Myanmar Tersinggung dengan Seruan Embargo Senjata Marzuki Darusman
A
A
A
YANGON - Pemerintah Myanmar tersinggung dengan seruan agar para pemimpin dunia menjatuhkan embargo senjata terhadap militer negara itu terkait tindakan brutalnya terhadap minoritas Muslim Rohingya . Seruan itu disampaikan panel penyelidik PBB yang dipimpin mantan Jaksa Agung Indonesia, Marzuki Darusman .
Selain menyerukan embargo senjata, Marzuki juga mendesak para pemimpin dunia untuk memutuskan hubungan dengan perusahaan-perusahaan yang berbisnis dengan militer Myanmar.
Kementerian Luar Negeri negara itu mengatakan seruan panel PBB itu dimaksudkan untuk membahayakan negara mereka.
Lebih dari 730.000 warga Rohingya telah melarikan diri dari negara bagian Rakhine ke Bangladesh untuk menyelamatkan diri dari tindakan keras yang dipimpin militer Myanmar pada Agustus 2017. Amerika Serikat dan negara-negara Barat menyatakan tindakan keras militer itu termasuk pembunuhan massal dan pemerkosaan geng.
Para penyelidik PBB mengidentifikasi setidaknya 59 perusahaan asing yang memiliki ikatan komersial dengan militer Myanmar dan 14 perusahaan yang telah menjual senjata dan peralatan terkait kepada pasukan keamanan negara itu sejak 2016, termasuk entitas milik negara di Israel, India, Korea Utara, dan China.
"Setiap kegiatan bisnis asing yang melibatkan tentara dan konglomeratnya menempatkan risiko tinggi untuk berkontribusi, atau terkait dengan, pelanggaran hukum hak asasi manusia internasional dan hukum humaniter internasional," bunyi laporan panel penyelidik PBB.
Menurut Kementerian Luar Negeri Myanmar panel penyelidik PBB telah melampaui mandatnya dalam mendirikan Misi Pencari Fakta tentang Myanmar, dengan menghasilkan laporan semacam itu. Panel yang sama pada tahun 2018 menyatakan tindakan keras terhadap Rohingya dilakukan dengan "niat genosida".
"Pemerintah Myanmar dengan tegas menolak laporan terbaru dan kesimpulannya," kata kementerian itu dalam sebuah pernyataan, dikutip Reuters, Rabu (7/8/2019)."Laporan itu sebagai tindakan yang dimaksudkan untuk merugikan kepentingan Myanmar dan rakyatnya," lanjut kementerian tersebut.
"Kami berpegang teguh pada posisi bahwa kerja sama harus menjadi dasar untuk penyelesaian masalah internasional, termasuk hak asasi manusia," sambung kementerian tersebut. "Kami tidak percaya bahwa sanksi ekonomi akan menyelesaikan tantangan yang perlu diatasi."
Selain menyerukan embargo senjata, Marzuki juga mendesak para pemimpin dunia untuk memutuskan hubungan dengan perusahaan-perusahaan yang berbisnis dengan militer Myanmar.
Kementerian Luar Negeri negara itu mengatakan seruan panel PBB itu dimaksudkan untuk membahayakan negara mereka.
Lebih dari 730.000 warga Rohingya telah melarikan diri dari negara bagian Rakhine ke Bangladesh untuk menyelamatkan diri dari tindakan keras yang dipimpin militer Myanmar pada Agustus 2017. Amerika Serikat dan negara-negara Barat menyatakan tindakan keras militer itu termasuk pembunuhan massal dan pemerkosaan geng.
Para penyelidik PBB mengidentifikasi setidaknya 59 perusahaan asing yang memiliki ikatan komersial dengan militer Myanmar dan 14 perusahaan yang telah menjual senjata dan peralatan terkait kepada pasukan keamanan negara itu sejak 2016, termasuk entitas milik negara di Israel, India, Korea Utara, dan China.
"Setiap kegiatan bisnis asing yang melibatkan tentara dan konglomeratnya menempatkan risiko tinggi untuk berkontribusi, atau terkait dengan, pelanggaran hukum hak asasi manusia internasional dan hukum humaniter internasional," bunyi laporan panel penyelidik PBB.
Menurut Kementerian Luar Negeri Myanmar panel penyelidik PBB telah melampaui mandatnya dalam mendirikan Misi Pencari Fakta tentang Myanmar, dengan menghasilkan laporan semacam itu. Panel yang sama pada tahun 2018 menyatakan tindakan keras terhadap Rohingya dilakukan dengan "niat genosida".
"Pemerintah Myanmar dengan tegas menolak laporan terbaru dan kesimpulannya," kata kementerian itu dalam sebuah pernyataan, dikutip Reuters, Rabu (7/8/2019)."Laporan itu sebagai tindakan yang dimaksudkan untuk merugikan kepentingan Myanmar dan rakyatnya," lanjut kementerian tersebut.
"Kami berpegang teguh pada posisi bahwa kerja sama harus menjadi dasar untuk penyelesaian masalah internasional, termasuk hak asasi manusia," sambung kementerian tersebut. "Kami tidak percaya bahwa sanksi ekonomi akan menyelesaikan tantangan yang perlu diatasi."
(mas)