NATO Semakin Tekan Turki soal Sistem Rudal S-400 Rusia
A
A
A
LONDON - Pakta Pertahanan Atlantik Utara atau NATO semakin meningkatkan tekanan terhadap anggotanya, Turki , setelah negara itu membeli dan menguji coba sistem pertahanan rudal S-400 Rusia . Aliansi yang dipimpin Amerika Serikat (AS) ini kembali menegaskan bahwa senjata pertahanan canggih Moskow itu tidak kompatibel dengan pertahanan NATO.
Ankara baru-baru ini menguji radar dari sistem pertahanan rudal S-400 dengan pesawat jet tempur F-16 buatan Amerika . Tindakan itu membuat Washington dan anggota NATO lainnya geram.
Dalam pertemuan di London untuk merayakan ulang tahun ke-70 NATO, para pemimpin negara anggota aliansi juga mengkritik invasi militer Turki terhadap pasukan Kurdi di Suriah utara.
Turki di masa lalu dipandang sebagai anggota penting NATO regional karena menawarkan pangkalan militernya untuk pesawat militer dan bom nuklir AS. Tetapi beberapa ahli mengatakan tindakan Ankara belakangan ini membuatnya semakin tidak sesuai dengan negara-negara NATO lainnya.
Berbicara setelah pertemuan di London hari Rabu, Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg, menjelaskan bahwa pembelian sistem pertahanan rudal dari Rusia sama sekali tidak kompatibel dengan aliansi.
"Itu keputusan nasional Turki. Banyak sekutu telah menyatakan keprihatinan, saya juga telah menyatakan keprihatinan saya tentang konsekuensi dari keputusan itu," kata Stoltenberg.
"Sistem pertahanan udara Rusia, S-400, tidak akan pernah diintegrasikan ke dalam NATO. Itu tidak akan pernah menjadi bagian dari sistem pertahanan udara dan rudal terpadu NATO," lanjut dia, seperti dikutip dari Arab News, Kamis (5/12/2019).
AS telah berulang kali menyatakan ketidaksenangannya pada pembelian senjata Moskow itu, terlebih setelah Turki mulai mengujinya terhadap jet tempur F-16 yang dipasok Amerika bulan lalu.
Trump Petimbangkan Sanksi
AS telah menghukum Turki dengan mengusirnya dari program konsorsium bersama jet tempur siluman F-35. Presiden AS Donald Trump mengaku sedang mempertimbangkan untuk menjatuhkan sanksi pada Turki atas pembelian sistem rudal tersebut.
"Akuisisi senjata-senjata ini tidak konsisten dengan kewajiban Turki pada NATO dan Presiden Trump jelas ketika dia bertemu dengan Erdogan bulan lalu dan mengatakan kepadanya bahwa ini tidak dapat diterima dan tidak konsisten dengan kewajiban Turki," kata Christiaan James, direktur Media Hub di Kedutaan Besar AS di London.
Operasi militer Turki, yang diluncurkan pada Oktober terhadap militan Kurdi di Suriah utara, juga jadi topik pembahasan NATO selama pertemuan di sebuah hotel di Watford, tepat di luar London. Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan ingin NATO mengakui Unit Perlindungan Rakyat Kurdi Suriah (YPG) sebagai teroris, dengan mengatakan bahwa ia akan memblokir pembaruan rencana pertahanan untuk negara-negara Baltik dan Polandia jika aliansi tidak mendukungnya.
Tetapi setelah pertemuan antara Erdogan, Trump dan lainnya, Turki mundur dan menggugurkan keberatannya.
Presiden Prancis Emmanuel Macron sangat vokal dalam kritiknya terhadap kebijakan Turki di Suriah.
Pada hari Rabu, perbedaan-perbedaan itu tidak terselesaikan oleh pertemuan NATO, di mana Macron mengatakan bahwa mereka harus "setuju untuk tidak setuju" atas pelabelan Turki terhadap milisi Kurdi di Suriah sebagai "kelompok teroris".
"Saya tidak melihat konsensus yang memungkinkan," kata Macron.
James mengatakan AS juga menyatakan keprihatinannya tentang serangan militer Turki ke Suriah utara.
"Kami bekerja sama dan berbicara dengan Turki tentang hal itu, tetapi ada perbedaan visi antara Turki dan Amerika Serikat, dan ini adalah hal yang wajar," ujarnya.
Kanselir Jerman Angela Merkel, melukiskan gambaran yang lebih positif dari pertemuan puncak NATO, meskipun beberapa pertemuan yang canggung antara Macron dan Trump dan kemarahan presiden AS soal percakapan antara beberapa pemimpin negara-negara NATO yang mengejeknya.
"Masalah perencanaan pertahanan untuk negara-negara Baltik dan Polandia juga diterima oleh Turki," katanya. “Itu adalah langkah penting. Sebelum pertemuan dimulai, masih ada perselisihan," ujarnya.
Dia mengaku telah mendiskusikan dengan Macron, Erdogan dan Perdana Menteri Inggris Boris Johnson soal proposal yang diajukan untuk Zona Keamanan PBB di Suriah utara yang dapat memungkinkan para pengungsi untuk kembali ke daerah itu dari Turki.
“Kami berbicara tentang perlunya PBB, khususnya Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR), untuk berperan dalam proses ini. Bagaimanapun, kami tidak dapat menerima bahwa pengungsi pergi ke daerah yang tidak sesuai dengan standar yang diterima PBB," katanya.
Merkel menambahkan bahwa Turki sedang dalam diskusi dengan UNHCR."(Saya) percaya tidak akan ada pemulangan saat ini ke daerah-daerah yang dikendalikan oleh pasukan Suriah," ujarnya.
Ankara baru-baru ini menguji radar dari sistem pertahanan rudal S-400 dengan pesawat jet tempur F-16 buatan Amerika . Tindakan itu membuat Washington dan anggota NATO lainnya geram.
Dalam pertemuan di London untuk merayakan ulang tahun ke-70 NATO, para pemimpin negara anggota aliansi juga mengkritik invasi militer Turki terhadap pasukan Kurdi di Suriah utara.
Turki di masa lalu dipandang sebagai anggota penting NATO regional karena menawarkan pangkalan militernya untuk pesawat militer dan bom nuklir AS. Tetapi beberapa ahli mengatakan tindakan Ankara belakangan ini membuatnya semakin tidak sesuai dengan negara-negara NATO lainnya.
Berbicara setelah pertemuan di London hari Rabu, Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg, menjelaskan bahwa pembelian sistem pertahanan rudal dari Rusia sama sekali tidak kompatibel dengan aliansi.
"Itu keputusan nasional Turki. Banyak sekutu telah menyatakan keprihatinan, saya juga telah menyatakan keprihatinan saya tentang konsekuensi dari keputusan itu," kata Stoltenberg.
"Sistem pertahanan udara Rusia, S-400, tidak akan pernah diintegrasikan ke dalam NATO. Itu tidak akan pernah menjadi bagian dari sistem pertahanan udara dan rudal terpadu NATO," lanjut dia, seperti dikutip dari Arab News, Kamis (5/12/2019).
AS telah berulang kali menyatakan ketidaksenangannya pada pembelian senjata Moskow itu, terlebih setelah Turki mulai mengujinya terhadap jet tempur F-16 yang dipasok Amerika bulan lalu.
Trump Petimbangkan Sanksi
AS telah menghukum Turki dengan mengusirnya dari program konsorsium bersama jet tempur siluman F-35. Presiden AS Donald Trump mengaku sedang mempertimbangkan untuk menjatuhkan sanksi pada Turki atas pembelian sistem rudal tersebut.
"Akuisisi senjata-senjata ini tidak konsisten dengan kewajiban Turki pada NATO dan Presiden Trump jelas ketika dia bertemu dengan Erdogan bulan lalu dan mengatakan kepadanya bahwa ini tidak dapat diterima dan tidak konsisten dengan kewajiban Turki," kata Christiaan James, direktur Media Hub di Kedutaan Besar AS di London.
Operasi militer Turki, yang diluncurkan pada Oktober terhadap militan Kurdi di Suriah utara, juga jadi topik pembahasan NATO selama pertemuan di sebuah hotel di Watford, tepat di luar London. Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan ingin NATO mengakui Unit Perlindungan Rakyat Kurdi Suriah (YPG) sebagai teroris, dengan mengatakan bahwa ia akan memblokir pembaruan rencana pertahanan untuk negara-negara Baltik dan Polandia jika aliansi tidak mendukungnya.
Tetapi setelah pertemuan antara Erdogan, Trump dan lainnya, Turki mundur dan menggugurkan keberatannya.
Presiden Prancis Emmanuel Macron sangat vokal dalam kritiknya terhadap kebijakan Turki di Suriah.
Pada hari Rabu, perbedaan-perbedaan itu tidak terselesaikan oleh pertemuan NATO, di mana Macron mengatakan bahwa mereka harus "setuju untuk tidak setuju" atas pelabelan Turki terhadap milisi Kurdi di Suriah sebagai "kelompok teroris".
"Saya tidak melihat konsensus yang memungkinkan," kata Macron.
James mengatakan AS juga menyatakan keprihatinannya tentang serangan militer Turki ke Suriah utara.
"Kami bekerja sama dan berbicara dengan Turki tentang hal itu, tetapi ada perbedaan visi antara Turki dan Amerika Serikat, dan ini adalah hal yang wajar," ujarnya.
Kanselir Jerman Angela Merkel, melukiskan gambaran yang lebih positif dari pertemuan puncak NATO, meskipun beberapa pertemuan yang canggung antara Macron dan Trump dan kemarahan presiden AS soal percakapan antara beberapa pemimpin negara-negara NATO yang mengejeknya.
"Masalah perencanaan pertahanan untuk negara-negara Baltik dan Polandia juga diterima oleh Turki," katanya. “Itu adalah langkah penting. Sebelum pertemuan dimulai, masih ada perselisihan," ujarnya.
Dia mengaku telah mendiskusikan dengan Macron, Erdogan dan Perdana Menteri Inggris Boris Johnson soal proposal yang diajukan untuk Zona Keamanan PBB di Suriah utara yang dapat memungkinkan para pengungsi untuk kembali ke daerah itu dari Turki.
“Kami berbicara tentang perlunya PBB, khususnya Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR), untuk berperan dalam proses ini. Bagaimanapun, kami tidak dapat menerima bahwa pengungsi pergi ke daerah yang tidak sesuai dengan standar yang diterima PBB," katanya.
Merkel menambahkan bahwa Turki sedang dalam diskusi dengan UNHCR."(Saya) percaya tidak akan ada pemulangan saat ini ke daerah-daerah yang dikendalikan oleh pasukan Suriah," ujarnya.
(mas)