40 Ton Sampah Plastik Diambil dari Samudera Pasifik
A
A
A
CALIFORNIA - Kelompok lingkungan Ocean Voyages Institute berhasil memindahkan lebih dari 40 ton sampah plastik dari Samudera Pasifik.
Menurut mereka, misi pembersihan ini merupakan yang terbesar dan paling sukses untuk membersihkan samudera hingga sekarang di Great Pacific Garbage Patch antara Hawaii dan California. Lokasi itu menjadi konsentrasi terbesar sampah mengambang di dunia.
Menggunakan teknologi satelit dan drone, para kru memindahkan berbagai sampah plastik seperti botol-botol sabun, furnitur plastik dan mainan anak. Mereka juga mengumpulkan jaring penangkap ikan yang disebut jaring hantu dengan bobot 5 ton dan jaring lainnya berbobot 8 ton. Jaring hantu merupakan jaring berukuran besar yang terbuat dari nilon atau polypropylene yang terapung dan mengumpulkan sampah plastik.
“Jaring hantu monster sangat penting untuk dikeluarkan dari samudera, kadang jaring hantu kecil membuat sejumlah paus dan lumba-lumba terperangkap dan membunuh mereka. Bahkan potongan kecil jaring itu sangat penting,” papar Mary Crowley, pendiri Ocean Voyages Institute pada CNN.
Sebanyak 1,5 ton sampah plastik itu akan diberikan pada para sarjana program seni Universitas Hawaii dan para seniman di pulau itu. Para seniman berencana mengubah sampah plastik itu menjadi berbagai patung dan karya lainnya. Sampah plastik sisanya akan diproses oleh Schnitzer Steel dan dikirim ke pembangkit listrik H-POWER di Hawaii untuk diubah menjadi listrik.
Sampah sebanyak 40 ton mungkin terlihat banyak karena setara dengan bobot sekitar 24 mobil atau 6,5 gajah dewasa.
Namun ekspredisi pembersihan laut selama 25 hari itu tampaknya masih terlalu cepat berakhir. Diperkirakan ada 1,15 hingga 2,41 juta ton sampah plastik yang masuk ke samudera setiap tahun.
“Apa yang telah kami lakukan di sini kecil dibandingkan besarnya masalah, tapi ini dapat diukur dan dapat diperluas,” tutur Crowley.
Dia menambahkan, “Apa yang telah kami lakukan telah menyelamatkan banyak ikan, lumba-lumba dan paus. Ini bukti nyata konsep untuk mencari sampah dan secara efektif serta efisien mengambil dan membawanya, setelah itu didaur ulang.”
“Kumpulan sampah di samudera Pasifik itu terbentuk oleh putaran arus laut yang disebut pilin, yang menarik benda-benda ke satu lokasi,” papar pernyataan Badan Samudera dan Atmosfer Nasional (NOAA).
Lokasi sampah yang mengapung di samudera itu membahayakan kehidupan liar saat binatang dapat terjebak sampah atau menelan sampah itu. “Bahan yang terbuat dari plastik dan sampah lain membutuhkan waktu sangat lama untuk terurai,” ungkap NOAA.
Crowley menjelaskan, kelompoknya merencanakan ekspedisi lebih lama sekitar tiga bulan di masa depan dan berharap lembaga lain dapat mengikuti langkah ini.
Sementara, para aktivis menyambut target yang ditetapkan negara-negara anggota G20 untuk mengurangi tambahan sampah plastik yang masuk ke samudera menjadi nol pada 2050. Meski demikian, negara-negara G20 tidak menyentuh inti masalah yakni memangkas output plastik sekali pakai.
Para aktivis juga menyatakan tanggal target itu terlalu jauh dan membatasi langkah G20 itu bersifat sukarela, tidak mengikat secara hukum, sehingga membatasi efektivitasnya. “Ini arah bagus. Tapi mereka terlalu fokusp ada manajemen sampah,” papar Yukihiro Misawa, manajer kebijakan plastik di WWF Jepang.
“Hal paling penting adalah mengurangi jumlah produksi pada level global,” kata Misawa.
Dunia menghasilkan 242 juta ton sampah plastik pada 2016, menurut data Bank Dunia. Sekitar 8 juta plastik itu masuk ke lautan setiap tahun. China dan Indonesia disebut sebagai pelaku terbesar menurut studi yang dirilis dalam jurnal Science. (Syarifudin)
Menurut mereka, misi pembersihan ini merupakan yang terbesar dan paling sukses untuk membersihkan samudera hingga sekarang di Great Pacific Garbage Patch antara Hawaii dan California. Lokasi itu menjadi konsentrasi terbesar sampah mengambang di dunia.
Menggunakan teknologi satelit dan drone, para kru memindahkan berbagai sampah plastik seperti botol-botol sabun, furnitur plastik dan mainan anak. Mereka juga mengumpulkan jaring penangkap ikan yang disebut jaring hantu dengan bobot 5 ton dan jaring lainnya berbobot 8 ton. Jaring hantu merupakan jaring berukuran besar yang terbuat dari nilon atau polypropylene yang terapung dan mengumpulkan sampah plastik.
“Jaring hantu monster sangat penting untuk dikeluarkan dari samudera, kadang jaring hantu kecil membuat sejumlah paus dan lumba-lumba terperangkap dan membunuh mereka. Bahkan potongan kecil jaring itu sangat penting,” papar Mary Crowley, pendiri Ocean Voyages Institute pada CNN.
Sebanyak 1,5 ton sampah plastik itu akan diberikan pada para sarjana program seni Universitas Hawaii dan para seniman di pulau itu. Para seniman berencana mengubah sampah plastik itu menjadi berbagai patung dan karya lainnya. Sampah plastik sisanya akan diproses oleh Schnitzer Steel dan dikirim ke pembangkit listrik H-POWER di Hawaii untuk diubah menjadi listrik.
Sampah sebanyak 40 ton mungkin terlihat banyak karena setara dengan bobot sekitar 24 mobil atau 6,5 gajah dewasa.
Namun ekspredisi pembersihan laut selama 25 hari itu tampaknya masih terlalu cepat berakhir. Diperkirakan ada 1,15 hingga 2,41 juta ton sampah plastik yang masuk ke samudera setiap tahun.
“Apa yang telah kami lakukan di sini kecil dibandingkan besarnya masalah, tapi ini dapat diukur dan dapat diperluas,” tutur Crowley.
Dia menambahkan, “Apa yang telah kami lakukan telah menyelamatkan banyak ikan, lumba-lumba dan paus. Ini bukti nyata konsep untuk mencari sampah dan secara efektif serta efisien mengambil dan membawanya, setelah itu didaur ulang.”
“Kumpulan sampah di samudera Pasifik itu terbentuk oleh putaran arus laut yang disebut pilin, yang menarik benda-benda ke satu lokasi,” papar pernyataan Badan Samudera dan Atmosfer Nasional (NOAA).
Lokasi sampah yang mengapung di samudera itu membahayakan kehidupan liar saat binatang dapat terjebak sampah atau menelan sampah itu. “Bahan yang terbuat dari plastik dan sampah lain membutuhkan waktu sangat lama untuk terurai,” ungkap NOAA.
Crowley menjelaskan, kelompoknya merencanakan ekspedisi lebih lama sekitar tiga bulan di masa depan dan berharap lembaga lain dapat mengikuti langkah ini.
Sementara, para aktivis menyambut target yang ditetapkan negara-negara anggota G20 untuk mengurangi tambahan sampah plastik yang masuk ke samudera menjadi nol pada 2050. Meski demikian, negara-negara G20 tidak menyentuh inti masalah yakni memangkas output plastik sekali pakai.
Para aktivis juga menyatakan tanggal target itu terlalu jauh dan membatasi langkah G20 itu bersifat sukarela, tidak mengikat secara hukum, sehingga membatasi efektivitasnya. “Ini arah bagus. Tapi mereka terlalu fokusp ada manajemen sampah,” papar Yukihiro Misawa, manajer kebijakan plastik di WWF Jepang.
“Hal paling penting adalah mengurangi jumlah produksi pada level global,” kata Misawa.
Dunia menghasilkan 242 juta ton sampah plastik pada 2016, menurut data Bank Dunia. Sekitar 8 juta plastik itu masuk ke lautan setiap tahun. China dan Indonesia disebut sebagai pelaku terbesar menurut studi yang dirilis dalam jurnal Science. (Syarifudin)
(nfl)