Fakta, Hampir Semua Negara Perketat Proses Naturalisasi

Senin, 16 September 2019 - 08:55 WIB
Fakta, Hampir Semua...
Fakta, Hampir Semua Negara Perketat Proses Naturalisasi
A A A
LONDON - Menjadi warga negara di beberapa negara memiliki persyaratan yang mudah, tetapi di banyak negara justru seperti sangat mustahil untuk menempuh proses naturalisasi. Banyak tantangan dan halangan untuk menjadi warga negara di suatu negara.

Misalnya, untuk menjadi warga negara Amerika Serikat (AS) sejak Presiden Donald Trump berkuasa pada 2016, aturan imigrasi dan naturalisasi dipersulit. Bukan hanya AS, China juga dikenal sangat mempersulit untuk masuknya warga negara baru. Umumnya, negara tertentu akan membuka proses naturalisasi jika orang tersebut memiliki prestasi seperti olahraga atau keilmuan yang tidak dimiliki sembarangan orang.

Naturalisasi dengan jalur khusus itu dilakukan hanya orang tertentu saja dan jumlahnya bisa dihitung dengan baru. Jika orang biasa, maka proses naturalisasi untuk mendapatkan kewarganegaraan harus melalui proses panjang dan rumit. Negara yang dikenal mempersulit proses naturalisasi adalah Vatican City.

Bukan karena faktor politik, ekonomi atau pun budaya. Namun, karena luas wilayah negara khusus itu memang sangat sempit. Bisa dikatakan negara di dalam negara. Dengan 800 penduduk dan 450 warga negara, Vatican City merupakan negara paling kecil di bumi. Bisa disimpulkan juga, Vatican City menerapkan kebijakan imigrasi paling keras di dunia.

Berdasarkan Library of Congress, jika seseorang ingin menjadi warga negara Vatican City, dia harus menjadi seorang cardinal yang tinggal di Vatican City atau pun Roma. Jika orang tersebut adalah diplomat yang mewakili Holy See, atau tinggal di Vatican City karena bekerja untuk Gereja Katholik Roma.

Negara lain yang mempersulit proses menjadi warga negara adalah Liechtenstein. Itu merupakan negara kecil, negara pegunungan yang terletak di Austria dan Swiss dengan jumlah penduduk hanya 40.000. Tentunya aturan imigrasi ditujukan untuk tetap memosisikan negara tersebut tetap menjadi negara kecil.

Jika ingin menjadi warga negara Liechtenstein, orang harus tinggal di sana selama 30 tahun. Jika menikah dengan penduduk Liechtenstein, itu akan mempersingkat proses naturalisasi hanya lima tahun usia pernikahan. Jika ingin mempersingkat masa penantian 30 tahun, orang bisa meminta masyarakat melakukan pemungutan suara setelah tinggal di sana 10 tahun. Namun, semua prose situ cenderung membuat orang menjadi putus asa untuk menjadi warga negara Liechtenstein.

Selanjutnya, Bhutan, negara di pegunungan Himalaya menarik perhatian banyak orang karena sukses dengan nilai Indeks Kebahagiaan Nasional. Namun, Bhutan merupakan salah satu negara yang paling terisolasi di dunia. Negara itu tidak membuka diri untuk pariwisata hingga 1974.

Hingga kini, Bhutan tetap melanjutkan regulasi dan memonitor wisatawan dari dekat. Itu bisa dibayangkan bagaimana proses imigrasinya yang akan mempersulit para petualang. Untuk menjadi warga negara Bhutan, orang harus menjadi proses naturalisasi kewarganegaraan setelah tinggal di Bhutan selama 20 tahun. Syarat paling sulit lainnya adalah selama itu, orang tersebut tidak boleh bertindak melawan negara dan raja Bhutan.

Jika pernah melakukan tindakan melawan hukum, maka status kewarganegarannya akan dicabut. Beralih ke Timur Tengah, Qatar merupakan negara yang cukup sulit untuk menerima warga asing menjadi warga negara. Untuk menantu proses naturalisasi, orang harus menunggu selama 25 tahun. Kantor berita Doha News melaporkan Qatar hanya menerima proses naturalisasi sebanyak 50 warga asing setiap tahun.

Warga naturalisasi juga tidak diperlakukan sama dengan penduduk Qatar pada umumnya. Mereka tidak mendapatkan fasilitas dari pemerintah. Syarat wajib naturalisasi adalah warga diminta bisa berbahasa Arab dengan lancar. Qatar memang mendapatkan banjir migran sejak negara Teluk itu mengembangkan industri minyak pada 1930-an.

Pertumbuhan ekonomi itu menyebabkan banyak pekerja Arab, termasuk warga Suriah dan Palestina, membanjiri Qatar. Banyak warga asing juga terus berdatangan ke Qatar terutama dari Asia Selatan karena proyek konstruksi terus berkembang. "Naturalisasi diberikan kepada orang yang mengajukan dan memenuhi regulasi,” kata mantan emir Qatar, Hamad bin Khalifa al-Thani.

Namun demikian, proses naturalisasi diprotes kebanyakan anak muda Qatar. Mereka menyebut aturan naturalisasi sudah ketinggalan zaman. “Kita memprotes kebanyakan naturalisasi hanya atlet, bukan dokter, ilmuwan, teknisi, akademisi, atau seniman. Bukannya mereka lebih bermanfaat bagi masyarakat dibandingkan atlet,” kata Hamad al-Khater, seorang pegawai di sektor publik.

Kekhawatiran kemudahan naturalisasi juga menjadikan warga Qatar juga berpikir tentang fasilitas pendidikan gratis, kesehatan, kredit perumahan bagi warga negara baru. “Meskipun tanpa naturalisasi, identitas kita juga berada dalam kondisi krisis. Ketika kita memberikan paspor baru kepada orang lain juga akan menimbulkan permasalahan,” ungkap pengusaha, Abdullah al-Mohannadi.

Memang ada kekhawatirkan jika masuknya orang asing akan mempengaruhi sistem politik dinasti Qatar dan budaya konservatif yang didasarkan pada nilai kesukuan. Namun demikian, pertumbuhan ekonomi dan pergerakan Qatar pasca-minyak menimbulkan perubahan penting bagi sistem sosial dan budaya.

“Qatar harus membutuhkan banyak penduduk jangka panjang agar bisa berkontribusi pada pajak dan menggantikan populasi yang menua,” kata pengajar kampus di Doha yang tidak disebutkan namanya. Selanjutnya, Uni Emirat Arab (UEA) juga memberlakukan aturan yang sulit untuk menjadi warga negara di mana orang tersebut harus tinggal di sana selama 30 tahun.

Namun, hukum federal memberikan kemudahan bagi orang Arab yang berasal dari Qatar, Oman, dan Bahran dengan waktu tunggu selama tiga tahun. Kemudian, Untuk bisa menjadi warga negara Kuwait harus tinggal di sana selama 20 tahun, dan 15 tahun khusus warga Arab lainnya. Mereka juga memprioritas warga beragam Islam dan diwajibkan bisa berbahasa Arab.

Selanjutnya, untuk menjadi warga Swiss harus tinggal di sana selama 10 tahun dan izin kerja yang disebut dengan C permit. Setelah itu, lima tahun lagi harus tinggai di Swiss untuk warga Uni Eropa, dan selain itu harus tinggal 10 tahun lagi agar bisa jadi warga negara Swiss.

Melansir The Local, seorang perempuan kelahiran Iran yang telah tinggal 20 tahun di Swiss, ternyata ditolak setelah mengajukan proses naturalisasi karena mengucapkan "uh" selama 200 kali dalam proses wawacanara. Perempuan yang tak disebutkan namanya itu tinggal di Ingenbohl bersama suaminya yang sudah mendapatkan paspor Swiss setelah pengajuan dua kali. Ibu dua anak itu dikenal aktif dalam komunitas dan bergabung dengan beragam perkumpulan.

Menurut pihak otoritas imigrasi Swiss, penolakan itu dikarenakan di perempuan tersebut tidak mampu berbahasa Jerman dengan lancar. Tidak menyerah, perempuan tersebut membawa kasus penolakan tersebut ke pengadilan federal. Namun, hakim membela keputusan pihak imigrasi yang berhak merekam wawancara dan pertimbangan kemampuan bahasa Jerman.

Sejak adanya amendemen aturan naturalisasi, sebanyak 1.000 orang mengajukan proses naturalisasi dalam satu tahun terakhir. Umumnya, mereka berasal dari generasi ketiga keluarga imigran. "Memang ada 1.000 aplikasi naturalisasi,"kata Sybille Siegwart, juru bicara Komisi Migrasi Federal. Berdasarkan data Kementerian Migrasi, dalam 10 tahun ke depan memberikan kesempatan 2.300 orang menjadi warga melakukan proses naturalisasi.

"Harapannya satu pertiga generasi pendatang akan menggunakan kesempatan itu," kata Walter Leimgruber, Presiden Komisi Migrasi Federal. "Dengan mendapatkan status kewarganegaraan, mereka akan ikut terlibat secara politik dan sosial di masyarakat Swiss," ujarnya.

Sementara itu, naturalisasi kewarganegaraan di China sangatlah sulit dan hampir mustahil. Jangka waktu tinggal di China untuk menjadi warga negara sangatlah lama, tetapi tidak spesifik. Selain itu, untuk bisa menjadi warga China harus memiliki anggota keluarga di sana.
(don)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1124 seconds (0.1#10.140)