Menelanjangi 10 Kegagalan Perserikatan Bangsa-Bangsa
A
A
A
DIBENTUK di penghujung Perang Dunia II, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memikul tugas mulia menjaga keamanan dan perdamaian dunia. Disokong 192 negara anggota, hingga saat ini PBB diklaim berhasil mengakhiri berbagai konflik dan perang. Namun terlepas dari hal tersebut, badan dunia ini dinilai setidaknya memiliki 10 kegagalan besar dalam menjalankan perannya sejak didirikan sekarang.
1. Terorisme
Banyak ahli setuju, terorisme "modern" dimulai dengan pembajakan pesawat Israel El Al Penerbangan 426 tahun 1968 oleh organisasi teroris Palestina. PBB mengecam tindakan itu, tetapi gagal mengambil tindakan lebih lanjut.
Aksi terorisme berlanjut sepanjang abad 20 namun ironisnya tanpa reaksi berarti dari PBB. Hingga akhirnya serangan teroris 9/11 membuat PBB bersikap keras terhadap terorisme dan menghukum mereka yang terlibat di dalamnya.
Sayangnya, ini hanya berlaku untuk Al Qaeda dan Taliban. Program-program teroris yang didanai negara — seperti Hamas, Hizbullah, dan Mossad — tidak terpengaruh.
Negara-negara yang mendukung kelompok-kelompok yang secara luas terkait terorisme, seperti Iran, tidak dimintai pertanggungjawaban. Bahkan hingga saat ini, PBB belum memiliki definisi jelas tentang terorisme.
2. Proliferasi Nuklir
Sejak 1945, Amerika Serikat (AS) adalah satu-satunya negara di dunia yang memiliki dan menguji senjata nuklir. Pada 1970, perjanjian non-proliferasi nuklir ditandatangani 190 negara, termasuk lima negara yang mengaku memiliki senjata nuklir: Prancis, Inggris, Rusia, China, dan AS.
Terlepas dari perjanjian ini, stok nuklir di dunia tetap tinggi dan banyak negara terus mengembangkan senjata penghancur massal ini, termasuk Korea Utara, Israel, Pakistan, dan India. Kegagalan perjanjian non-proliferasi dianggap kegagalan PBB dalam menegakkan aturan.
3. Konflik Sri Lanka
Sri Lanka mengalami perang saudara berdarah dari 1983 hingga 2009. Konflik itu melibatkan gerilyawan Macan Tamil dengan pasukan pemerintah. Pertempuran memaksa 196.000 orang melarikan diri dan lebih dari 50.000 warga sipil terjebak dalam konflik.
Para ahli independen mendesak Dewan Hak Asasi Manusia PBB menyelidiki klaim kejahatan perang. Mantan Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-Moon mengakui "terkejut" dengan situasi tersebut, tetapi PBB tidak bisa berbuat apapun karena menilai konflik itu sebagai persoalan dalam negeri Sri Lanka. Dari Januari hingga April 2009, lebih dari 6.500 warga sipil tewas akibat konflik di negeri tetangga India tersebut.
4. Skandal Pelecehan Seks Anak
Banyak negara meminta bantuan PBB saat meletusnya perang. Bagi mereka yang tertindas, pasukan penjaga perdamaian PBB mewakili stabilitas dan keamanan. Sayangnya, ini tidak terjadi di banyak negara pada 1990-an.
Laporan dari Bosnia, Kosovo, Kamboja, Haiti, dan Mozambik mengungkapkan tren mengejutkan; daerah-daerah dengan pasukan penjaga perdamaian justru mengalami peningkatan pesat dalam hal pelacuran anak. Para pejabat senior di PBB menolak mengutuk pasukan penjaga perdamaian karena khawatir hal ini akan membuat banyak negara enggan bergabung sebagai pasukan penjaga perdamaian.
5. Kekuatan Hak Veto
Dewan Keamanan (DK) PBB beranggotakan 15 negara, lima di antaranya adalah anggota tetap yakni Prancis, Rusia, China, AS dan Inggris. Sepuluh negara lain sebagai anggota tidak tetap dipilih untuk masa jabatan dua tahun. Lima anggota tetap DK memiliki keistimewaan hak veto.
Dengan hak ini anggota tetap DK PBB bisa membatalkan (memveto) keputusan ketika PBB bersidang. Bahkan jika 14 negara lain anggota tidak tetap DK PBB memilih ya, satu veto akan mengalahkan semua keputusan.
Penggunaan hak veto terbaru adalah ketika China dan Rusia mementahkan sanksi yang akan dijatuhkan PBB kepada pemerintah Suriah dalam konflik Suriah 19 Juli 2012. Padahal selama Perang Sipil Suriah, diperkirakan 60.000 warga sipil terbunuh, ribuan lain mengungsi.
6. Pembantaian Srebrenica
Pembantaian di Perang Bosnia 1995 adalah tindakan pembunuhan massal terburuk di Eropa sejak Perang Dunia II. Setelah kampanye pembersihan etnis yang dipimpin Serbia menargetkan orang-orang Bosnia (sebagian besar muslim) PBB menjadikan Kota Srebrenica sebagai zona aman pada 1993.
Namun pada Juli 1993, pasukan Serbia menyerbu daerah itu dan mengusir pasukan PBB. Sebanyak 20.000 pengungsi Bosnia melarikan diri mencari perlindungan. Meskipun pasukan PBB hadir, tentara Serbia tetap bisa memasuki kamp pengungsi, memperkosa wanita Bosnia dan melakukan pembunuhan sementara pasukan penjaga perdamaian tidak berkutik. Pada 18 Juli, sebanyak 7.800 pengungsi Bosnia tewas.
7. Khmer Merah
Menguasai Kamboja dari 1975 hingga 1979, rezim Khmer Merah mempraktikkan bentuk ekstrim Komunisme di bawah kepemimpinan diktator Pol Pot. Setiap musuh yang dicurigai dieksekusi, termasuk para profesional dan intelektual. Pada 1979, tentara Vietnam menyerbu Kamboja untuk menggulingkan rezim Khmer Merah.
Pol Pot dipaksa pergi di pengasingan, dan pemerintahan baru diberlakukan di Kamboja. Secara mengejutkan, PBB menolak mengakui pemerintahan baru ini karena didukung oleh Vietnam. Hingga 1994, PBB tetap mengakui Khmer Merah sebagai pemerintah Kamboja yang sebenarnya, terlepas dari kenyataan bahwa mereka telah membunuh 2,5 juta warga Kamboja.
8. Perang Dingin
Perang Dingin menjadi cerminan mandulnya implementasi Piagam PBB. Pada 1948, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (UDHR) dideklarasikan berbarengan dengan Konvensi Menentang Genosida dan mengikat semua negara. Namun sayang, Uni Soviet mengabaikannya dan memberangus hak-hak sipil warga.
Rezim Stalin terus memerintah dengan tangan besi ketika berkuasa di era perang dingin. Di banyak negara Blok Soviet, pemberontakan yang menuntut hak-hak penentuan nasib sendiri ditumpas. Ketidakberdayaan PBB yang tidak mau bertindak atas kekejaman rezim Stalin itu menjadikan isi piagam PBB sulit dilaksanakan.
9. Konflik Darfur, Sudan Selatan
Pada 2003 meletus perang sipil di Sudan. Di awal perang, pasukan pemberontak mengalahkan militer Sudan dalam lebih dari tiga puluh pertempuran. Dipicu karena kekalahan itu, pemerintah yang berkuasa mendanai Janjaweed, sekelompok militan Arab.
Pada 2005, Janjaweed melakukan serangan terhadap desa-desa berpenduduk menggunakan artileri dan helikopter, yang memicu kecaman Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan. Terlepas dari kecaman ini, PBB tidak memasuki Sudan, sebaliknya justru mendesak anggota Uni Afrika untuk campur tangan.
Baru pada 2006, sebanyak 200 tentara PBB dikirim ke daerah itu. Meskipun kehadiran mereka terbatas, pertempuran berlanjut hingga 2010. Dalam tujuh tahun, sekitar 300.000 warga sipil Sudan tewas.
10. Kasus Genosida Rwanda
Kasus genosida Rwanda pada 1994 diklaim merupakan salah satu kegagalan PBB melaksanakan tugasnya menjaga perdamaian. Meletusnya perang saudara pada awal 1990-an membuat ketegangan antara dua kelompok etnis mayoritas yakni Hutu dan Tutsi.
Pada 1993, pasukan penjaga perdamaian PBB memasuki negara itu. Sayangnya pasukan PBB tidak berwenang menggunakan manuver militer. Hampir satu juta orang Rwanda terbunuh dalam genosida, jumlah itu merupakan 20% dari populasi Rwanda.
Sumber: www.listverse.com
1. Terorisme
Banyak ahli setuju, terorisme "modern" dimulai dengan pembajakan pesawat Israel El Al Penerbangan 426 tahun 1968 oleh organisasi teroris Palestina. PBB mengecam tindakan itu, tetapi gagal mengambil tindakan lebih lanjut.
Aksi terorisme berlanjut sepanjang abad 20 namun ironisnya tanpa reaksi berarti dari PBB. Hingga akhirnya serangan teroris 9/11 membuat PBB bersikap keras terhadap terorisme dan menghukum mereka yang terlibat di dalamnya.
Sayangnya, ini hanya berlaku untuk Al Qaeda dan Taliban. Program-program teroris yang didanai negara — seperti Hamas, Hizbullah, dan Mossad — tidak terpengaruh.
Negara-negara yang mendukung kelompok-kelompok yang secara luas terkait terorisme, seperti Iran, tidak dimintai pertanggungjawaban. Bahkan hingga saat ini, PBB belum memiliki definisi jelas tentang terorisme.
2. Proliferasi Nuklir
Sejak 1945, Amerika Serikat (AS) adalah satu-satunya negara di dunia yang memiliki dan menguji senjata nuklir. Pada 1970, perjanjian non-proliferasi nuklir ditandatangani 190 negara, termasuk lima negara yang mengaku memiliki senjata nuklir: Prancis, Inggris, Rusia, China, dan AS.
Terlepas dari perjanjian ini, stok nuklir di dunia tetap tinggi dan banyak negara terus mengembangkan senjata penghancur massal ini, termasuk Korea Utara, Israel, Pakistan, dan India. Kegagalan perjanjian non-proliferasi dianggap kegagalan PBB dalam menegakkan aturan.
3. Konflik Sri Lanka
Sri Lanka mengalami perang saudara berdarah dari 1983 hingga 2009. Konflik itu melibatkan gerilyawan Macan Tamil dengan pasukan pemerintah. Pertempuran memaksa 196.000 orang melarikan diri dan lebih dari 50.000 warga sipil terjebak dalam konflik.
Para ahli independen mendesak Dewan Hak Asasi Manusia PBB menyelidiki klaim kejahatan perang. Mantan Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-Moon mengakui "terkejut" dengan situasi tersebut, tetapi PBB tidak bisa berbuat apapun karena menilai konflik itu sebagai persoalan dalam negeri Sri Lanka. Dari Januari hingga April 2009, lebih dari 6.500 warga sipil tewas akibat konflik di negeri tetangga India tersebut.
4. Skandal Pelecehan Seks Anak
Banyak negara meminta bantuan PBB saat meletusnya perang. Bagi mereka yang tertindas, pasukan penjaga perdamaian PBB mewakili stabilitas dan keamanan. Sayangnya, ini tidak terjadi di banyak negara pada 1990-an.
Laporan dari Bosnia, Kosovo, Kamboja, Haiti, dan Mozambik mengungkapkan tren mengejutkan; daerah-daerah dengan pasukan penjaga perdamaian justru mengalami peningkatan pesat dalam hal pelacuran anak. Para pejabat senior di PBB menolak mengutuk pasukan penjaga perdamaian karena khawatir hal ini akan membuat banyak negara enggan bergabung sebagai pasukan penjaga perdamaian.
5. Kekuatan Hak Veto
Dewan Keamanan (DK) PBB beranggotakan 15 negara, lima di antaranya adalah anggota tetap yakni Prancis, Rusia, China, AS dan Inggris. Sepuluh negara lain sebagai anggota tidak tetap dipilih untuk masa jabatan dua tahun. Lima anggota tetap DK memiliki keistimewaan hak veto.
Dengan hak ini anggota tetap DK PBB bisa membatalkan (memveto) keputusan ketika PBB bersidang. Bahkan jika 14 negara lain anggota tidak tetap DK PBB memilih ya, satu veto akan mengalahkan semua keputusan.
Penggunaan hak veto terbaru adalah ketika China dan Rusia mementahkan sanksi yang akan dijatuhkan PBB kepada pemerintah Suriah dalam konflik Suriah 19 Juli 2012. Padahal selama Perang Sipil Suriah, diperkirakan 60.000 warga sipil terbunuh, ribuan lain mengungsi.
6. Pembantaian Srebrenica
Pembantaian di Perang Bosnia 1995 adalah tindakan pembunuhan massal terburuk di Eropa sejak Perang Dunia II. Setelah kampanye pembersihan etnis yang dipimpin Serbia menargetkan orang-orang Bosnia (sebagian besar muslim) PBB menjadikan Kota Srebrenica sebagai zona aman pada 1993.
Namun pada Juli 1993, pasukan Serbia menyerbu daerah itu dan mengusir pasukan PBB. Sebanyak 20.000 pengungsi Bosnia melarikan diri mencari perlindungan. Meskipun pasukan PBB hadir, tentara Serbia tetap bisa memasuki kamp pengungsi, memperkosa wanita Bosnia dan melakukan pembunuhan sementara pasukan penjaga perdamaian tidak berkutik. Pada 18 Juli, sebanyak 7.800 pengungsi Bosnia tewas.
7. Khmer Merah
Menguasai Kamboja dari 1975 hingga 1979, rezim Khmer Merah mempraktikkan bentuk ekstrim Komunisme di bawah kepemimpinan diktator Pol Pot. Setiap musuh yang dicurigai dieksekusi, termasuk para profesional dan intelektual. Pada 1979, tentara Vietnam menyerbu Kamboja untuk menggulingkan rezim Khmer Merah.
Pol Pot dipaksa pergi di pengasingan, dan pemerintahan baru diberlakukan di Kamboja. Secara mengejutkan, PBB menolak mengakui pemerintahan baru ini karena didukung oleh Vietnam. Hingga 1994, PBB tetap mengakui Khmer Merah sebagai pemerintah Kamboja yang sebenarnya, terlepas dari kenyataan bahwa mereka telah membunuh 2,5 juta warga Kamboja.
8. Perang Dingin
Perang Dingin menjadi cerminan mandulnya implementasi Piagam PBB. Pada 1948, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (UDHR) dideklarasikan berbarengan dengan Konvensi Menentang Genosida dan mengikat semua negara. Namun sayang, Uni Soviet mengabaikannya dan memberangus hak-hak sipil warga.
Rezim Stalin terus memerintah dengan tangan besi ketika berkuasa di era perang dingin. Di banyak negara Blok Soviet, pemberontakan yang menuntut hak-hak penentuan nasib sendiri ditumpas. Ketidakberdayaan PBB yang tidak mau bertindak atas kekejaman rezim Stalin itu menjadikan isi piagam PBB sulit dilaksanakan.
9. Konflik Darfur, Sudan Selatan
Pada 2003 meletus perang sipil di Sudan. Di awal perang, pasukan pemberontak mengalahkan militer Sudan dalam lebih dari tiga puluh pertempuran. Dipicu karena kekalahan itu, pemerintah yang berkuasa mendanai Janjaweed, sekelompok militan Arab.
Pada 2005, Janjaweed melakukan serangan terhadap desa-desa berpenduduk menggunakan artileri dan helikopter, yang memicu kecaman Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan. Terlepas dari kecaman ini, PBB tidak memasuki Sudan, sebaliknya justru mendesak anggota Uni Afrika untuk campur tangan.
Baru pada 2006, sebanyak 200 tentara PBB dikirim ke daerah itu. Meskipun kehadiran mereka terbatas, pertempuran berlanjut hingga 2010. Dalam tujuh tahun, sekitar 300.000 warga sipil Sudan tewas.
10. Kasus Genosida Rwanda
Kasus genosida Rwanda pada 1994 diklaim merupakan salah satu kegagalan PBB melaksanakan tugasnya menjaga perdamaian. Meletusnya perang saudara pada awal 1990-an membuat ketegangan antara dua kelompok etnis mayoritas yakni Hutu dan Tutsi.
Pada 1993, pasukan penjaga perdamaian PBB memasuki negara itu. Sayangnya pasukan PBB tidak berwenang menggunakan manuver militer. Hampir satu juta orang Rwanda terbunuh dalam genosida, jumlah itu merupakan 20% dari populasi Rwanda.
Sumber: www.listverse.com
(poe)