Kekurangan Dana, PBB Tak Berkutik Atasi Beragam Krisis Dunia

Kamis, 17 Oktober 2019 - 13:57 WIB
Kekurangan Dana, PBB...
Kekurangan Dana, PBB Tak Berkutik Atasi Beragam Krisis Dunia
A A A
NEW YORK - Saat krisis di Suriah mencapai arah baru yang berbahaya, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menggelar sidang darurat pekan lalu untuk membahas langkah militer Turki. Sidang itu digelar di kantor pusat PBB yang segera kehabisan dana segar.

Pada 8 Oktober, Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBB Antonio Guterres telah berteriak tentang kondisi keuangan PBB yang di ujung tanduk. Dia menyebut krisis likuiditas parah itu memaksa PBB berhenti merekrut pegawai, menghentikan rencana perjalanan dan membatalkan beberapa rencana rapat. PBB pun harus melakukan penghematan besar-besaran dalam berbagai agendanya.

PBB memang pernah mengalami krisis dana di masa lalu. Faktanya, krisis keuangan paling serius yang dialami PBB terjadi pada era 1960-an, saat Uni Soviet dan Prancis menahan pembayaran iuran untuk memprotes penyalahgunaan operasi penjaga perdamaian di Kongo. Namun krisis keuangan sekarang lebih banyak terkait hubungan bermasalah antara PBB dan Amerika Serikat (AS).

Siapa yang membayar dan tak membayar? Seperti organisasi multilateral lainnya, PBB mendanai operasinya melalui sistem iuran tahunan. PBB menggunakan berbagai faktor, termasuk ukuran ekonomi satu negara dan kekayaan untuk mengakses kapasitas untuk membayar. Negara-negara sangat miskin mendapat kelonggaran, tapi setiap negara tetap harus membayar, minimal iuran untuk negara termiskin sebesar USD30.000.

Untuk ekonomi terbesar di dunia seperti AS, iuran tahunan jelas besar. Pada 2019, AS berutang lebih dari USD600 juta atau 22% dari total anggaran rutin PBB. Selain itu ada tagihan terpisah untuk operasi penjara perdamaian di mana AS juga membayar bagian terbesarnya.

PBB mengharuskan negara anggota membayar iuran tahunan dalam waktu 30 hari sejak awal tahun. Beberapa negara membayar segera, diawali oleh Republik Dominika, Estonia, dan Malawi yang membayar iuran pada 1 Januari. Mereka diikuti kontributor terbesar lainnya yakni Kanada dan Australia.

Namun hanya 34 negara dari total 193 negara anggota PBB yang membayar dalam waktu 30 hari di awal tahun. Hampir 100 negara lainnya, termasuk China, Jerman dan Jepang, membayar penuh tapi terlambat. Lebih dari 60 negara masih berutang iuran tahunan, termasuk kontributor terbesar seperti Brasil. Namun yang paling lamban dan paling besar iurannya, AS belum membayar.

Ini karena siklus fiskal pemerintah AS dan Washington memang biaya membayar telat iuran PBB. Namun pada tahun ini, keterlambatan pembayaran memberi dampak terparah bagi PBB. Di tengah tahun, PBB biasanya menghabiskan sebagian besar dananya dan mengirim ke beberapa rekening cadangan untuk menutupi berbagai tagihan.

Konflik antara AS dan PBB terkait dana iuran itu bukan sesuatu yang baru. Anggota parlemen AS biasa berada di depan dalam drama keuangan itu. Sejak 1980-an, parlemen AS berupaya mengurangi porsi iuran AS pada anggaran PBB.

Presiden AS Donald Trump saat bertemu Sekretaris Jenderal PBB menyatakan, "Tak ada negara anggota yang harus menanggung beban tak proporsional." Trump juga menegaskan pekan lalu bahwa memulihkan kesehatan keuangan PBB adalah tanggung jawab seluruh dunia.

"Kerumitan ini akibat praktek lama AS dalam membayar iuran PBB pada akhir tahun kalender yang diperburuk dengan berbagai isu legislatif dan birokratik," papar Brett Schaefer, pakar Heritage Foundation dan anggota Komite Kontribusi PBB, dilansir Washington Post.
(sfn)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8757 seconds (0.1#10.140)