Laporan Investigasi: Ribuan Wanita Korut Dijadikan Budak Seks di China
A
A
A
LONDON - Sebuah laporan investigasi mengiungkap ribuan wanita dan gadis Korea Utara (Korut) sedang diperdagangkan dan dijual sebagai budak seksual di China. Sebagian dari mereka dijual sebagai istri kepada pria China dan lainnya dipaksa menjadi pelacur.
Laporan investigasi ini dirilis oleh Korea Future Initiative (KFI) yang berbasis di London. Ada yang mengejutkan dari laporan ini, yakni tentang gadis-gadis berumur 12 tahun yang diperkosa dan wanita dipaksa untuk berpartisipasi dalam seks siber (cybersex) selama berhari-hari tanpa makan.
Meskipun para pembelot wanita Korut telah lama menjadi target sindikat pedagang manusia, namun masalahnya telah diperburuk dalam beberapa tahun terakhir karena menurut laporan itu lonjakan permintaan terjadi di China.
Kementerian Luar Negeri China belum bersedia menanggapi permintaan komentar terkait laporan tersebut.
Tidak ada statistik resmi tentang jumlah warga Korea Utara yang meninggalkan negara itu dan menetap di luar Korea Selatan. Menurut data PBB 2014, kelompok-kelompok bantuan sosial telah melaporkan bahwa puluhan ribu warga Korea Utara tinggal di China sebagai pengungsi. KFI mengklaim jumlahnya bisa mencapai 200.000 orang.
KFI—sebuah organisasi nirlaba yang berfokus pada wanita, anak-anak dan minoritas Korea Utara yang menjadi korban pelanggaran hak asasi manusia—memperkirakan bahwa sebanyak 60 persen dari pengungsi perempuan Korea Utara di China diperdagangkan ke dalam bisnis seks.
"Pada saat modal global yang signifikan diinvestasikan di China dan, baru-baru ini, modal politik dikeluarkan di Korea Utara, itu adalah tuduhan yang memberatkan bahwa perempuan dan gadis Korea Utara dibiarkan mendekam dalam perdagangan seks," kata organisasi tersebut dalam laporannya, dikutip CNN, Selasa (21/5/2019).
"Kecaman tidak cukup. Hanya tindakan nyata yang dapat membongkar perdagangan seks China, menghadapi rezim Korea Utara yang membenci wanita, dan menyelamatkan budak seks yang tersebar di rumah pelacuran, kota-kota terpencil, dan sarang cybersex di daratan China," lanjut organisasi tersebut.
SINDOnews.com belum bisa memverifikasi klaim laporan KFI secara independen, terlebih pemerintah Korea Utara yang dipimpin Kim Jong-un dikenal tertutup untuk akses media asing.
Laporan setebal 98 halaman dari Human Rights Watch yang diterbitkan pada bulan November mencapai kesimpulan yang sama dengan KFI mengenai risiko yang dihadapi para pembelot wanita.
Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS) juga mengakui laporan kekerasan terhadap pembelot wanita dalam laporan tahun 2018 tentang praktik hak asasi manusia di Korea Utara.
KFI mengaku membutuhkan waktu dua tahun untuk mengompilasikan laporannya. Para penulis dari organisasi itu mengatakan bahwa mereka mewawancarai lebih dari 45 orang yang selamat dan korban kekerasan seksual yang kesaksiannya menyatukan "industri gelap yang saling berhubungan dan kompleks yang menghasilkan keuntungan besar dari para perempuan dan gadis yang diperdagangkan".
Warga Korea Utara yang melarikan diri melintasi perbatasan ke China mempertaruhkan nyawa mereka untuk melakukannya. Mereka tidak bebas meninggalkan negaranya dan dihukum berat jika mereka melakukannya tanpa izin. Negara ini dipisahkan dari China dan Rusia oleh sungai dan penjaga bersenjata.
Jika para pembelot berhasil masuk ke China tetapi kemudian ditangkap, mereka dipulangkan secara paksa, karena China menganggap mereka sebagai migran ekonomi daripada pengungsi yang melarikan diri dari penganiayaan. Menurut para pembelot dan organisasi hak asasi manusia, para warga Korea Utara yang dikembalikan menghadapi hukuman berat, penyiksaan dan bahkan eksekusi.
Laporan investigasi ini dirilis oleh Korea Future Initiative (KFI) yang berbasis di London. Ada yang mengejutkan dari laporan ini, yakni tentang gadis-gadis berumur 12 tahun yang diperkosa dan wanita dipaksa untuk berpartisipasi dalam seks siber (cybersex) selama berhari-hari tanpa makan.
Meskipun para pembelot wanita Korut telah lama menjadi target sindikat pedagang manusia, namun masalahnya telah diperburuk dalam beberapa tahun terakhir karena menurut laporan itu lonjakan permintaan terjadi di China.
Kementerian Luar Negeri China belum bersedia menanggapi permintaan komentar terkait laporan tersebut.
Tidak ada statistik resmi tentang jumlah warga Korea Utara yang meninggalkan negara itu dan menetap di luar Korea Selatan. Menurut data PBB 2014, kelompok-kelompok bantuan sosial telah melaporkan bahwa puluhan ribu warga Korea Utara tinggal di China sebagai pengungsi. KFI mengklaim jumlahnya bisa mencapai 200.000 orang.
KFI—sebuah organisasi nirlaba yang berfokus pada wanita, anak-anak dan minoritas Korea Utara yang menjadi korban pelanggaran hak asasi manusia—memperkirakan bahwa sebanyak 60 persen dari pengungsi perempuan Korea Utara di China diperdagangkan ke dalam bisnis seks.
"Pada saat modal global yang signifikan diinvestasikan di China dan, baru-baru ini, modal politik dikeluarkan di Korea Utara, itu adalah tuduhan yang memberatkan bahwa perempuan dan gadis Korea Utara dibiarkan mendekam dalam perdagangan seks," kata organisasi tersebut dalam laporannya, dikutip CNN, Selasa (21/5/2019).
"Kecaman tidak cukup. Hanya tindakan nyata yang dapat membongkar perdagangan seks China, menghadapi rezim Korea Utara yang membenci wanita, dan menyelamatkan budak seks yang tersebar di rumah pelacuran, kota-kota terpencil, dan sarang cybersex di daratan China," lanjut organisasi tersebut.
SINDOnews.com belum bisa memverifikasi klaim laporan KFI secara independen, terlebih pemerintah Korea Utara yang dipimpin Kim Jong-un dikenal tertutup untuk akses media asing.
Laporan setebal 98 halaman dari Human Rights Watch yang diterbitkan pada bulan November mencapai kesimpulan yang sama dengan KFI mengenai risiko yang dihadapi para pembelot wanita.
Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS) juga mengakui laporan kekerasan terhadap pembelot wanita dalam laporan tahun 2018 tentang praktik hak asasi manusia di Korea Utara.
KFI mengaku membutuhkan waktu dua tahun untuk mengompilasikan laporannya. Para penulis dari organisasi itu mengatakan bahwa mereka mewawancarai lebih dari 45 orang yang selamat dan korban kekerasan seksual yang kesaksiannya menyatukan "industri gelap yang saling berhubungan dan kompleks yang menghasilkan keuntungan besar dari para perempuan dan gadis yang diperdagangkan".
Warga Korea Utara yang melarikan diri melintasi perbatasan ke China mempertaruhkan nyawa mereka untuk melakukannya. Mereka tidak bebas meninggalkan negaranya dan dihukum berat jika mereka melakukannya tanpa izin. Negara ini dipisahkan dari China dan Rusia oleh sungai dan penjaga bersenjata.
Jika para pembelot berhasil masuk ke China tetapi kemudian ditangkap, mereka dipulangkan secara paksa, karena China menganggap mereka sebagai migran ekonomi daripada pengungsi yang melarikan diri dari penganiayaan. Menurut para pembelot dan organisasi hak asasi manusia, para warga Korea Utara yang dikembalikan menghadapi hukuman berat, penyiksaan dan bahkan eksekusi.
(mas)