Peternakan Apung Pertama di Dunia Ada di Pelabuhan Rotterdam
A
A
A
ROTTERDAM - Pebisnis wanita asal Belanda Minke van Wingerden melihat dengan bangga saat salah satu dari 32 ekor sapinya berhenti di stasiun pemerah susu otomatis di peternakannya. Hal yang luar biasa, peternakan itu terapung di atas laut di Pelabuhan Rotterdam. Van Wingerden menjadi salah satu pengembang “Peternakan Apung” yang sedang menguji coba teknologi itu dalam skala kecil.
Cara ini pun menjadi bentuk peternakan sapi perah yang berkelanjutan di jantung salah satu kota paling padat penduduknya di dunia. Lokasi peternakan itu pun berada di kawasan industri sangat jauh dari ladang rumput seperti peternakan sapi pada umumnya.
“Ide ini muncul sejak 2012, mitra saya Peter terlibat dalam proyek di New York dan kemudian Badai Sandy menerjang New York sangat keras mengakibatkan banjir dan setela dua hari di sana tak ada makanan segar di rak lagi karena pusat logistik juga banjir,” ungkap Van Wingerden pada Reuters. Dia menjelaskan, “Jadi kemudian kami menyadari ‘mengapa tidak memproduksi makanan sehat segar di air dekat kota?’ dan dari sanalah ide itu muncul.”
Beberapa sapi tampak tak terganggu dengan tempat peternakan futuristik di pelabuhan terbesar dan tersibuk di Eropa itu. Sapi-sapi tersebut dapat beristirahat di lantai atas bangunan apung itu atau bergerak ke tempat makan untuk mendapatkan campuran rumput, jerami dan sisa produksi bir.
Fasilitas pemrosesan susu dan kotoran sapi berada di dek paling bawah yang menjadi pintu masuk pengunjung dan toko. Padang rumput di dermaga juga disediakan agar sapi-sapi itu dapat berpindah ke lahan kering. Bagian atap bangunan itu dapat mengumpulkan air hujan. Tenaga listrik untuk peternakan itu berasal dari panel surya yang terapung di dekatnya.
“Jumlah lahan berkurang dan populasi dunia bertambah, jadi bagaimana kita dapat memproduksi makanan sehat yang cukup di masa depan? 70% dunia adalah air, jadi mengapa tidak menggunakan wilayah perairan untuk memproduksi makanan sehat segar yang dekat dengan lokasi konsumen,” ungkap Van Wingerden.
Dekat dengan kota Shiedam, peternakan itu berada di salah satu saluran “Merwehaven” yang menangani kapal-kapal kontainer dari penjuru dunia. Peternakan itu pun dilengkapi teknologi terbaru seperti sistem pemberi makanan otomatis, robot pengambil kotoran sapi, stasiun pembersih sapi mandiri, dan aplikasi smartphone yang membuat peternak Albert Boersen memantau sapi-sapinya.
“Kami mencoba siklus berkelanjutan semaksimal mungkin di peternakan ini. Riset terus kami lakukan untuk dapat memaksimalkannya,” kata Van Wingerden. Agar peternakan itu bisa mandiri, fasilitas tersebut dilengkapi pemisah kotoran sapi untuk memisahkan bagian yang kering dengan bagian basah. Bagian kering kotoran sapi bisa digunakan sebagai alas tidur untuk sapi dan bagian kering diubah menjadi pupuk organik.
Peternakan itu juga langsung menjual beberapa botol susu mentah segar untuk para pengunjung lokasi itu. Adapun sisanya dikirim ke pabrik untuk parteurisasi dan dibuat menjadi yoghurt atau produk lain. Susu sapi itu juga dijual untuk para konsumen yang tinggal dekat lokasi itu melalui layanan online Picnic yang memiliki armada pengiriman dengan kendaraan bertenaga listrik.
Cara ini pun menjadi bentuk peternakan sapi perah yang berkelanjutan di jantung salah satu kota paling padat penduduknya di dunia. Lokasi peternakan itu pun berada di kawasan industri sangat jauh dari ladang rumput seperti peternakan sapi pada umumnya.
“Ide ini muncul sejak 2012, mitra saya Peter terlibat dalam proyek di New York dan kemudian Badai Sandy menerjang New York sangat keras mengakibatkan banjir dan setela dua hari di sana tak ada makanan segar di rak lagi karena pusat logistik juga banjir,” ungkap Van Wingerden pada Reuters. Dia menjelaskan, “Jadi kemudian kami menyadari ‘mengapa tidak memproduksi makanan sehat segar di air dekat kota?’ dan dari sanalah ide itu muncul.”
Beberapa sapi tampak tak terganggu dengan tempat peternakan futuristik di pelabuhan terbesar dan tersibuk di Eropa itu. Sapi-sapi tersebut dapat beristirahat di lantai atas bangunan apung itu atau bergerak ke tempat makan untuk mendapatkan campuran rumput, jerami dan sisa produksi bir.
Fasilitas pemrosesan susu dan kotoran sapi berada di dek paling bawah yang menjadi pintu masuk pengunjung dan toko. Padang rumput di dermaga juga disediakan agar sapi-sapi itu dapat berpindah ke lahan kering. Bagian atap bangunan itu dapat mengumpulkan air hujan. Tenaga listrik untuk peternakan itu berasal dari panel surya yang terapung di dekatnya.
“Jumlah lahan berkurang dan populasi dunia bertambah, jadi bagaimana kita dapat memproduksi makanan sehat yang cukup di masa depan? 70% dunia adalah air, jadi mengapa tidak menggunakan wilayah perairan untuk memproduksi makanan sehat segar yang dekat dengan lokasi konsumen,” ungkap Van Wingerden.
Dekat dengan kota Shiedam, peternakan itu berada di salah satu saluran “Merwehaven” yang menangani kapal-kapal kontainer dari penjuru dunia. Peternakan itu pun dilengkapi teknologi terbaru seperti sistem pemberi makanan otomatis, robot pengambil kotoran sapi, stasiun pembersih sapi mandiri, dan aplikasi smartphone yang membuat peternak Albert Boersen memantau sapi-sapinya.
“Kami mencoba siklus berkelanjutan semaksimal mungkin di peternakan ini. Riset terus kami lakukan untuk dapat memaksimalkannya,” kata Van Wingerden. Agar peternakan itu bisa mandiri, fasilitas tersebut dilengkapi pemisah kotoran sapi untuk memisahkan bagian yang kering dengan bagian basah. Bagian kering kotoran sapi bisa digunakan sebagai alas tidur untuk sapi dan bagian kering diubah menjadi pupuk organik.
Peternakan itu juga langsung menjual beberapa botol susu mentah segar untuk para pengunjung lokasi itu. Adapun sisanya dikirim ke pabrik untuk parteurisasi dan dibuat menjadi yoghurt atau produk lain. Susu sapi itu juga dijual untuk para konsumen yang tinggal dekat lokasi itu melalui layanan online Picnic yang memiliki armada pengiriman dengan kendaraan bertenaga listrik.
(don)