Hina Putin saat Live, Penyiar TV Georgia Picu Kemarahan
A
A
A
TBILISI - Ratusan orang berdemo di dekat gedung stasiun televisi Rustavi 2 di Tbilisi, Georgia, untuk menuntut direktur produksi Giorgi Gabunia dipecat. Gabunia telah memicu kemarahan publik setelah mengumbar hinaan terhadap Presiden Rusia Vladimir Putin saat siaran langsung atau live.
Pada hari Minggu malam, Gabunia memulai programnya "Post Scriptum" di Rustavi 2 dengan sebuah monolog tentang Putin. Gabunia yang bertindak sebagai penyiar program itu mengumbar bahasa cabul untuk menggambarkan sosok pemimpin Rusia.
Dalam acara yang disiarkan langsung itu, dia mengungkapkan keinginannya untuk "buang air besar di kuburan Putin" dan menyebut orang-orang Rusia sebagai budak. Gabunia juga melontarkan kata-kata kasar terhadap mendiang orang tua Presiden Rusia.
Ratusan demonstran yang datang melemparkan telur dan botol ke gedung stasiun televisi tersebut. Penyiar itu akhirnya mengeluarkan permintaan maaf secara resmi.
"Pertama-tama, kami meminta maaf kepada hadirin karena fakta tersebut. Kami percaya bahwa dalam situasi apa pun, seorang jurnalis harus mematuhi kebijakan editorial saluran tersebut dan persyaratan etis yang sesuai dari penyiaran berperingkat tinggi bahkan ketika mempertahankan nilai-nilai tertentu dan bahkan dalam program seorang penulis," katanya dalam sebuah pernyataan, yang diterbitkan di situs resminya pada Senin (8/7/2019).
Rustavi 2 menambahkan bahwa kata-kata jurnalis itu tidak memenuhi standar penyiar. Stasiun televisi itu juga memastikan masalah yang dibuat jurnalis tersebut akan ditangani.
"Kami percaya bahwa ekspresi Giorgi Gabunia tidak sesuai dengan standar tinggi yang ditetapkan oleh saluran kami dan badan pengawas perusahaan televisi akan membahas masalah ini," kata pihak stasiun televisi.
Menurut perusahaan, pernyataan yang kuat dan provokatif hanya dapat diterima jika mereka mematuhi norma etika penyiar dan masyarakat secara keseluruhan.
Menyusul insiden itu, Kementerian Luar Negeri Georgia telah mengecam pernyataan hinaan sang jurnalis sebagai upaya untuk memburuk hubungan yang sudah rumit antara Georgia dan Rusia.
"Kami mengutuk pernyataan (yang dibuat) oleh (jurnalis) Rustavi 2, yang tidak ada hubungannya dengan kebebasan berbicara dan merupakan provokasi murni, yang bertujuan menambah lebih banyak ketegangan pada hubungan Georgia-Rusia yang sudah rumit," kata kementerian itu dalam pernyataan yang dipublikasikan di situs resminya, seperti dikutip Sputniknews.
Kementerian juga menyerukan kepada masyarakat internasional dan semua organisasi yang berurusan dengan kebebasan media untuk memberikan tanggapan yang sesuai atas perilaku jurnalis tersebut.
Hubungan antara Rusia dan Georgia telah memburuk selama beberapa pekan terakhir setelah aksi unjuk rasa di Tbilisi pada tanggal 20 Juni terkait partisipasi delegasi Rusia dalam sesi Majelis Antarparlemen tentang Ortodoksi.
Demonstran berusaha menyerbu gedung parlemen, sambil menuntut pengunduran diri ketua parlemen dan pejabat lainnya. Demonstrasi dibubarkan oleh pasukan keamanan menggunakan gas air mata, peluru karet dan meriam air. Diperkirakan 240 orang terluka dan lebih dari 300 orang lainnya ditahan.
Sehubungan dengan protes keras anti-Rusia di Georgia, Presiden Rusia Vladimir Putin memperketat langkah-langkah keamanan nasional dan mewajibkan perusahaan penerbangan berbasis di Rusia untuk menghentikan sementara penerbangan penumpang antara Rusia dan Georgia mulai 8 Juli. Operator dan agen tur Rusia telah menangguhkan tur ke Georgia sampai larangan dicabut.
Pada hari Minggu malam, Gabunia memulai programnya "Post Scriptum" di Rustavi 2 dengan sebuah monolog tentang Putin. Gabunia yang bertindak sebagai penyiar program itu mengumbar bahasa cabul untuk menggambarkan sosok pemimpin Rusia.
Dalam acara yang disiarkan langsung itu, dia mengungkapkan keinginannya untuk "buang air besar di kuburan Putin" dan menyebut orang-orang Rusia sebagai budak. Gabunia juga melontarkan kata-kata kasar terhadap mendiang orang tua Presiden Rusia.
Ratusan demonstran yang datang melemparkan telur dan botol ke gedung stasiun televisi tersebut. Penyiar itu akhirnya mengeluarkan permintaan maaf secara resmi.
"Pertama-tama, kami meminta maaf kepada hadirin karena fakta tersebut. Kami percaya bahwa dalam situasi apa pun, seorang jurnalis harus mematuhi kebijakan editorial saluran tersebut dan persyaratan etis yang sesuai dari penyiaran berperingkat tinggi bahkan ketika mempertahankan nilai-nilai tertentu dan bahkan dalam program seorang penulis," katanya dalam sebuah pernyataan, yang diterbitkan di situs resminya pada Senin (8/7/2019).
Rustavi 2 menambahkan bahwa kata-kata jurnalis itu tidak memenuhi standar penyiar. Stasiun televisi itu juga memastikan masalah yang dibuat jurnalis tersebut akan ditangani.
"Kami percaya bahwa ekspresi Giorgi Gabunia tidak sesuai dengan standar tinggi yang ditetapkan oleh saluran kami dan badan pengawas perusahaan televisi akan membahas masalah ini," kata pihak stasiun televisi.
Menurut perusahaan, pernyataan yang kuat dan provokatif hanya dapat diterima jika mereka mematuhi norma etika penyiar dan masyarakat secara keseluruhan.
Menyusul insiden itu, Kementerian Luar Negeri Georgia telah mengecam pernyataan hinaan sang jurnalis sebagai upaya untuk memburuk hubungan yang sudah rumit antara Georgia dan Rusia.
"Kami mengutuk pernyataan (yang dibuat) oleh (jurnalis) Rustavi 2, yang tidak ada hubungannya dengan kebebasan berbicara dan merupakan provokasi murni, yang bertujuan menambah lebih banyak ketegangan pada hubungan Georgia-Rusia yang sudah rumit," kata kementerian itu dalam pernyataan yang dipublikasikan di situs resminya, seperti dikutip Sputniknews.
Kementerian juga menyerukan kepada masyarakat internasional dan semua organisasi yang berurusan dengan kebebasan media untuk memberikan tanggapan yang sesuai atas perilaku jurnalis tersebut.
Hubungan antara Rusia dan Georgia telah memburuk selama beberapa pekan terakhir setelah aksi unjuk rasa di Tbilisi pada tanggal 20 Juni terkait partisipasi delegasi Rusia dalam sesi Majelis Antarparlemen tentang Ortodoksi.
Demonstran berusaha menyerbu gedung parlemen, sambil menuntut pengunduran diri ketua parlemen dan pejabat lainnya. Demonstrasi dibubarkan oleh pasukan keamanan menggunakan gas air mata, peluru karet dan meriam air. Diperkirakan 240 orang terluka dan lebih dari 300 orang lainnya ditahan.
Sehubungan dengan protes keras anti-Rusia di Georgia, Presiden Rusia Vladimir Putin memperketat langkah-langkah keamanan nasional dan mewajibkan perusahaan penerbangan berbasis di Rusia untuk menghentikan sementara penerbangan penumpang antara Rusia dan Georgia mulai 8 Juli. Operator dan agen tur Rusia telah menangguhkan tur ke Georgia sampai larangan dicabut.
(mas)