Para Pemimpin Politik Bersatu Serukan Pasukan AS Diusir dari Irak
A
A
A
BAGHDAD - Para pemimpin politik menyerukan agar pasukan Amerika Serikat (AS) diusir dari Irak setelah serangan udara AS di Baghdad yang menewaskan Komandan Pasukan Quds Iran Qassem Soleimani.
Pembunuhan itu membuat tokoh-tokoh politik bersatu setelah terpecah selama beberapa bulan terakhir. Serangan udara AS itu juga menewaskan komandan milisi Irak Abu Mahdi al-Muhandis yang merupakan penasehat Soleimani.
"Kami menyerukan semua kekuatan nasional menyatukan sikapnya untuk mengusir pasukan asing yang kehadirannya menjadi tak berarti di Irak," ungkap Hadi al-Amiri, pemimpin milisi Organisasi Badr yang berpengaruh di Irak.
Meski beberapa dekade perselisihan antara Iran dan AS, milisi yang didukung Iran dan pasukan AS saling bekerja sama selama perang Irak 2014-2017 untuk melawan militan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Dengan bantuan AS, Irak berhasil menguasai kembali wilayah dari ISIS yang sempat mengontrol sepertiga Irak.
Sekitar 5.000 pasukan AS tetap berada di Irak, yang sebagian besar dalam kapasitas penasehat. Milisi telah bergabung dalam pasukan pemerintah Irak di bawah payung Pasukan Mobilisasi Populer yang dipimpin Muhandis.
Penarikan pasukan AS dapat berdampak serius pada kemampuan pasukan Irak memerangi sisa militan ISIS. Selain itu, Irak dapat kehilangan akses pada peralatan militer AS termasuk dukungan udara yang sangat penting.
Amiri memimpin blok politik yang mewakili kelompok milisi yang memiliki jumlah kursi terbesar kedua di parlemen.
Ulama Syiah Moqtada al-Sadr yang menyatakan sebagai nasionalis dan menolak intervensi AS dan Iran di Irak, memimpin blok terbesar di parlemen. Dia memerintahkan para pengikutnya siap melindungi Irak setelah sebelumnya menyatakan ingin mengakhiri kehadiran militer AS di Irak melalui cara politik dan legal.
Amiri dan Sadr dapat memiliki kursi yang cukup untuk mengesahkan legislasi, meski juga membutuhkan tambahan suara dari partai lain.
Pembunuhan itu membuat tokoh-tokoh politik bersatu setelah terpecah selama beberapa bulan terakhir. Serangan udara AS itu juga menewaskan komandan milisi Irak Abu Mahdi al-Muhandis yang merupakan penasehat Soleimani.
"Kami menyerukan semua kekuatan nasional menyatukan sikapnya untuk mengusir pasukan asing yang kehadirannya menjadi tak berarti di Irak," ungkap Hadi al-Amiri, pemimpin milisi Organisasi Badr yang berpengaruh di Irak.
Meski beberapa dekade perselisihan antara Iran dan AS, milisi yang didukung Iran dan pasukan AS saling bekerja sama selama perang Irak 2014-2017 untuk melawan militan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Dengan bantuan AS, Irak berhasil menguasai kembali wilayah dari ISIS yang sempat mengontrol sepertiga Irak.
Sekitar 5.000 pasukan AS tetap berada di Irak, yang sebagian besar dalam kapasitas penasehat. Milisi telah bergabung dalam pasukan pemerintah Irak di bawah payung Pasukan Mobilisasi Populer yang dipimpin Muhandis.
Penarikan pasukan AS dapat berdampak serius pada kemampuan pasukan Irak memerangi sisa militan ISIS. Selain itu, Irak dapat kehilangan akses pada peralatan militer AS termasuk dukungan udara yang sangat penting.
Amiri memimpin blok politik yang mewakili kelompok milisi yang memiliki jumlah kursi terbesar kedua di parlemen.
Ulama Syiah Moqtada al-Sadr yang menyatakan sebagai nasionalis dan menolak intervensi AS dan Iran di Irak, memimpin blok terbesar di parlemen. Dia memerintahkan para pengikutnya siap melindungi Irak setelah sebelumnya menyatakan ingin mengakhiri kehadiran militer AS di Irak melalui cara politik dan legal.
Amiri dan Sadr dapat memiliki kursi yang cukup untuk mengesahkan legislasi, meski juga membutuhkan tambahan suara dari partai lain.
(sfn)