Cerita Horor 'Peti Mati' Nuklir di Pasifik yang Ditakutkan Bocor
A
A
A
SUVA - Pada pukul 06.45 pagi tanggal 1 Maret 1954, langit biru yang membentang di atas Samudra Pasifik tengah terbelah oleh kilatan merah besar.
Dalam hitungan detik, awan jamur menjulang setinggi 4,5 mil di atas Bikini Atoll di Kepulauan Marshall. Awan jamur itu adalah ledakan bom hidrogen pertama pemerintah Amerika Serikat. Kekuatannya, 1.000 kali lebih kuat dari ledakan bom atom "Litle Boy" yang meratakan Hiroshima, Jepang.
Para ilmuwan telah meremehkan ukuran kekuatan bom hidrogen tersebut, yang kemudian dikenal sebagai tes "Castle Bravo". Tes senjata mengerikan itu menghasilkan ledakan yang 2,5 kali lebih besar dari yang diperkirakan. Abu radioaktif turun lebih dari 7.000 mil persegi dari lokasi bom dan berdampak pada pulau-pulau berpenghuni di dekatnya.
"Dalam beberapa jam, atol ditutupi dengan zat halus, putih, seperti bubuk," kata Menteri Kesehatan Kepulauan Marshall, dalam kesaksiannya yang dipublikasikan Atomic Heritage Foundation.
"Tidak ada yang tahu itu adalah jatuhnya radioaktif. Anak-anak bermain 'salju'. Mereka memakannya," ujarnya.
Ledakan tahun 1954 adalah bagian dari uji coba senjata nuklir yang dilakukan ketika militer Amerika memasuki era nuklir. Dari tahun 1946 hingga 1958, 67 uji coba nuklir AS menghancurkan terumbu karang dan pulau-pulau Pasifik tengah yang tenang. Tekanan internasional akhirnya menghentikan tes senjata tersebut, tetapi kerusakan telah terjadi—dan berlanjut hingga hari ini.
Itulah pesan yang ditegaskan kembali oleh Sekretaris Jenderal PBB António Guterres tentang turnya di kepulauan Pasifik baru-baru ini untuk membahas perubahan iklim. Ketika berada di Fiji pada hari Kamis lalu, ia mengatakan kepada orang banyak tentang jenis "peti mati" nuklir besar yang dibangun oleh Amerika Serikat di Kepulauan Marshall untuk menampung puing-puing radioaktif mematikan dari tahun 1980-an.
Namun, struktur "peti mati" yang berwujud kubah beton tersebut tidak pernah dimaksudkan untuk bertahan lama. Hari ini, karena kerusakan dan pasang naiknya air laut, kubah beton itu sangat rentan. Badai yang kuat bisa menghancurkannya dan melepaskan warisan mematikan kekuatan nuklir Amerika.
"Saya baru saja dengan presiden Kepulauan Marshall (Hilda Heine), yang sangat khawatir karena ada risiko bocornya bahan radioaktif yang terkandung dalam semacam peti mati di daerah itu," kata Guterres di Fiji.
"Peti mati" yang diceritakan Guterres adalah produk dari respons Amerika Serikat yang terlambat untuk uji coba senjata nuklirnya tahun 1940-an dan 1950-an. Dimulai pada tahun 1977, Badan Nuklir Pertahanan memulai pembersihan berkelanjutan dari puing-puing nuklir yang tersisa di Enewetak Atoll, sebuah cincin tipis pulau-pulau karang di sudut barat laut Kepulauan Marshall.
Enewetak Atoll menjadi sasaran ledakan berulang selama pengujian senjata nuklir, dan penduduk dipaksa untuk pindah sebelum ledakan dimulai. Mulai tahun 1977, 4.000 anggota layanan AS mulai mengumpulkan sekitar 73.000 meter kubik (2,58 juta kaki kubik) tanah yang tercemar di seluruh pulau. Data itu berasal dari pemerintah Kepulauan Marshall.
Bahan itu kemudian diangkut ke Pulau Runit, di mana ada kawah 328 kaki dari ledakan uji senjata Mei 1958. Selama tiga tahun, militer Amerika membuang material itu ke dalam kawah. Enam pria dilaporkan meninggal selama bekerja. Menurut laporan The Guadrian, warga setempat menyebut kawah itu sebagai “Makam".
Pada tahun 1980, sebuah kubah beton besar—setebal 18 inci dan berbentuk seperti piring terbang— ditempatkan di atas puing-puing yang runtuh, dan menutup material di Runit. Kubah inilah yang dimaksud sebagai "peti mati" nuklir. Tetapi proyek senilai USD218 juta seharusnya bersifat sementara sampai situs yang lebih permanen dikembangkan. Faktanya, tidak ada rencana lebih lanjut yang pernah diwujudkan.
Pada tahun 1983, Kepulauan Marshall menandatangani perjanjian bebas dengan Amerika Serikat, yang memberikan negara pulau itu hak untuk memerintah sendiri. Namun kesepakatan itu juga menyelesaikan "semua klaim, masa lalu, sekarang, dan masa depan" terkait dengan uji coba nuklir dan meninggalkan kubah itu di bawah pengawasan pemerintah Kepulauan Marshall.
Menurut laporan 2017 oleh Australian Broadcasting Corporation (ABC), dampaknya termasuk plutonium-239, isotop—yang merupakan salah satu zat paling beracun di dunia—dan radioaktif.
Masalah dari "peti mati" itu saat ini adalah material di dalamnya. Itu masih ada di sana.
"Kubah itu adalah hubungan antara zaman nuklir dan zaman perubahan iklim," kata aktivis perubahan iklim Alson Kelen kepada penyiar Australia.
Kubah itu dilaporkan mulai ada celah. Bagian dari ancaman adalah bahwa kawah tidak pernah dilapisi dengan benar, artinya naiknya air laut dapat merusak integritas struktural.
"Bagian bawah kubah adalah apa yang ditinggalkan oleh ledakan senjata nuklir," kata Michael Gerrard, ketua Earth Institute Columbia University, kepada ABC. "Ini adalah tanah yang permeabel. Tidak ada upaya untuk mengaturnya. Dan karena itu, air laut ada di dalam kubah."
Dalam hitungan detik, awan jamur menjulang setinggi 4,5 mil di atas Bikini Atoll di Kepulauan Marshall. Awan jamur itu adalah ledakan bom hidrogen pertama pemerintah Amerika Serikat. Kekuatannya, 1.000 kali lebih kuat dari ledakan bom atom "Litle Boy" yang meratakan Hiroshima, Jepang.
Para ilmuwan telah meremehkan ukuran kekuatan bom hidrogen tersebut, yang kemudian dikenal sebagai tes "Castle Bravo". Tes senjata mengerikan itu menghasilkan ledakan yang 2,5 kali lebih besar dari yang diperkirakan. Abu radioaktif turun lebih dari 7.000 mil persegi dari lokasi bom dan berdampak pada pulau-pulau berpenghuni di dekatnya.
"Dalam beberapa jam, atol ditutupi dengan zat halus, putih, seperti bubuk," kata Menteri Kesehatan Kepulauan Marshall, dalam kesaksiannya yang dipublikasikan Atomic Heritage Foundation.
"Tidak ada yang tahu itu adalah jatuhnya radioaktif. Anak-anak bermain 'salju'. Mereka memakannya," ujarnya.
Ledakan tahun 1954 adalah bagian dari uji coba senjata nuklir yang dilakukan ketika militer Amerika memasuki era nuklir. Dari tahun 1946 hingga 1958, 67 uji coba nuklir AS menghancurkan terumbu karang dan pulau-pulau Pasifik tengah yang tenang. Tekanan internasional akhirnya menghentikan tes senjata tersebut, tetapi kerusakan telah terjadi—dan berlanjut hingga hari ini.
Itulah pesan yang ditegaskan kembali oleh Sekretaris Jenderal PBB António Guterres tentang turnya di kepulauan Pasifik baru-baru ini untuk membahas perubahan iklim. Ketika berada di Fiji pada hari Kamis lalu, ia mengatakan kepada orang banyak tentang jenis "peti mati" nuklir besar yang dibangun oleh Amerika Serikat di Kepulauan Marshall untuk menampung puing-puing radioaktif mematikan dari tahun 1980-an.
Namun, struktur "peti mati" yang berwujud kubah beton tersebut tidak pernah dimaksudkan untuk bertahan lama. Hari ini, karena kerusakan dan pasang naiknya air laut, kubah beton itu sangat rentan. Badai yang kuat bisa menghancurkannya dan melepaskan warisan mematikan kekuatan nuklir Amerika.
"Saya baru saja dengan presiden Kepulauan Marshall (Hilda Heine), yang sangat khawatir karena ada risiko bocornya bahan radioaktif yang terkandung dalam semacam peti mati di daerah itu," kata Guterres di Fiji.
"Peti mati" yang diceritakan Guterres adalah produk dari respons Amerika Serikat yang terlambat untuk uji coba senjata nuklirnya tahun 1940-an dan 1950-an. Dimulai pada tahun 1977, Badan Nuklir Pertahanan memulai pembersihan berkelanjutan dari puing-puing nuklir yang tersisa di Enewetak Atoll, sebuah cincin tipis pulau-pulau karang di sudut barat laut Kepulauan Marshall.
Enewetak Atoll menjadi sasaran ledakan berulang selama pengujian senjata nuklir, dan penduduk dipaksa untuk pindah sebelum ledakan dimulai. Mulai tahun 1977, 4.000 anggota layanan AS mulai mengumpulkan sekitar 73.000 meter kubik (2,58 juta kaki kubik) tanah yang tercemar di seluruh pulau. Data itu berasal dari pemerintah Kepulauan Marshall.
Bahan itu kemudian diangkut ke Pulau Runit, di mana ada kawah 328 kaki dari ledakan uji senjata Mei 1958. Selama tiga tahun, militer Amerika membuang material itu ke dalam kawah. Enam pria dilaporkan meninggal selama bekerja. Menurut laporan The Guadrian, warga setempat menyebut kawah itu sebagai “Makam".
Pada tahun 1980, sebuah kubah beton besar—setebal 18 inci dan berbentuk seperti piring terbang— ditempatkan di atas puing-puing yang runtuh, dan menutup material di Runit. Kubah inilah yang dimaksud sebagai "peti mati" nuklir. Tetapi proyek senilai USD218 juta seharusnya bersifat sementara sampai situs yang lebih permanen dikembangkan. Faktanya, tidak ada rencana lebih lanjut yang pernah diwujudkan.
Pada tahun 1983, Kepulauan Marshall menandatangani perjanjian bebas dengan Amerika Serikat, yang memberikan negara pulau itu hak untuk memerintah sendiri. Namun kesepakatan itu juga menyelesaikan "semua klaim, masa lalu, sekarang, dan masa depan" terkait dengan uji coba nuklir dan meninggalkan kubah itu di bawah pengawasan pemerintah Kepulauan Marshall.
Menurut laporan 2017 oleh Australian Broadcasting Corporation (ABC), dampaknya termasuk plutonium-239, isotop—yang merupakan salah satu zat paling beracun di dunia—dan radioaktif.
Masalah dari "peti mati" itu saat ini adalah material di dalamnya. Itu masih ada di sana.
"Kubah itu adalah hubungan antara zaman nuklir dan zaman perubahan iklim," kata aktivis perubahan iklim Alson Kelen kepada penyiar Australia.
Kubah itu dilaporkan mulai ada celah. Bagian dari ancaman adalah bahwa kawah tidak pernah dilapisi dengan benar, artinya naiknya air laut dapat merusak integritas struktural.
"Bagian bawah kubah adalah apa yang ditinggalkan oleh ledakan senjata nuklir," kata Michael Gerrard, ketua Earth Institute Columbia University, kepada ABC. "Ini adalah tanah yang permeabel. Tidak ada upaya untuk mengaturnya. Dan karena itu, air laut ada di dalam kubah."
(mas)