Salip Apple, Alphabet Miliki Aset Cair Terbesar
A
A
A
NEW YORK - Alphabet Inc, induk perusahaan Google, menyalip Apple menjadi perusahaan dengan aset cair terbesar di dunia. Posisi ini diduduki setelah Apple membagikan uang tunai terhadap para investor merespons tekanan aktivis investasi Carl Celian Icahn sejak enam tahun terakhir.
Cadangan keuangan Apple, baik uang tunai maupun sekuritas yang mudah dipasarkan, berkurang dari USD163 miliar (Rp2.325 triliun) pada 2017 menjadi USD102 miliar (Rp1.455 triliun) pada 2019. Sebaliknya, cadangan keuangan Alphabet naik menjadi USD117 miliar (Rp1.668 triliun) selama periode yang sama.
Kenaikan keuangan Alphabet terjadi di tengah momen yang sulit. Setelah terjerat Undang Undang Antimonopoli di Uni Eropa (UE) dalam dua tahun terakhir hingga didenda USD9 miliar (Rp128 triliun), induk perusahaan Google itu saat ini sedang menghadapi pengawasan superketat dari Amerika Serikat (AS).
Alphabet lebih memilih untuk menyimpan dan menghabiskan aset cair untuk menembus pasar baru dibanding membagikannya kepada pemegang saham. Namun, sebagian investor tidak setuju. Mereka justru mendesak Alphabet untuk tidak menghamburkan uang secara percuma dan mendengarkan para investor.
“Secara umum, upaya Alphabet untuk kembali menemukan diri mereka dengan mengeluarkan inisiatif tidak berhasil. Saya berharap mereka mengembalikan lebih banyak uang tunai kepada pemegang saham dan tidak menghamburkan-hamburkannya untuk hal tidak penting,” ujar Walter Price dari Allianz Global Investor.
Seperti dilansir Los Angeles Times, aset cair Alphabet berhasil bertambah meskipun pengeluarannya sangat besar. Uang investasi Alphabet mencapai USD25 miliar tahun lalu atau naik dari USD13 miliar dibanding setahun sebelumnya. Sebagian besar ditanamkan di dalam bisnis real estate di kota-kota besar.
Kepala Keuangan Alphabet Ruth Porat mengaku mengalami kesulitan besar ketika memainkan investasi di bidang real estate mengingat sistemnya hanya sekali tanam dan sekali panen. Sebelumnya, hampir 70% investasi yang ditanamkan Alphabet selalu fokus pada pengembangan dan inovasi teknologi baru atau server.
Pengamat dari SunTrust Robinson Humphrey, Youssef Squali, juga mengatakan bahwa Alphabet gagal bertaruh. Faktanya, infrastruktur untuk mendukung teknologi dan bisnis kecerdasan buatan (AI) yang dicanangkan Google memerlukan modal yang sangat besar, terutama dalam pengadaan jutaan kekuatan komputisasi canggih.
“Sama seperti perusahaan teknologi raksasa lainnya, modal yang harus dikeluarkan untuk machine learning sangat besar, tapi pendapatan yang dihasilkan juga setara,” ujar Squali. Sejauh ini, AI tidak menjadi bisnis utama Google. Mayoritas sumber penghasilan Alphabet juga berasal dari penayangan iklan daring.
Bisnis lain Google seperti cloud computing, smartphone, dan otomatisasi juga diyakini masih belum memberi keuntungan. Alphabet mengalami kerugian sebesar USD15 miliar dalam enam tahun terakhir sejak bisnis tersebut gagal bersaing; bisnis mobil self-driving Waymo dan divisi Google X Verily bahkan ditutup.
Price mengatakan Google menerima cukup “kue” investasi untuk memajukan bisnis cloud computing demi mengejar ketertinggalan dari Amazon Web Services dan Microsoft. Namun, performa di pasar kurang memuaskan. Bagaimanapun, Alphabet bersikeras tidak akan mengembalikan uang tunai kepada investor.
Buyback Saham
Sebaliknya, Apple memilih mengubah kebijakan. Perusahaan dengan pendapatan USD265,595 miliar pada 2018 itu menghabiskan USD122 miliar untuk membeli kembali saham perusahaan dan membayar dividen dalam 18 bulan terakhir. Uang Cisco Systems juga terpangkas dari USD35 miliar menjadi USD11 miliar.
Dalam empat tahun terakhir sejak Alphabet mulai membeli kembali saham, Alphabet rata-rata hanya mengeluarkan USD1,7 miliar per semester. Saat itu Alphabet lebih banyak membagikan saham baru dalam bentuk employee stock benefit dibanding program repurchase. Alhasil, pendapatan per saham tidak naik.
Pada pekan lalu, Alphabet menyatakan telah menambah modal sebesar USD25 miliar atau menjadi USD37,5 miliar untuk program pembelian kembali saham. Menurut Porat, penambahan modal itu tidak merefleksikan perubahan prioritas keuangan Alphabet, yakni akuisisi dan investasi pertumbuhan jangka panjang.
Bagaimanapun, langkah tersebut akan berkontribusi pada rebound harga saham saat perusahaan mengalami pertumbuhan pendapatan. Meski tingkat pembelian kembali saham tidak akan membatasi pertumbuhan uang tunai Alphabet, aliran uang tunai bebasnya diperkirakan mencapai USD30–40 miliar pada 2020.
“Tujuan pembelian kembali saham tidak merepresentasikan adanya perubahan kebijakan untuk mengurangi cadangan keuangan perusahaan,” kata George Salmon dari Hargreaves Lansdown. Saat ini banyak investor yang menduga kondisi keuangan Alphabet akan lebih stabil menyusul matangnya bisnis periklanan.
Cadangan keuangan Apple, baik uang tunai maupun sekuritas yang mudah dipasarkan, berkurang dari USD163 miliar (Rp2.325 triliun) pada 2017 menjadi USD102 miliar (Rp1.455 triliun) pada 2019. Sebaliknya, cadangan keuangan Alphabet naik menjadi USD117 miliar (Rp1.668 triliun) selama periode yang sama.
Kenaikan keuangan Alphabet terjadi di tengah momen yang sulit. Setelah terjerat Undang Undang Antimonopoli di Uni Eropa (UE) dalam dua tahun terakhir hingga didenda USD9 miliar (Rp128 triliun), induk perusahaan Google itu saat ini sedang menghadapi pengawasan superketat dari Amerika Serikat (AS).
Alphabet lebih memilih untuk menyimpan dan menghabiskan aset cair untuk menembus pasar baru dibanding membagikannya kepada pemegang saham. Namun, sebagian investor tidak setuju. Mereka justru mendesak Alphabet untuk tidak menghamburkan uang secara percuma dan mendengarkan para investor.
“Secara umum, upaya Alphabet untuk kembali menemukan diri mereka dengan mengeluarkan inisiatif tidak berhasil. Saya berharap mereka mengembalikan lebih banyak uang tunai kepada pemegang saham dan tidak menghamburkan-hamburkannya untuk hal tidak penting,” ujar Walter Price dari Allianz Global Investor.
Seperti dilansir Los Angeles Times, aset cair Alphabet berhasil bertambah meskipun pengeluarannya sangat besar. Uang investasi Alphabet mencapai USD25 miliar tahun lalu atau naik dari USD13 miliar dibanding setahun sebelumnya. Sebagian besar ditanamkan di dalam bisnis real estate di kota-kota besar.
Kepala Keuangan Alphabet Ruth Porat mengaku mengalami kesulitan besar ketika memainkan investasi di bidang real estate mengingat sistemnya hanya sekali tanam dan sekali panen. Sebelumnya, hampir 70% investasi yang ditanamkan Alphabet selalu fokus pada pengembangan dan inovasi teknologi baru atau server.
Pengamat dari SunTrust Robinson Humphrey, Youssef Squali, juga mengatakan bahwa Alphabet gagal bertaruh. Faktanya, infrastruktur untuk mendukung teknologi dan bisnis kecerdasan buatan (AI) yang dicanangkan Google memerlukan modal yang sangat besar, terutama dalam pengadaan jutaan kekuatan komputisasi canggih.
“Sama seperti perusahaan teknologi raksasa lainnya, modal yang harus dikeluarkan untuk machine learning sangat besar, tapi pendapatan yang dihasilkan juga setara,” ujar Squali. Sejauh ini, AI tidak menjadi bisnis utama Google. Mayoritas sumber penghasilan Alphabet juga berasal dari penayangan iklan daring.
Bisnis lain Google seperti cloud computing, smartphone, dan otomatisasi juga diyakini masih belum memberi keuntungan. Alphabet mengalami kerugian sebesar USD15 miliar dalam enam tahun terakhir sejak bisnis tersebut gagal bersaing; bisnis mobil self-driving Waymo dan divisi Google X Verily bahkan ditutup.
Price mengatakan Google menerima cukup “kue” investasi untuk memajukan bisnis cloud computing demi mengejar ketertinggalan dari Amazon Web Services dan Microsoft. Namun, performa di pasar kurang memuaskan. Bagaimanapun, Alphabet bersikeras tidak akan mengembalikan uang tunai kepada investor.
Buyback Saham
Sebaliknya, Apple memilih mengubah kebijakan. Perusahaan dengan pendapatan USD265,595 miliar pada 2018 itu menghabiskan USD122 miliar untuk membeli kembali saham perusahaan dan membayar dividen dalam 18 bulan terakhir. Uang Cisco Systems juga terpangkas dari USD35 miliar menjadi USD11 miliar.
Dalam empat tahun terakhir sejak Alphabet mulai membeli kembali saham, Alphabet rata-rata hanya mengeluarkan USD1,7 miliar per semester. Saat itu Alphabet lebih banyak membagikan saham baru dalam bentuk employee stock benefit dibanding program repurchase. Alhasil, pendapatan per saham tidak naik.
Pada pekan lalu, Alphabet menyatakan telah menambah modal sebesar USD25 miliar atau menjadi USD37,5 miliar untuk program pembelian kembali saham. Menurut Porat, penambahan modal itu tidak merefleksikan perubahan prioritas keuangan Alphabet, yakni akuisisi dan investasi pertumbuhan jangka panjang.
Bagaimanapun, langkah tersebut akan berkontribusi pada rebound harga saham saat perusahaan mengalami pertumbuhan pendapatan. Meski tingkat pembelian kembali saham tidak akan membatasi pertumbuhan uang tunai Alphabet, aliran uang tunai bebasnya diperkirakan mencapai USD30–40 miliar pada 2020.
“Tujuan pembelian kembali saham tidak merepresentasikan adanya perubahan kebijakan untuk mengurangi cadangan keuangan perusahaan,” kata George Salmon dari Hargreaves Lansdown. Saat ini banyak investor yang menduga kondisi keuangan Alphabet akan lebih stabil menyusul matangnya bisnis periklanan.
(don)