Curi Data Anak untuk Iklan, YouTube Didenda Rp2,4 Triliun
A
A
A
NEW YORK - Google LLC mendapat sanksi keras dari pemerintah Amerika Serikat (AS). Perusahaan multinasional asal AS ini diwajibkan membayar denda USD170 juta (Rp2,4 triliun) lantaran media layanan videonya, YouTube, melanggar aturan federal dengan mengoleksi informasi pribadi anak-anak. Penjatuhan sanksi ini diungkapkan oleh Komisi Perdagangan Federal (FTC) Amerika Serikat, Rabu (4/9) waktu setempat.
YouTube dituduh melacak pengguna di channel anak-anak dengan memanfaatkan cookies tanpa seizin atau sepengetahuan orang tua. Selanjutnya, mereka menggunakan cookies tersebut untuk menyebarkan iklan bernilai jutaan dolar. Kasus ini sedang ditangani langsung FTC dan Kantor Kejaksaan Umum New York.
Denda senilai USD170 juta menjadi denda terbesar dalam kasus pengumpulan informasi anak-anak di bawah usia 13 tahun sejak 1998. Aturan hukum terkait hal itu direvisi pada 2013 dengan memasukkan cookies, sebuah fitur internet yang berguna untuk mengirim data situs web dan menyimpannya di dalam web browser. Meski besar, denda tersebut terbilang rendah jika dibandingkan dengan pendapatan perusahaan.
Pada Juli, Alphabet yang 85% pendapatannya bersumber dari penjualan ad space dan ad technology disebut meraih penghasilan USD38,9 miliar pada kuartal kedua (Q2) 2019. Atas pelanggaran ini, YouTube mengaku akan mengubah kebijakannya. “Kami akan membatasi pengumpulan data dan penggunaan video yang dibuat anak-anak sesuai dengan keperluan untuk mendukung operasi pelayanan,” ungkap YouTube.
Tak hanya itu, YouTube juga mulai saat ini akan menganggap semua data yang dikoleksi dari penonton konten anak-anak sebagai penonton anak-anak. Pada akhir Agustus, YouTube mengumumkan akan meluncurkan layanan video khusus untuk anak-anak bernama YouTube Kids. Di dalam YouTube Kids, semua kontennya diharapkan dapat sesuai dengan selera anak-anak dan dirancang anti-video disturbing.
Orang tua juga dapat menyetel konten-konten di YouTubeKids. Selain itu, YouTube Kidsjuga tidak akan memiliki iklan sebab YouTube bekerja sama dengan berbagai perusahaan untuk membuat channel mereka sendiri sehingga dapat memasarkan produk melalui cara yang kreatif. Namun, sejumlah pihak menilai YouTube mencoba memonopoli kue periklanan melalui popularitasnya.
Pemerintah AS menyatakan YouTube mendekati perusahaan sekelas Mattel dan Hasbro. “YouTube mengatakan kepada Mattel bahwa mereka merupakan platform terdepan pada zaman sekarang yang dapat mencapai pemirsa anak-anak berusia 6–11 tahun. Tak ada yang dapat mengalahkan YouTube,” kata pelapor.
Chairman FTC Joe Simons juga mengatakan ketika berhadapan dengan klien, bahwa YouTube sangat bangga atas popularitasnya di kalangan anak-anak. “Namun ketika berhadapan dengan hukum terkait kasus pelanggaran data anak, mereka justru membantah mengakui platformnya ditujukan untuk anak-anak,” kata Simons.
Jaksa Agung New York Letitia James mengatakan Google telah menggunakan kekuasaannya secara sewenang-wenang hingga melanggar peraturan yang ditetapkan. “Google dan YouTube secara ilegal dan sadar telah mengawasi, melacak, dan menyebarkan iklan kepada anak-anak demi meraup keuntungan,” ujar James.
Dua anggota Demokrat di FTC, Rebecca Slaughter dan Rohit Chopra, kurang puas dengan keputusan pengadilan. Slaughter yang menganggap pelanggaran tersebut kurang ajar mengatakan bahwa YouTube seharusnya diminta mengawasi channel yang membuat konten anak-anak, tapi kenyataannya bertolak belakang.
Selain menjatuhkan sanksi berupa denda, pihak pengadilan juga meminta YouTube untuk tidak mengulang kesalahan serupa di masa depan. Pihak pengadilan juga meminta YouTube mewajibkan pemilik channel untuk memperoleh persetujuan dari orang tua penonton sebelum mengumpulkan data informasi.
YouTube dituduh melacak pengguna di channel anak-anak dengan memanfaatkan cookies tanpa seizin atau sepengetahuan orang tua. Selanjutnya, mereka menggunakan cookies tersebut untuk menyebarkan iklan bernilai jutaan dolar. Kasus ini sedang ditangani langsung FTC dan Kantor Kejaksaan Umum New York.
Denda senilai USD170 juta menjadi denda terbesar dalam kasus pengumpulan informasi anak-anak di bawah usia 13 tahun sejak 1998. Aturan hukum terkait hal itu direvisi pada 2013 dengan memasukkan cookies, sebuah fitur internet yang berguna untuk mengirim data situs web dan menyimpannya di dalam web browser. Meski besar, denda tersebut terbilang rendah jika dibandingkan dengan pendapatan perusahaan.
Pada Juli, Alphabet yang 85% pendapatannya bersumber dari penjualan ad space dan ad technology disebut meraih penghasilan USD38,9 miliar pada kuartal kedua (Q2) 2019. Atas pelanggaran ini, YouTube mengaku akan mengubah kebijakannya. “Kami akan membatasi pengumpulan data dan penggunaan video yang dibuat anak-anak sesuai dengan keperluan untuk mendukung operasi pelayanan,” ungkap YouTube.
Tak hanya itu, YouTube juga mulai saat ini akan menganggap semua data yang dikoleksi dari penonton konten anak-anak sebagai penonton anak-anak. Pada akhir Agustus, YouTube mengumumkan akan meluncurkan layanan video khusus untuk anak-anak bernama YouTube Kids. Di dalam YouTube Kids, semua kontennya diharapkan dapat sesuai dengan selera anak-anak dan dirancang anti-video disturbing.
Orang tua juga dapat menyetel konten-konten di YouTubeKids. Selain itu, YouTube Kidsjuga tidak akan memiliki iklan sebab YouTube bekerja sama dengan berbagai perusahaan untuk membuat channel mereka sendiri sehingga dapat memasarkan produk melalui cara yang kreatif. Namun, sejumlah pihak menilai YouTube mencoba memonopoli kue periklanan melalui popularitasnya.
Pemerintah AS menyatakan YouTube mendekati perusahaan sekelas Mattel dan Hasbro. “YouTube mengatakan kepada Mattel bahwa mereka merupakan platform terdepan pada zaman sekarang yang dapat mencapai pemirsa anak-anak berusia 6–11 tahun. Tak ada yang dapat mengalahkan YouTube,” kata pelapor.
Chairman FTC Joe Simons juga mengatakan ketika berhadapan dengan klien, bahwa YouTube sangat bangga atas popularitasnya di kalangan anak-anak. “Namun ketika berhadapan dengan hukum terkait kasus pelanggaran data anak, mereka justru membantah mengakui platformnya ditujukan untuk anak-anak,” kata Simons.
Jaksa Agung New York Letitia James mengatakan Google telah menggunakan kekuasaannya secara sewenang-wenang hingga melanggar peraturan yang ditetapkan. “Google dan YouTube secara ilegal dan sadar telah mengawasi, melacak, dan menyebarkan iklan kepada anak-anak demi meraup keuntungan,” ujar James.
Dua anggota Demokrat di FTC, Rebecca Slaughter dan Rohit Chopra, kurang puas dengan keputusan pengadilan. Slaughter yang menganggap pelanggaran tersebut kurang ajar mengatakan bahwa YouTube seharusnya diminta mengawasi channel yang membuat konten anak-anak, tapi kenyataannya bertolak belakang.
Selain menjatuhkan sanksi berupa denda, pihak pengadilan juga meminta YouTube untuk tidak mengulang kesalahan serupa di masa depan. Pihak pengadilan juga meminta YouTube mewajibkan pemilik channel untuk memperoleh persetujuan dari orang tua penonton sebelum mengumpulkan data informasi.
(don)