PBB Rilis Data Terbaru, Umat Dunia Didominasi Lansia
A
A
A
NEW YORK - Dunia kian menua. Hal ini terbukti di muka saat ini lebih banyak orang lanjut usia (lansia) dibandingkan anak muda. Catatan ini merupakan kali pertama dalam sejarah umat manusia. Data terbaru yang dirilis Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) itu menunjukkan jumlah warga berusia di atas 65 tahun melebihi jumlah warga berusia di bawah lima tahun pada akhir 2018.
Sekarang ada sekitar 705 juta orang berumur lebih dari 65 tahun, dan mereka yang berusia 0–4 tahun hanya sekitar 680 juta jiwa. Kondisi ini diperkirakan akan terus berlanjut. Pada 2050 diperkirakan lebih dari dua orang berumur lebih dari 65 tahun untuk tiap satu warga berumur 0–4 tahun.
Semakin melebarnya kesenjangan ini menjadi simbol tren yang telah dilacak puluhan tahun oleh para pakar demografi, yakni sebagian besar negara warganya hidup lebih lama dan tidak memiliki cukup bayi. Namun, kondisi ini tidak berlaku untuk Indonesia.
Berdasarkan survei penduduk antar sensus (Supas) 2015, jumlah penduduk Indonesia yang berusia 4 tahun ke bawah pada 2019 diproyeksikan jauh lebih besar dibanding usia 65 tahun ke atas, yakni sekitar 22 juta orang berbanding 17 juta orang. Jumlah penduduk produktif-kelompok umur 15-64 tahun–juga sangat besar, yakni mencapai 183,36 juta jiwa atau 68,7% dari total populasi.
“Akan ada sangat sedikit anak dan banyak orang berumur lebih dari 65 tahun dan itu menjadikan sangat sulit untuk menjaga masyarakat global,” papar Direktur Institut Evaluasi dan Metrik Kesehatan Universitas Washington Christopher Murray, dilansir BBC.
Murray juga menulis laporan 2018 yang menyatakan bahwa hampir setengah dari semua negara di dunia menghadapi “baby bust”, yang berarti tidak cukup anak untuk menjaga ukuran populasi. “Pikirkan semua konsekuensi sosial dan ekonomi untuk masyarakat dengan lebih banyak kakek dibandingkan cucu,” ungkap dia.
Pada 1960, tingkat kesuburan dunia hampir lima anak per satu wanita, menurut data Bank Dunia. Hampir 60 tahun kemudian jumlah itu hanya setengahnya menjadi 2,4 anak per wanita. Bersamaan itu, kemajuan sosial ekonomi menguntungkan mereka yang ada di dunia.
Pada 1960, orang hidup dengan rata-rata lebih dari 52 tahun, saat ini umur harapan hidup mencapai 72 tahun pada 2017. Itu berarti semua orang hidup lebih lama dan menuntut lebih banyak lagi sumber daya saat kita semakin tua. Kondisi itu menambah tekanan di berbagai bidang seperti sistem pensiun dan kesehatan.
Masalah populasi menua itu semakin besar di negara-negara maju. Mereka cenderung memiliki tingkat kelahiran bayi yang lebih rendah untuk alasan yang sebagian terkait ekonomi, serta tingkat kematian anak yang semakin rendah, kontrol kelahiran yang semakin mudah didapat, dan membesarkan anak menjadi relatif lebih mahal biayanya.
Di negara-negara itu, wanita sering memiliki anak di usia lebih tua dan jumlah anaknya pun lebih sedikit. Standar hidup yang lebih baik berarti orang memiliki umur lebih lama di negara-negara itu. Contoh paling mudah di Jepang, tempat harapan hidup seseorang hampir 84 tahun atau tingkat nasional tertinggi di dunia. Selain itu, warga berumur lebih dari 65 tahun mencakup 27% dari total populasi Jepang pada 2018 atau yang paling besar di dunia.
Tantangan ganda ini mengkhawatirkan otoritas Jepang selama puluhan tahun, dan tahun lalu pemerintah mengumumkan rencana kenaikan umur pensiun dari 65 tahun menjadi 70 tahun. Jika dan saat kebijakan itu diterapkan, para pekerja di Jepang akan pensiun lebih lama dibandingkan warga di negara lain di dunia.
Namun, ketidakseimbangan populasi juga mengancam negara-negara berkembang. China memiliki porsi warga berusia lebih dari 65 tahun sebesar 10,6% dari total populasi. Persentase itu jauh lebih rendah dibandingkan Jepang. Di sisi lain, dengan program rencana kehamilan yang ketat yang diterapkan sejak 1970-an, China juga memiliki tingkat kelahiran yang rendah yakni 1,6 kelahiran per wanita.
Warga berusia di bawah 5 tahun di Daratan China, sekarang kurang dari 6% dari total populasi. Negara-negara Afrika juga contoh terbaik untuk dilema kuantitas dibandingkan kualitas dalam tingkat kelahiran. Mereka mendominasi peringkat untuk kesuburan tinggi. Nigeria, misalnya, menjadi negara paling subur di dunia dengan 7,2 kelahiran per wanita pada 2017.
Meski demikian, negara itu memiliki tingkat kematian anak yang tinggi. Nigeria memiliki tingkat kematian 85 anak per 1.000 jiwa kelahiran atau salah satu yang tertinggi di dunia. Untuk tujuan populasi, 2,1 merupakan angka magis. Ini tingkat kesuburan yang para pakar demografi menganggapnya perlu untuk populasi dapat menggantikan dirinya sendiri.
Meski demikian, sebagian besar data terbaru PBB menunjukkan hanya sedikit di atas setengah dari seluruh negara di dunia yang memiliki angka kesuburan 2,1 tersebut, yakni 113 negara. “Negara-negara dengan tingkat kematian anak tertinggi dan harapan hidup lebih rendah perlu memiliki tingkat kesuburan 2,3, batas yang saat ini diraih oleh hanya 99 negara,” ungkap para peneliti.
Karena rendahnya kelahiran bayi, banyak negara akan melihat populasi mereka menyusut meski secara keseluruhan ada peningkatan populasi global. Diperkirakan populasi mencapai delapan miliar jiwa pada 2024. Salah satu kasus paling ekstrem adalah Rusia dengan tingkat kesuburan 1,75 anak per wanita, diperkirakan menurunkan jumlah warga Rusia dalam beberapa dekade mendatang.
Divisi Populasi PBB memperkirakan populasi Rusia akan turun dari saat ini 143 juta jiwa menjadi 132 juta jiwa pada 2050. Populasi yang berkurang dan semakin tua berarti lebih sedikit tenaga kerja yang dapat memicu penurunan produktivitas ekonomi yang menghambat pertumbuhan ekonomi.
November lalu, Dana Moneter Internasional (IMF) memperingatkan ekonomi Jepang menyusut lebih 25% dalam 40 tahun mendatang akibat populasi menua. “Demografi memengaruhi setiap aspek kehidupan kita, lihat saya keluar jendela Anda pada orang di jalanan, perumahan, lalu lintas, konsumsi. Semua didorong oleh demografi,” ungkap George Leeson, direktur Oxford Institute of Population Ageing.
Sejumlah negara pun berupaya mengatasi bom waktu penuaan populasi itu. China meninjau ulang kebijakan satu anak pada 2015, dan pada 2018 mengisyaratkan berakhirnya pembatasan kelahiran pada tahun depan. China mencatat 15,2 juta kelahiran pada 2018, angka terendah dalam lebih dari 60 tahun.
Para pakar memperingatkan, kebijakan yang mendorong lansia sehat perlu memainkan peran penting dalam mencegah dampak penuaan populasi. Alasannya, individu yang lebih sehat dapat terus bekerja lebih lama dan dengan lebih banyak energi dapat mengurangi biaya perawatan kesehatan.
Data dari Organisasi Buruh Internasional (ILO) menunjukkan tingkat partisipasi pasar tenaga kerja global untuk perempuan sebesar 48,5% pada 2018, 25% lebih sedikit dibandingkan pria. Kekuatan tenaga kerja dengan lebih banyak wanita juga menjadi alat penting memerangi kemiskinan.
“Negara-negara dengan tingkat partisipasi tenaga kerja lebih tinggi bagi perempuan mengalami penurunan pertumbuhan lebih sedikit. Lebih banyak pekerja wanita tidak hanya membuat ekonomi lebih tangguh terhadap guncangan ekonomi, tapi kekuatan tenaga kerja dengan lebih banyak wanita juga menjadi alat kuat antikemiskinan,” papar ekonom ILO Ekkehard Ernst.
Bagaimana Memanfaatkan Bonus Demografi
Berbeda dengan kebanyakan negara-negara di dunia, Indonesia kini menikmati bonus demografi. Masalahnya, apakah bonus demografi bisa mendorong perekonomian, atau justru menjadi beban ekonomi. Karena itu, diperlukan program yang jelas untuk meningkatkan daya saing sumber daya manusia terutama generasi muda.
Direktur Atma Jaya Institute of Public Policy (AJIPP) Edbert Gani Suryahudaya menjelaskan, upaya menunjang kualitas sumber daya manusia, khususnya generasi milenial maupun generasi Z yang akan menjadi subjek pembangunan di era bonus demografi, adalah tanggung jawab seluruh pihak.
Berdasarkan survei AJIPP terhadap generasi muda perkotaan, meskipun 63% orang menjawab yakin bisa bersaing secara global, keyakinan tersebut perlu ditindaklanjuti dengan program-program yang bisa menyasar langsung pada minat dan bakat dari kaum muda. “Selain itu, terkait bonus demografi, berbagai program yang sedang atau akan dilaksanakan pemerintah, perlu memperhatikan beberapa soal fundamental ekonomi,” ujar dia.
Dia menuturkan, banyak tantangan yang perlu dihadapi agar bonus demografi bisa optimal. Seperti bagaimana cara menarik sektor informal jadi formal, strategi agar jaminan sosial dapat lebih mengakomodasi tenaga kerja, peran riset dan inovasi untuk menciptakan lapangan kerja baru, dan insentif diberikan ke perusahaan yang melakukan itu. “Hal-hal ini yang perlu kita perjelas programnya ke pemerintah,” ujarnya beberapa waktu lalu.
Untuk diketahui, dalam risetnya, AJIPP meneliti 1.388 anak muda di Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Survei ini hasil kolaborasi dengan Fakultas Psikologi serta Fakultas Ilmu Administrasi Bisnis dan Ilmu Komunikasi (FIABIKOM) Unika Atma Jaya. Risetnya juga menyatakan kewirausahaan (entrepreneurship) menjadi keahlian yang dirasakan paling penting untuk dikuasai (37%), disusul bahasa asing (26%) dan kecerdasan buatan (14%).
“Kesadaran ini harus dimanfaatkan dengan baik oleh pemerintah. Daripada menggunakan strategi yang tidak disukai oleh kaum muda seperti isu politisasi agama, lebih baik bicara hal yang penting bagi mereka, misalnya tentang kewirausahaan,” ujarnya.
Dosen Ilmu Komunikasi Unika Atma Jaya Andina Dwifatma juga menambahkan, dalam penggunaan media, 71% responden menjadikan media sosial sebagai referensi utama mereka, disusul media daring (20%) dan televisi (5%).
Platform media sosial yang menjadi favorit mereka adalah Instagram (57%), YouTube (14%), dan Twitter (13%). Sebanyak 1.161 responden juga mengaku menggunakan media sosial untuk mencari informasi. “Hasil ini mengonfirmasi kaum muda sebagai digital native. Internet bukan sekadar fasilitas teknologi bagi mereka, namun juga bagian dari gaya hidup.
Sekarang ada sekitar 705 juta orang berumur lebih dari 65 tahun, dan mereka yang berusia 0–4 tahun hanya sekitar 680 juta jiwa. Kondisi ini diperkirakan akan terus berlanjut. Pada 2050 diperkirakan lebih dari dua orang berumur lebih dari 65 tahun untuk tiap satu warga berumur 0–4 tahun.
Semakin melebarnya kesenjangan ini menjadi simbol tren yang telah dilacak puluhan tahun oleh para pakar demografi, yakni sebagian besar negara warganya hidup lebih lama dan tidak memiliki cukup bayi. Namun, kondisi ini tidak berlaku untuk Indonesia.
Berdasarkan survei penduduk antar sensus (Supas) 2015, jumlah penduduk Indonesia yang berusia 4 tahun ke bawah pada 2019 diproyeksikan jauh lebih besar dibanding usia 65 tahun ke atas, yakni sekitar 22 juta orang berbanding 17 juta orang. Jumlah penduduk produktif-kelompok umur 15-64 tahun–juga sangat besar, yakni mencapai 183,36 juta jiwa atau 68,7% dari total populasi.
“Akan ada sangat sedikit anak dan banyak orang berumur lebih dari 65 tahun dan itu menjadikan sangat sulit untuk menjaga masyarakat global,” papar Direktur Institut Evaluasi dan Metrik Kesehatan Universitas Washington Christopher Murray, dilansir BBC.
Murray juga menulis laporan 2018 yang menyatakan bahwa hampir setengah dari semua negara di dunia menghadapi “baby bust”, yang berarti tidak cukup anak untuk menjaga ukuran populasi. “Pikirkan semua konsekuensi sosial dan ekonomi untuk masyarakat dengan lebih banyak kakek dibandingkan cucu,” ungkap dia.
Pada 1960, tingkat kesuburan dunia hampir lima anak per satu wanita, menurut data Bank Dunia. Hampir 60 tahun kemudian jumlah itu hanya setengahnya menjadi 2,4 anak per wanita. Bersamaan itu, kemajuan sosial ekonomi menguntungkan mereka yang ada di dunia.
Pada 1960, orang hidup dengan rata-rata lebih dari 52 tahun, saat ini umur harapan hidup mencapai 72 tahun pada 2017. Itu berarti semua orang hidup lebih lama dan menuntut lebih banyak lagi sumber daya saat kita semakin tua. Kondisi itu menambah tekanan di berbagai bidang seperti sistem pensiun dan kesehatan.
Masalah populasi menua itu semakin besar di negara-negara maju. Mereka cenderung memiliki tingkat kelahiran bayi yang lebih rendah untuk alasan yang sebagian terkait ekonomi, serta tingkat kematian anak yang semakin rendah, kontrol kelahiran yang semakin mudah didapat, dan membesarkan anak menjadi relatif lebih mahal biayanya.
Di negara-negara itu, wanita sering memiliki anak di usia lebih tua dan jumlah anaknya pun lebih sedikit. Standar hidup yang lebih baik berarti orang memiliki umur lebih lama di negara-negara itu. Contoh paling mudah di Jepang, tempat harapan hidup seseorang hampir 84 tahun atau tingkat nasional tertinggi di dunia. Selain itu, warga berumur lebih dari 65 tahun mencakup 27% dari total populasi Jepang pada 2018 atau yang paling besar di dunia.
Tantangan ganda ini mengkhawatirkan otoritas Jepang selama puluhan tahun, dan tahun lalu pemerintah mengumumkan rencana kenaikan umur pensiun dari 65 tahun menjadi 70 tahun. Jika dan saat kebijakan itu diterapkan, para pekerja di Jepang akan pensiun lebih lama dibandingkan warga di negara lain di dunia.
Namun, ketidakseimbangan populasi juga mengancam negara-negara berkembang. China memiliki porsi warga berusia lebih dari 65 tahun sebesar 10,6% dari total populasi. Persentase itu jauh lebih rendah dibandingkan Jepang. Di sisi lain, dengan program rencana kehamilan yang ketat yang diterapkan sejak 1970-an, China juga memiliki tingkat kelahiran yang rendah yakni 1,6 kelahiran per wanita.
Warga berusia di bawah 5 tahun di Daratan China, sekarang kurang dari 6% dari total populasi. Negara-negara Afrika juga contoh terbaik untuk dilema kuantitas dibandingkan kualitas dalam tingkat kelahiran. Mereka mendominasi peringkat untuk kesuburan tinggi. Nigeria, misalnya, menjadi negara paling subur di dunia dengan 7,2 kelahiran per wanita pada 2017.
Meski demikian, negara itu memiliki tingkat kematian anak yang tinggi. Nigeria memiliki tingkat kematian 85 anak per 1.000 jiwa kelahiran atau salah satu yang tertinggi di dunia. Untuk tujuan populasi, 2,1 merupakan angka magis. Ini tingkat kesuburan yang para pakar demografi menganggapnya perlu untuk populasi dapat menggantikan dirinya sendiri.
Meski demikian, sebagian besar data terbaru PBB menunjukkan hanya sedikit di atas setengah dari seluruh negara di dunia yang memiliki angka kesuburan 2,1 tersebut, yakni 113 negara. “Negara-negara dengan tingkat kematian anak tertinggi dan harapan hidup lebih rendah perlu memiliki tingkat kesuburan 2,3, batas yang saat ini diraih oleh hanya 99 negara,” ungkap para peneliti.
Karena rendahnya kelahiran bayi, banyak negara akan melihat populasi mereka menyusut meski secara keseluruhan ada peningkatan populasi global. Diperkirakan populasi mencapai delapan miliar jiwa pada 2024. Salah satu kasus paling ekstrem adalah Rusia dengan tingkat kesuburan 1,75 anak per wanita, diperkirakan menurunkan jumlah warga Rusia dalam beberapa dekade mendatang.
Divisi Populasi PBB memperkirakan populasi Rusia akan turun dari saat ini 143 juta jiwa menjadi 132 juta jiwa pada 2050. Populasi yang berkurang dan semakin tua berarti lebih sedikit tenaga kerja yang dapat memicu penurunan produktivitas ekonomi yang menghambat pertumbuhan ekonomi.
November lalu, Dana Moneter Internasional (IMF) memperingatkan ekonomi Jepang menyusut lebih 25% dalam 40 tahun mendatang akibat populasi menua. “Demografi memengaruhi setiap aspek kehidupan kita, lihat saya keluar jendela Anda pada orang di jalanan, perumahan, lalu lintas, konsumsi. Semua didorong oleh demografi,” ungkap George Leeson, direktur Oxford Institute of Population Ageing.
Sejumlah negara pun berupaya mengatasi bom waktu penuaan populasi itu. China meninjau ulang kebijakan satu anak pada 2015, dan pada 2018 mengisyaratkan berakhirnya pembatasan kelahiran pada tahun depan. China mencatat 15,2 juta kelahiran pada 2018, angka terendah dalam lebih dari 60 tahun.
Para pakar memperingatkan, kebijakan yang mendorong lansia sehat perlu memainkan peran penting dalam mencegah dampak penuaan populasi. Alasannya, individu yang lebih sehat dapat terus bekerja lebih lama dan dengan lebih banyak energi dapat mengurangi biaya perawatan kesehatan.
Data dari Organisasi Buruh Internasional (ILO) menunjukkan tingkat partisipasi pasar tenaga kerja global untuk perempuan sebesar 48,5% pada 2018, 25% lebih sedikit dibandingkan pria. Kekuatan tenaga kerja dengan lebih banyak wanita juga menjadi alat penting memerangi kemiskinan.
“Negara-negara dengan tingkat partisipasi tenaga kerja lebih tinggi bagi perempuan mengalami penurunan pertumbuhan lebih sedikit. Lebih banyak pekerja wanita tidak hanya membuat ekonomi lebih tangguh terhadap guncangan ekonomi, tapi kekuatan tenaga kerja dengan lebih banyak wanita juga menjadi alat kuat antikemiskinan,” papar ekonom ILO Ekkehard Ernst.
Bagaimana Memanfaatkan Bonus Demografi
Berbeda dengan kebanyakan negara-negara di dunia, Indonesia kini menikmati bonus demografi. Masalahnya, apakah bonus demografi bisa mendorong perekonomian, atau justru menjadi beban ekonomi. Karena itu, diperlukan program yang jelas untuk meningkatkan daya saing sumber daya manusia terutama generasi muda.
Direktur Atma Jaya Institute of Public Policy (AJIPP) Edbert Gani Suryahudaya menjelaskan, upaya menunjang kualitas sumber daya manusia, khususnya generasi milenial maupun generasi Z yang akan menjadi subjek pembangunan di era bonus demografi, adalah tanggung jawab seluruh pihak.
Berdasarkan survei AJIPP terhadap generasi muda perkotaan, meskipun 63% orang menjawab yakin bisa bersaing secara global, keyakinan tersebut perlu ditindaklanjuti dengan program-program yang bisa menyasar langsung pada minat dan bakat dari kaum muda. “Selain itu, terkait bonus demografi, berbagai program yang sedang atau akan dilaksanakan pemerintah, perlu memperhatikan beberapa soal fundamental ekonomi,” ujar dia.
Dia menuturkan, banyak tantangan yang perlu dihadapi agar bonus demografi bisa optimal. Seperti bagaimana cara menarik sektor informal jadi formal, strategi agar jaminan sosial dapat lebih mengakomodasi tenaga kerja, peran riset dan inovasi untuk menciptakan lapangan kerja baru, dan insentif diberikan ke perusahaan yang melakukan itu. “Hal-hal ini yang perlu kita perjelas programnya ke pemerintah,” ujarnya beberapa waktu lalu.
Untuk diketahui, dalam risetnya, AJIPP meneliti 1.388 anak muda di Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Survei ini hasil kolaborasi dengan Fakultas Psikologi serta Fakultas Ilmu Administrasi Bisnis dan Ilmu Komunikasi (FIABIKOM) Unika Atma Jaya. Risetnya juga menyatakan kewirausahaan (entrepreneurship) menjadi keahlian yang dirasakan paling penting untuk dikuasai (37%), disusul bahasa asing (26%) dan kecerdasan buatan (14%).
“Kesadaran ini harus dimanfaatkan dengan baik oleh pemerintah. Daripada menggunakan strategi yang tidak disukai oleh kaum muda seperti isu politisasi agama, lebih baik bicara hal yang penting bagi mereka, misalnya tentang kewirausahaan,” ujarnya.
Dosen Ilmu Komunikasi Unika Atma Jaya Andina Dwifatma juga menambahkan, dalam penggunaan media, 71% responden menjadikan media sosial sebagai referensi utama mereka, disusul media daring (20%) dan televisi (5%).
Platform media sosial yang menjadi favorit mereka adalah Instagram (57%), YouTube (14%), dan Twitter (13%). Sebanyak 1.161 responden juga mengaku menggunakan media sosial untuk mencari informasi. “Hasil ini mengonfirmasi kaum muda sebagai digital native. Internet bukan sekadar fasilitas teknologi bagi mereka, namun juga bagian dari gaya hidup.
(don)