Myanmar: Tak ada lagi tahanan politik
A
A
A
Sindonews.com – Pemerintah Myanmar pada Selasa (31/12/2013) mengumumkan, tak ada lagi tahanan politik (tapol) di negara itu. Klaim ini dilayangkan, setelah pemerintah mengeluarkan amnesti bagi para tapol untuk memenuhi janji Presiden Thein Sein membebaskan semua tapol pada akhir tahun 2013.
"Saya ingin mengatakan, bahwa presiden telah memenuhi janjinya, tidak akan ada tahanan politik sama sekali pada akhir 2013," kata Juru bicara Kepresidenan, Ye Htut dalam sebuah posting di halaman Facebook-nya.
Menurut Htut, dengan pemberian amnesti, bersama dengan lima pengampunan tambahan terpisah di bawah undang-undang lainnya, maka berarti tidak ada lagi tahanan politik di negara itu. Namun, masih tidak jelas apakah amnesti akan mempengaruhi sekitar 40 tahanan politik yang ada dalam daftar, dan lebih dari 200 orang yang masih menunggu persidangan.
Karenanya, klaim pemerintah Myanmar ini masih diragukan banyak pihak. David Mathieson, seorang peneliti dengan dari kelompok HAM Human Rights Watch, mengatakan, klaim ini bisa saja hanya gertakan atau pemaksaan untuk memenuhi tenggat waktu.
"Mereka bisa mengklaim pemenuhan teknis janji presiden,” kata Mathieson. Dia juga meminta Myanmar untuk mencabut undang-undang yang kontroversial, yang memungkinkan pemerintah untuk bisa terus menangkapi kritikus di masa depan dan berpotensi kembali menciptakan tahanan politik.
"Saya ingin mengatakan, bahwa presiden telah memenuhi janjinya, tidak akan ada tahanan politik sama sekali pada akhir 2013," kata Juru bicara Kepresidenan, Ye Htut dalam sebuah posting di halaman Facebook-nya.
Menurut Htut, dengan pemberian amnesti, bersama dengan lima pengampunan tambahan terpisah di bawah undang-undang lainnya, maka berarti tidak ada lagi tahanan politik di negara itu. Namun, masih tidak jelas apakah amnesti akan mempengaruhi sekitar 40 tahanan politik yang ada dalam daftar, dan lebih dari 200 orang yang masih menunggu persidangan.
Karenanya, klaim pemerintah Myanmar ini masih diragukan banyak pihak. David Mathieson, seorang peneliti dengan dari kelompok HAM Human Rights Watch, mengatakan, klaim ini bisa saja hanya gertakan atau pemaksaan untuk memenuhi tenggat waktu.
"Mereka bisa mengklaim pemenuhan teknis janji presiden,” kata Mathieson. Dia juga meminta Myanmar untuk mencabut undang-undang yang kontroversial, yang memungkinkan pemerintah untuk bisa terus menangkapi kritikus di masa depan dan berpotensi kembali menciptakan tahanan politik.
(esn)