Imam Teheran Serukan Iran Merudal Reaktor Nuklir Israel
A
A
A
TEHERAN - Seorang imam salat Jumat di Teheran menyerukan militer Iran untuk melakukan serangan rudal terhadap reaktor nuklir Dimona di Israel. Dia memperingatkan Amerika Serikat (AS) dan Israel untuk berhati-hati.
Dalam khotbah Jumat 5 Juli, imam bernama Ayatollah Mohammad Ali Movahedi Kermani atau lebih dikenal sebagai Movahedi, menyampaikan pesan kepada Washington dan Tel Aviv.
"Jika Iran memutuskan untuk menghadapi Anda, serangan rudal pada reaktor Dimona akan cukup," katanya. "Serangan akan membajak Israel 200 kali," ujarnya, seperti dikutip Radio Farda, Sabtu (6/7/2019).
Dimona adalah kota Israel di wilayah Negev, sebelah selatan Beersheba dan barat Laut Mati. Kota ini dijuluki mini-India karena komunitas Yahudi India-nya yang cukup besar. Pusat Penelitian Nuklir Shimon Peres terletak sekitar 13 kilometer di sebelah tenggara kota tersebut.
Movahedi memperingatkan Amerika Serikat dan Israel tentang kerentanan keduanya. "Anda tinggal di rumah kaca. Anda sebaiknya berhati-hati!," katanya.
Dia juga memperingatkan Amerika Serikat akan dampak serangan militer terhadap Iran. "Pikirkan serangan hanya jika Anda ingin mengubah warna perairan Teluk Persia dari biru menjadi merah," paparnya.
Di bagian lain dari khotbahnya, Movahedi mengulangi ancaman Presiden Hassan Rouhani terhadap para penandatangan perjanjian nuklir 2015 yang mengatakan; "Dari 7 Juli, kami akan memperkaya Uranium pada tingkat dan bentuk apa pun, dan dalam jumlah apa pun yang kami anggap perlu."
Meskipun Movahedi sama sekali bukan ahli nuklir, ancaman itu berarti melanggar kesepakatan nuklir yang bernama resmi Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA).
Di masa lalu, para pejabat Iran membiarkan tokoh atau pejabat yang lebih rendah membuat ancaman sembrono. Namun, pada saat yang sama para tokoh itu melindungi pejabat tinggi dari kemungkinan reaksi dan konsekuensi untuk sementara waktu, sebelum mereka menolak berkomentar atau menyalahkan pihak media dengan tuduhan "melaporkan hal yang salah".
Movahedi, yang merupakan salah satu perwakilan Pemimpin Tertinggi Ayatollah Rouhollah Khomeini untuk Korps Garda Revolusi Islam (IRGC), menyentuh masalah penangguhan beberapa kewajiban Iran di bawah JCPOA. "Iran akan terus memperkaya (uranium) untuk menghasilkan listrik dan melakukan penelitian ilmiah. Pengayaan ini bukan untuk membuat bom nuklir, yang Iran anggap tidak sah dan tidak perlu," katanya.
Dia juga meminta Presiden AS Donald Trump untuk membandingkan antara otoritas Washington dengan Teheran. "Otoritas Iran ditandai oleh kecerdasan, kreativitas dan kemanusiaan, sedangkan otoritas Amerika Serikat adalah perwujudan dari kebrutalan, kebiadaban, dan kejahatan!," ujarnya.
Tak cukup, Movahedi bahkan mengklaim pembatalan serangan AS terhadap Iran setelah IRGC menjatuhkan pesawat nirawak Washington dua minggu lalu karena risiko yang dialami Washington jauh lebih besar. "Anda melihat mayat pasukan AS di depan mata Anda, dan berkata pada diri sendiri bahwa mereka telah menghantam drone yang terbang 65.000 kaki di atas laut; 'Apa yang akan mereka lakukan pada kapal yang ada di depan mereka?'," imbuh dia.
Dalam khotbah Jumat 5 Juli, imam bernama Ayatollah Mohammad Ali Movahedi Kermani atau lebih dikenal sebagai Movahedi, menyampaikan pesan kepada Washington dan Tel Aviv.
"Jika Iran memutuskan untuk menghadapi Anda, serangan rudal pada reaktor Dimona akan cukup," katanya. "Serangan akan membajak Israel 200 kali," ujarnya, seperti dikutip Radio Farda, Sabtu (6/7/2019).
Dimona adalah kota Israel di wilayah Negev, sebelah selatan Beersheba dan barat Laut Mati. Kota ini dijuluki mini-India karena komunitas Yahudi India-nya yang cukup besar. Pusat Penelitian Nuklir Shimon Peres terletak sekitar 13 kilometer di sebelah tenggara kota tersebut.
Movahedi memperingatkan Amerika Serikat dan Israel tentang kerentanan keduanya. "Anda tinggal di rumah kaca. Anda sebaiknya berhati-hati!," katanya.
Dia juga memperingatkan Amerika Serikat akan dampak serangan militer terhadap Iran. "Pikirkan serangan hanya jika Anda ingin mengubah warna perairan Teluk Persia dari biru menjadi merah," paparnya.
Di bagian lain dari khotbahnya, Movahedi mengulangi ancaman Presiden Hassan Rouhani terhadap para penandatangan perjanjian nuklir 2015 yang mengatakan; "Dari 7 Juli, kami akan memperkaya Uranium pada tingkat dan bentuk apa pun, dan dalam jumlah apa pun yang kami anggap perlu."
Meskipun Movahedi sama sekali bukan ahli nuklir, ancaman itu berarti melanggar kesepakatan nuklir yang bernama resmi Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA).
Di masa lalu, para pejabat Iran membiarkan tokoh atau pejabat yang lebih rendah membuat ancaman sembrono. Namun, pada saat yang sama para tokoh itu melindungi pejabat tinggi dari kemungkinan reaksi dan konsekuensi untuk sementara waktu, sebelum mereka menolak berkomentar atau menyalahkan pihak media dengan tuduhan "melaporkan hal yang salah".
Movahedi, yang merupakan salah satu perwakilan Pemimpin Tertinggi Ayatollah Rouhollah Khomeini untuk Korps Garda Revolusi Islam (IRGC), menyentuh masalah penangguhan beberapa kewajiban Iran di bawah JCPOA. "Iran akan terus memperkaya (uranium) untuk menghasilkan listrik dan melakukan penelitian ilmiah. Pengayaan ini bukan untuk membuat bom nuklir, yang Iran anggap tidak sah dan tidak perlu," katanya.
Dia juga meminta Presiden AS Donald Trump untuk membandingkan antara otoritas Washington dengan Teheran. "Otoritas Iran ditandai oleh kecerdasan, kreativitas dan kemanusiaan, sedangkan otoritas Amerika Serikat adalah perwujudan dari kebrutalan, kebiadaban, dan kejahatan!," ujarnya.
Tak cukup, Movahedi bahkan mengklaim pembatalan serangan AS terhadap Iran setelah IRGC menjatuhkan pesawat nirawak Washington dua minggu lalu karena risiko yang dialami Washington jauh lebih besar. "Anda melihat mayat pasukan AS di depan mata Anda, dan berkata pada diri sendiri bahwa mereka telah menghantam drone yang terbang 65.000 kaki di atas laut; 'Apa yang akan mereka lakukan pada kapal yang ada di depan mereka?'," imbuh dia.
(mas)