Amerika Serikat-China Mulai Kendurkan Perang Dagang

Minggu, 30 Juni 2019 - 09:47 WIB
Amerika Serikat-China...
Amerika Serikat-China Mulai Kendurkan Perang Dagang
A A A
OSAKA - Ketegangan perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China sedikit mengendur setelah kedua pemimpin negara bertemu di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20 di Osaka, Jepang, kemarin. Kedua raksasa ekonomi dunia itu sepakat akan merundingkan kembali isu perang dagang yang telah membuat tatanan perekonomian global mengalami guncangan.

Seusai pertemuan tersebut Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping menegaskan akan mengurangi ketegangan atas perang dagang dengan meningkatkan kerja sama lebih lanjut. “Kami telah mendiskusikan banyak hal dan akan kembali ke rencana awal,” ujar Trump kepada awak media seperti dikutip The New York Times. Pernyataan tersebut diharapkan dapat meredam dampak perang dagang antarkedua negara yang telah berlangsung setahun lebih.

Selama itu AS dan China bersitegang dan saling menetapkan tarif impor yang berdampak pada terganggunya perdagangan kedua negara. Tak hanya itu, perang dagang juga telah menyebabkan korporasi di kedua negara mengeluarkan protes karena merasa dirugikan. “Pemerintah AS tidak akan menjatuhkan tarif baru terhadap barang ekspor dari China selama perundingan berlangsung. China akan kembali membeli produk dari AS,” kata Trump.

Dengan demikian penerapan tarif 25% terhadap barang China senilai USD300 miliar akan ditunda. Sekitar tujuh pekan yang lalu, negosiasi untuk mengakhiri perang dagang telah menemui titik buntu dan memanas. Saat itu Pemerintah China tidak dapat menerima sebagian ketentuan yang ditetapkan Pemerintah AS.

Dalam pertemuan terbaru di Jepang, Trump bahkan mencabut larangan transaksi perusahaan AS dengan perusahaan raksasa telekomunikasi asal China, Huawei. Larangan bertransaksi dengan Huawei tersebut sempat memicu keresahan para produsen China lainnya karena merasa diperlakukan tidak adil. “Perusahaan AS dapat kembali menjual produknya kepada Huawei,” kata Trump.

Pada Mei lalu Pemerintah AS memasukkan Huawei ke dalam daftar hitam dan melarang perusahaan AS bertransaksi dengan Huawei tanpa seizin Pemerintah AS. Kebijakan itu tidak hanya merugikan Huawei, tetapi juga perusahaan AS. Huawei menyambut baik keputusan itu. Sebelumnya pendiri dan CEO Huawei, Ren Zhengfei, mengatakan Google akan kehilangan 700 juta-800 juta penggunanya jika kerja sama kedua perusahaan dihentikan.

Hal itu berkaitan dengan rencana pencabutan lisensi Android smartphone Huawei pada Agustus 2019. Zhengfei menambahkan, perusahaannya tidak berniat beralih dari produk Google. Namun Huawei akan membuat sistem operasi (OS) sendiri jika tidak memiliki pilihan lain. HongMeng atau Oak OS dilaporkan siap dirilis pada akhir tahun ini dan dapat digunakan pada berbagai perangkat, mulai dari smartphone hingga PC.

Perdana Menteri (PM) Jepang Shinzo Abe juga menyampaikan perlunya kebijakan perdagangan yang bebas, adil, dan tidak diskriminatif serta penurunan ketegangan perang dagang. “Ekonomi global terus menghadapi risiko penurunan akibat ketegangan perdagangan masih terus berlanjut,” kata Abe selama KTT G-20. Seperti disampaikan Abe, para pemimpin negara anggota G-20 juga sepakat untuk mengakhiri proteksionisme dan memilih untuk menerapkan perdagangan bebas, adil, dan transparan.

Pertumbuhan ekonomi global berlangsung rendah dan berisiko mengalami krisis akibat ketegangan geopolitik dan perdagangan. “Kami perlu tetap membuka pasar agar perdagangan stabil dan menciptakan lingkungan investasi yang sehat,” ungkap G-20 dalam keterangan gabungan seperti dilansir Reuters. Presiden Rusia Vladimir Putin juga mengatakan semua negara anggota beraspirasi untuk bekerja lebih keras meningkatkan sistem perdagangan.

Senada dengan Rusia, Uni Eropa dan Amerika Selatan juga menyepakati traktat perdagangan bebas dan pasar terbuka serta mengakhiri proteksionisme. Managing Director Dana Moneter Internasional (IMF) Christine Lagarde mengatakan, ekonomi global “terluka” akibat perang dagang dan perlunya perubahan kebijakan.

“Pemulihan perundingan perdagangan antara AS dan China saya sambut dengan baik, tapi penerapan tarif yang telanjur diimplementasikan menghalangi pertumbuhan ekonomi global. Permasalahan yang tidak kunjung usai juga menciptakan ketidakpastian di masa yang akan datang,” kata Lagarde.

Hindari Proteksionisme

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, para pemimpin negara-negara G-20 yang hadir pada pertemuan di Osaka, Jepang, juga menginginkan adanya reformasi di dalam World Trade Organization (WTO).

Reformasi ini terutama soal investasi dan perdagangan sebagai upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi global. Menurut dia, investasi dan perdagangan menjadi isu sangat penting karena menyangkut bagian dari kebijakan ekonomi negaranegara anggota G-20 yang bisa memengaruhi pertumbuhan ekonomi secara global.

“Semua sepakat bahwa kita perlu melakukan reformasi. Hampir semua pihak mengatakan perlu adanya upaya menghilangkan atau mengurangi ketegangan perdagangan internasional, tapi belum ada kesepakatan tentang bagaimana cara mencapainya,” ujar Sri Mulyani dalam keterangan resminya. Sri Mulyani menceritakan bahwa untuk menyelesaikan sengketa perdagangan, para pemimpin yang hadir menginginkan adanya reformasi di WTO.

“Mungkin penekanannya berbeda-beda, tapi yang paling penting reformasi WTO mengenai dispute settlement (penyelesaian perselisihan), dibentuk mekanisme untuk menangani dispute settlement,” jelasnya. Kedua, menurut dia, menangani berbagai kebijakan multilateral yang kerap menimbulkan kekacauan (distorsi). Tepatnya bagaimana membentuk penyelesaian perbedaan sehingga tercipta praktik perdagangan yang adil.

“Saya rasa yang paling penting adalah masalah itu,” tambahnya. Pengamat ekonomi Asian Development Bank Institute (ADBI) Eric Sugandi mengatakan reformasi WTO diperlukan karena selama ini masih banyak kendala dalam liberalisasi perdagangan internasional. Saat ini, menurut dia, banyak negara anggota WTO yang menetapkan kebijakan perdagangan proteksionis yang bisa berujung saling balas dan merugikan pelaku ekonomi.

“Saat ini kita bisa lihat pada kasus perang dagang ASChina. China menerapkan kebijakan state capitalism dengan mendukung perusahaan-perusahaan mereka, termasuk BUMN, agar kompetitif di pasar internasional dengan berbagai macam subsidi dan insentif,” ujar Eric. Praktik ini dianggap melanggar prinsip-prinsip perdagangan bebas oleh AS.

Sementara AS sendiri makin proteksionis di bawah Trump. Dia menilai, pertemuan G-20 harus diakui bersifat politis dan komunike yang dikeluarkan juga tidak mengikat. Ekonom BNI Kiryanto sepakat dengan komunike G- 20 mengenai reformasi struktural di WTO atas reformasi kelembagaan di WTO serta bidang investasi dan perdagangan. Menurutnya, WTO harus direformasi sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan global.

Sementara reformasi bidang investasi dan perdagangan dimaksudkan untuk merespons isu-isu tentang trade war, proteksionisme, populisme, dumping, restriksi investasi, dan daya saing investasi (Global Competitiveness Rank 2019). “Ada harapan 50% terwujud karena bergantung pada political will AS, Donald Trump, dan Rusia Vladimir Putin yang mendominasi WTO. Walaupun ada kemungkinan reformasi G-20, butuh waktu yang panjang. Karena setiap negara ingin menjadi pemain dominan di ekonomi global,” ujar Kiryanto.
(don)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1022 seconds (0.1#10.140)