Majalah Charlie Hebdo, Kebebasan Berekspresi Berujung Maut

Kamis, 08 Januari 2015 - 11:08 WIB
Majalah Charlie Hebdo, Kebebasan Berekspresi Berujung Maut
Majalah Charlie Hebdo, Kebebasan Berekspresi Berujung Maut
A A A
PARIS - Teror berdarah dialami kantor majalah Charlie Hebdo, di Prancis, Rabu kemarin. Sebanyak 12 orang ditembak mati oleh tiga pria bersenjata.

Seperti apa sejatinya kontroversi majalah Charlie Hebdo? Charile Hebdo adalah surat kabar mingguan Charlie Weekly. Hebdo adalah bahasa Prancis yang berarti mingguan.

Majalah ini pertama kali muncul tahun 1969. Majalah ini pernah “mati” tahun 1981. Tapi dihidupkan lagi tahun 1992.

Charlie Hebdo menerbitkan kartun, laporan, polemik, dan lelucon atau satir. Majalah ini tidak pandang bulu dalam publikasinya, termasuk mengejek para pemimpin politik dan tokoh-tokoh agama.

Tokoh-tokoh dari semua jenis agama jadi sasaran satir Charlie Hebdo. Bahkan, majalah itu pernah menerbitkan kartun Nabi Muhammad yang menuai kecaman.

Stéphane Charbonnier adalah editor terbaru yang memegang jabatan sejak 2009. Dia ikut tewas ditembak mati oleh tiga pria bersenjata, Rabu kemarin. Editor yang tenar dengan nama “Charb” ini jadi target utama penyerang, di mana saksi mata mendengar penyerang bertanya; “Di mana Charb?.”

Sebelum Charb, majalah kontroversi ini pernah dipimpin editor François Cavanna (1969-1981) dan Philippe Val (1992- 2009). Majalah ini terbit saban Rabu.

Tahun 2011, Charlie Hebdo membuat karya kontroversi. Yakni, kartun-kartun bertema Nabi Muhammad.

Pada bulan September 2012, surat kabar ini kembali menerbitkan serangkaian kartun satir Nabi Muhammad. Salah satunya, kartun yang menggambarkan sosok Sang Nabi dalam kondisi tanpa busana.

Karya keterlaluan yang diklaim atas nama kebebasan berekspresi ini dibuat setelah serangkaian serangan terhadap kedutaan besar Amerika Serikat (AS) di Timur Tengah. Rangkaian serangan itu juga dipicu oleh film “Innocence of Muslims” yang memicu kemarahan umat Muslim dari berbagai negara.

Menteri Luar Negeri Prancis, Laurent Fabius, sempat mengecam keputusan majalah ini. ”Di Prancis, ada prinsip kebebasan berekspresi, yang tidak boleh dirusak. Dalam konteks ini, mengingat video yang masuk akal ini yang telah ditayangkan, emosi yang kuat telah terbangun di banyak negara Muslim. Apakah itu benar-benar masuk akal atau cerdas untuk menuangkan minyak di atas api?,” kecam Fabius atas penerbitan Charlie Hebdo kala itu.

Puncak tragedi yang dialami redaksi majalah satir ini pun terjadi kemarin. Tiga penyerang menggunakan senapan serbu AK-47 menyerang kantor majalah itu. Sebanyak 12 orang ditembak mati. Salah satu penyerang sempat berteriak, bahwa aksinya sebagai balas dendam atas hinaan majalah itu terhadap Nabi Muhammad.
(mas)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5527 seconds (0.1#10.140)