China Jadikan Xinjiang Kamp Tahanan Muslim Sekaligus Objek Wisata

Senin, 15 Juli 2019 - 13:31 WIB
China Jadikan Xinjiang Kamp Tahanan Muslim Sekaligus Objek Wisata
China Jadikan Xinjiang Kamp Tahanan Muslim Sekaligus Objek Wisata
A A A
KASHGAR - Otoritas China tak hanya menjadikan Xinjiang sebagai lokasi kamp-kamp tahanan bagi warga Uighur dan minoritas Muslim lain berbahasa Turki, tapi juga menjadikan wilayah itu sebagai objek wisata untuk turis asing dan lokal.

Dari bukit pasir yang luas di Gurun Taklamakan hingga ke puncak-puncak yang tertutup salju di Tianshan, otoritas terkait China menyambut para pelancong.

Pemerintah telah mengumpulkan sekitar satu juta warga Uighur dan minoritas Muslim berbahasa Turki lainnya ke dalam kamp-kamp pendidikan ulang di wilayah yang dikontrol ketat di barat laut China. Cara China yang diklaim untuk melawan ekstremisme itu telah dikecam sejumlah negara dan PBB, namun banyak juga negara yang membela cara China tersebut, termasuk Arab Saudi dan Uni Emirat Arab.

Di Kota Tua Kashgar, penjual makanan yang tersenyum menyajikan sate domba yang lezat, sementara anak-anak bermain di jalanan.

“Sepertinya saya tidak (merasa)—kecuali Anda dijemput dan dimasukkan ke dalam kamp—bahwa komunitas Uighur ini tampaknya hidup dalam semacam ketakutan," kata William Lee, yang telah mengajar di sebuah universitas di China selama 10 tahun dan mengunjungi wilayah itu pada bulan Juni.

"Itu hanya kesan saya," ujarnya, seperti dikutip AFP, Senin (15/7/2019).

Xinjiang—wilayah penuh dengan gejolak kekerasan antaretnik yang telah menyebabkan tingkat pengawasan yang belum pernah terjadi sebelumnya—adalah salah satu daerah dengan pertumbuhan tercepat untuk pariwisata di China atau Tiongkok.

Polisi bersenjata dan pos-pos pemeriksaan yang marak tidak meredam arus wisatawan yang mengunjungi wilayah tersebut. Pada tahun 2018, ada lonjakan kunjungan wisatawan hingga 40 persen dibanding tahun-tahun sebelumnya. Angka lonjakan itu melampaui rata-rata nasional sebesar 25 persen.

"Bisnis telah tumbuh dengan stabil selama bertahun-tahun terutama karena Xinjiang sangat stabil," kata Wu Yali, yang menjalankan biro perjalanan di wilayah tersebut.

"Meskipun para wisatawan tidak terbiasa dengan tingkat keamanan yang tinggi pada awalnya, mereka beradaptasi setelah beberapa hari," katanya kepada AFP.

Tetapi para pelancong tetap dilarang menyaksikan bagian paling kontroversial dari aparat keamanan Xinjiang, yakni jaringan kamp-kamp interniran tersebar di seluruh wilayah yang luas tersebut.

Banyak dari fasilitas ini berada di luar pusat wisata utama dan dipagari dengan dinding berkawat.

Dalam perjalanan enam hari ke wilayah itu bulan lalu, jurnalis AFP menghadapi penghalang jalan dan diusir oleh pasukan keamanan setelah mendekati beberapa kamp.

"Rezim Teror"

China menggambarkan fasilitas tersebut sebagai "pusat pendidikan kejuruan" di mana "peserta pelatihan" berbahasa Turki belajar bahasa Mandarin dan keterampilan kerja.

"Kekerasan yang ditimbulkan pada tubuh Uighur dan orang-orang Muslim lainnya...telah dibuat tidak terlihat," kata Rachel Harris, yang mempelajari budaya dan musik Uighur di School of Oriental and African Studies University of London.

"Untuk seorang turis yang pergi dan melakukan perjalanan di sekitar rute yang ditentukan, semuanya terlihat bagus," katanya kepada AFP. "Semuanya sangat sunyi dan itu karena ada rezim teror yang dipaksakan pada penduduk setempat."

Menurut media corong Partai Komunis, People's Daily, pemerintah daerah menawarkan subsidi perjalanan masing-masing senilai 500 yuan (USD73) pada tahun 2014, setelah pariwisata anjlok usai serangan pisau mematikan yang menurut pemerintah dilakukan oleh separatis Xinjiang di barat daya China.

Menurut biro pariwisata di kawasan itu, pada tahun 2020, Xinjiang bertujuan untuk mencapai total 300 juta kunjungan wisatawan dan memperoleh 600 miliar yuan (USD87 miliar).

Paket-paket wisata ke Xinjiang sering menampilkan rangkaian keindahan alam yang kaya di kawasan tersebut, dari perairan biru danau Karakul hingga Tianshan—sebuah situs warisan dunia UNESCO.

Banyak juga yang menawarkan pengalaman "etnik", yang seringkali dalam bentuk pertunjukan tari. Beberapa operator tur bahkan menyertakan kunjungan ke rumah orang Uighur.

Menurut para ahli, ketika otoritas China berusaha untuk menahan minoritas Muslim di kawasan itu, mereka memonetisasi budaya etnik—meskipun versinya disederhanakan.

"Budaya Uighur diubah menjadi hanya lagu dan tarian," kata Josh Summers, seorang pria Amerika yang tinggal di Xinjiang selama lebih dari satu dekade dan menulis panduan perjalanan untuk wilayah tersebut.

"Yang membuat saya sedih adalah apa yang akhirnya terjadi, yakni hanya ada bagian-bagian yang sangat spesifik dari budaya Uighur yang dipertahankan karena pariwisata," katanya, mengutip pengabaian tradisi pembuatan kertas Uighur dan tempat pemujaan gurun.

"Temukan Xinjiang"

Summers mengatakan, pengamanan Beijing juga menekan perdagangan pisau rakyat kota Yengisar.

"Sejak manajemen Xinjiang semakin ketat, dampaknya pada (perdagangan) pisau kecil Yengisar sangat besar—sekarang ada sangat sedikit toko yang menjual pisau kecil," kata Li Qingwen, yang menjalankan bisnis pariwisata di Xinjiang.

"Pemerintah ingin Uighur menunjukkan bagaimana mereka unggul dalam menyanyi dan menari, bukannya hidup di bawah aturan dan batasan agama," katanya kepada AFP.

Ketika lagu dan tarian etnik dipamerkan kepada wisatawan, orang Uighur sering dibatasi dalam cara mereka mengekspresikan budaya mereka sendiri.

Menurut Summers, pertemuan besar dan spontan warga Uighur—bahkan jika mereka melibatkan tarian—jarang terjadi karena keamanan yang ketat.

Pasar malam juga lebih terkontrol. Di Hotan, yang dulunya merupakan pasar malam terbuka kini berada di dalam tenda putih. Di dalam tenda itu, lentera merah menggantung dari langit-langit dan kedai makanan berseragam dihiasi dengan bendera China tak hanya menjual sate domba, tapi juga sushi dan makanan laut.

Selama beberapa tahun terakhir, para pemimpin budaya di komunitas Uighur telah menghilang, sehingga menimbulkan kekhawatiran bahwa mereka telah ditahan.

Pada bulan Februari, Kementerian Luar Negeri Turki mengklaim bahwa musisi dan penyair Uighur terkemuka Abdurehim Heyit telah meninggal di penjara China. Klaim itu memaksa China untuk merilis video "bukti kehidupan" dari seorang tahanan yang mengidentifikasi dirinya sebagai Heyit.

Komedian terkenal Uighur, Adil Mijit, juga hilang. Hal itu diungkap menantunya, Arslan Hidayat, melalui media sosial.

Meskipun para wisatawan dilindungi dari bagian-bagian paling buruk akibat tindakan keras keamanan Xinjiang, tidak sulit untuk berbenturan dengan banyak "garis merah" di kawasan itu.

Seorang pengelana dari Asia Tenggara, yang meminta ditulis secara anonim karena takut akan adanya pembalasan, menggambarkan hambatan yang dia hadapi ketika mencoba salat di sebuah masjid.

Dia mengatakan, banyak tempat ibadah ditutup di Kashgar, tidak seperti masjid di kota-kota China lainnya.

Di Masjid Idkah, masjid pusat Kashgar, turis itu diberitahu bahwa dia tidak bisa salat di dalam, dan dia harus membeli tiket untuk masuk.

"Mereka ingin memisahkan pelancong dari penduduk setempat," katanya, yang menambahkan bahwa kunjungannya ke Xinjiang mengonfirmasi apa yang telah dia baca tentang kamp pendidikan ulang.

"Ada banyak lagi (tentang) Xinjiang yang ingin saya temukan. Tapi saya sangat berharap bahwa Xinjiang akan menjadi Xinjiang lama," ujarnya.
(mas)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6225 seconds (0.1#10.140)