaisaran maritim China di Asia," ujar Pompeo. Selain AS, beberapa negara di Asia Tenggara juga menentang keras klaim China, terutama Vietnam, Filipina, Malaysia, hingga Brunei Darussalam.
Kedutaan Besar (Kedubes) China untuk AS menepis semua tuduhan Pompeo dan menyebut semua pernyataannya tidak memiliki dasar dan bukti. Mereka mengatakan Departemen Luar Negeri AS dengan sengaja mengaburkan fakta-fakta dan hukum internasional termasuk Konvensi PBB mengenai Hukum Laut.
"Di bawah upaya menciptakan stabilitas, AS justru menunjukkan ototnya, meningkatkan ketegangan, dan memicu konfrontasi di kawasan," ungkap Kedubes China untuk AS. "Tuduhan ini sepenuhnya tidak bisa dibenarkan. China sepenuhnya menolak,” ungkap mereka. (Lihat videonya: Banjir Bandang di Kabupaten Luwu Hancurkan Akses Jalan Desa)
Pejabat tinggi Partai Republik dan Demokrat di Komite Hubungan Luar Negeri Senate AS dan Komite Urusan Luar Negeri DPR AS juga menolak klaim China di LCS. "Kita tidak lagi memiliki kepentingan yang sama. China yang bersikap agresif di LCS sudah banyak melanggar hukum internasional," kata Senator Jim Risch dan Bob Menendez.
Sebelumnya, AS sempat memberikan kesempatan kepada China dan negara terlibat sengketa untuk menyelesaikan konflik di LCS secara damai, diplomatis, dan sejalan dengan hukum internasional. Namun, kini, AS menilai China tidak berada dalam posisi pengklaim yang sah secara hukum sehingga tidak dapat bernegosiasi.
Para ahli internasional menyatakan, pendirian negara lain juga sangat vital dalam menentukan keberpihakan di LCS. Jika satu negara memiliki pandangan yang sama dengan AS, maka negara tersebut secara otomatis menentang keberadaan China di LCS. (Muh Shamil)
(ysw)
Lihat Juga :
tulis komentar anda