Riwayat Suami-Istri Indonesia Pengebom Gereja Filipina

Rabu, 24 Juli 2019 - 00:52 WIB
Riwayat Suami-Istri Indonesia Pengebom Gereja Filipina
Riwayat Suami-Istri Indonesia Pengebom Gereja Filipina
A A A
JAKARTA - Polisi Republik Indonesia (Polri) pada hari Selasa memastikan pengeboman gereja di Filipina pada Januari lalu adalah serangan bunuh diri yang dilakukan oleh pasangan suami-istri asal Indonesia. Pasangan ini pernah mencoba masuk wilayah ISIS dan dideportasi Turki.

Pasangan Rullie Rian Zeke dan Ulfah Handayani Saleh pergi ke Turki pada 2016 dengan harapan bisa melintasi perbatasan ke Suriah. Sebaliknya, mereka ditangkap pada Januari 2017 dan dikirim kembali ke Indonesia.

Pengeboman, yang terdiri dari dua ledakan, menghantam Katedral Our Lady of Mount Carmel di selatan Jolo, Filipina, tempat militer setempat memerangi gerilyawan Muslim. Serangan bom bunuh diri itu menewaskan 23 orang dan lebih dari 100 orang lainnya terluka. Serangan terjadi tepat ketika jemaat berkumpul untuk misa. Melalui berbagai buletin online, kelompok Islamic State atau ISIS mengklaim bertanggung jawab.

Para pejabat terorisme dan para ahli independen telah memperingatkan bahwa Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara lainnya menghadapi ancaman serius dari ratusan pengungsi yang bepergian ke Suriah dan Irak untuk bergabung dengan ISIS. Serangan pada bulan Januari menunjukkan bahwa negara-negara Asia Tenggara juga harus waspada terhadap mereka yang dideportasi dari negara lain sebelum mereka dapat mencapai tujuannya.

"Ini adalah bom bunuh diri pertama yang kita ketahui dilakukan oleh orang yang dideportasi," kata Sidney Jones, direktur Institut Analisis Kebijakan Konflik yang berbasis di Jakarta. "Beberapa orang lain telah terlibat dalam kegiatan teroris, tetapi tidak ada pada skala ini."

Jolo telah menjadi sarang pemberontakan gerilyawan Muslim dan rumah bagi milisi separatis yang kejam, Abu Sayyaf, yang mendukung ideologi ISIS. Pihak berwenang Filipina awalnya menyalahkan Abu Sayyaf atas pengeboman gereja tersebut, dan para penyerang diduga mendapat bantuan kelompok itu.

Menurut Polri, Rullie dan Ulfah diidentifikasi selama interogasi terhadap dua tersangka yang ditangkap di Malaysia pada Mei.

Peran pasangan Indonesia dalam pengeboman gereja di Filipina menunjukkan sifat regional militan yang berafiliasi dengan ISIS dan yang beroperasi lintas batas saat mereka mengejar tujuan mereka, yakni menciptakan kekhalifahan Asia Tenggara yang akan mencakup Indonesia, Malaysia dan Filipina.

"Ini menunjukkan perlunya setiap kepolisian di wilayah tersebut untuk memahami jaringan ekstremis di negara-negara tetangga," kata Jones, yang dikenal sebagai pakar terkemuka tentang terorisme di Asia Tenggara, seperti dikutip New York Times.

Setahun lalu, pasangan suami-istri memimpin empat anak mereka dalam misi bunuh diri di Surabaya, kota terbesar kedua di Indonesia. Mereka melakukan bom bunuh diri di tiga gereja pada hari Minggu pagi yang menewaskan keluarga tersebut dan 12 orang lainnya. ISIS mengklaim mengaku bertanggung jawab atas serangan itu.

Pada tahun 2017, pihak berwenang mengidentifikasi tujuh pemuda Indonesia yang bergabung dengan ISIS, tetapi pergi ke Filipina selatan, bukan ke Suriah atau Irak. Mereka bergabung dengan pertempuran melawan pemerintah Filipina di kota Marawi, yang akhirnya dihancurkan oleh pertempuran.

Jones mengatakan pengeboman katedral Jolo akan menambah perdebatan tentang bagaimana setiap negara harus berurusan dengan warga negaranya yang ditangkap di wilayah ISIS dan ditahan di kamp-kamp di Suriah.

"Beberapa orang Indonesia dan Malaysia telah menyatakan keinginan untuk pulang, tetapi tidak ada antusiasme yang besar untuk membawa mereka kembali dan sampai sekarang, belum ada program yang jelas untuk melakukannya," katanya.

Rullie dan Ulfah diduga terjebak dengan ketiga anak mereka di Turki selama hampir setahun sebelum mereka ditangkap dan dideportasi. Mereka menghadiri program rehabilitasi singkat sekembalinya ke Indonesia dan diizinkan pulang. Menurut Jones, keberadaan anak-anak itu tidak diketahui.

"Ini bukan 'yang kembali'—mereka tidak pernah menginjakkan kaki di Suriah sejauh yang kami tahu," kata Jones. "Mereka adalah orang yang dideportasi, ditangkap di Turki sebelum mereka bisa menyeberang."
(mas)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3315 seconds (0.1#10.140)