Korban Perang Afghanistan Minta ICC Investigasi Kejahatan Pasukan AS

Rabu, 04 Desember 2019 - 23:19 WIB
Korban Perang Afghanistan...
Korban Perang Afghanistan Minta ICC Investigasi Kejahatan Pasukan AS
A A A
THE HAGUE - Pengacara yang mewakili para korban konflik Afghanistan mendesak Pengadilan Pidana Internasional (ICC) untuk membuka penyelidikan kejahatan perang yang akan mencakup penyelidikan tindakan pasukan Amerika Serikat (AS).

Hakim-hakim ICC pada bulan April lalu menolak permintaan jaksa penuntut Fatou Bensouda untuk memeriksa kekejaman yang diduga dilakukan dalam konflik Afghanistan antara 2003 dan 2004. Aksi kekejaman itu termasuk yang dilakukan oleh pasukan AS, pasukan Afghanistan dan Taliban.

Hakim berpendapat penyelidikan itu tidak mungkin berhasil. (Baca: ICC Tolak Penyelidikan Kejahatan Perang Afghanistan )

Pihak jaksa kemudian mengajukan banding atas keputusan itu dan sedang memperdebatkan kasus ini dalam tiga hari persidangan di hadapan majelis hakim banding di Den Haag.

Pengacara Fergal Gaynor menyebut sidang sebagai hari bersejarah untuk akuntabilitas di Afghanistan. Sedikitnya 82 korban yang diwakilinya bersatu dalam menginginkan penyelidikan.

Perwakilan resmi korban lainnya, Katherine Gallagher, yang bertindak untuk dua tahanan Teluk Guantanamo, menekankan bahwa sejauh ini tidak ada pejabat tingkat tinggi AS yang dimintai pertanggungjawaban atas dugaan pelanggaran aturan perang di Afghanistan atau di situs "hitam" CIA.

"Pembukaan penyelidikan dalam program penyiksaan AS akan membuat jelas bahwa tidak ada yang di atas hukum," katanya kepada hakim seperti dikutip dari Reuters, Rabu (4/12/2019).

Jaksa penuntut telah mengutip bukti awal yang menunjukkan bahwa pasukan internasional di Afghanistan, termasuk karyawan Badan Intelijen Pusat AS, tahanan yang mengalami pelecehan mental dan fisik, yang bisa merupakan kejahatan perang.

Terkait hal ini, salah satu pengacara pribadi Presiden AS Donald Trump akan berpidato di pengadilan. Jay Sekulow, yang diizinkan untuk mengajukan pemaparan singkat "teman pengadilan" sebagai ahli independen, mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa ia bermaksud untuk membela kepentingan anggota militer AS yang mengorbankan segalanya untuk membela negaranya.

Pasukan AS dan pasukan asing lainnya melakukan intervensi di Afghanistan pada tahun 2001 setelah serangan 11 September di Amerika Serikat dan menggulingkan pemerintah Taliban, yang telah melindungi pemimpin al-Qaeda Osama bin Laden. Dalam apa yang telah menjadi perang terpanjang Amerika Serikat, sekitar 13.000 tentara AS masih tetap berada di Afghanistan.

Menurut PBB lebih dari 32.000 warga sipil telah tewas dalam konflik itu.

Trump mengecam ICC, satu-satunya pengadilan kejahatan perang permanen di dunia, karena kekuatan penuntutannya begitu luas yang tidak akuntabel. Washington kemudian mencabut vias perjalanan AS untuk personel ICC sebagai tanggapan atas pekerjaannya di Afghanistan. (Baca: Trump Peringatkan ICC Tak Adili Warga AS dan Israel )

ICC, yang dibuka pada tahun 2002, memiliki yurisdiksi atas kejahatan perang, genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan jika mereka dilakukan oleh warga negara dari negara yang menandatangani atau jika mereka terjadi di wilayah salah satu anggotanya. Afghanistan adalah anggota, sedangkan Amerika Serikat tidak.

ICC juga hanya diberdayakan untuk bertindak ketika suatu negara diketahui tidak mampu atau tidak mau memeriksa kesalahan oleh militer dan para pemimpinnya sendiri. ICC telah berusaha keras karena mendapatkan perlawanan dari Amerika Serikat, Rusia dan China.
(ian)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1242 seconds (0.1#10.140)