Kerabat Korban: Teroris Christchurch Sombong dan Pengecut

Jum'at, 05 April 2019 - 13:46 WIB
Kerabat Korban: Teroris...
Kerabat Korban: Teroris Christchurch Sombong dan Pengecut
A A A
CHRISTCHURCH - Kerabat korban penembakan di Masjid Christchurch mencap pelaku sebagai sosok yang sombong dan pengecut setelah mereka bertemu di ruang sidang untuk pertama kalinya.

Warga Australia Brenton Harrison Tarrant (28) menghadapi 50 dakwaan pembunuhan dan 39 percobaan pembunuhan atas pembantaian di Masjid al Noor dan Linwood pada 15 Maret lalu.

Tersangka muncul di hadapan Pengadilan Tinggi Christchurch pada Jumat (5/4/2019) pagi melalui tautan video dari Penjara Auckland, di mana ia ditahan secara terpisah di sayap penjara keamanan tinggi.

Diborgol, tidak dicukur dan mengenakan kaus abu-abu gelap, Tarrant menatap keluar dari layar televisi ke pengadilan di mana sekitar 50 teman dan kerabat korban - satu di kursi roda dan mengenakan seragam rumah sakit - mendengarkan dengan seksama.

Selama persidangan, Tarrant duduk tanpa emosi, memiringkan kepalanya beberapa kali untuk melihat layar dan di sekitar ruangan tempat dia berada.

Dalam persidangan itu, Hakim Cameron Mander memerintahkan terdakwa untuk menjalani pemeriksaan mental untuk menentukan apakah ia dapat diadili. Mander mengatakan penilaian seperti itu adalah prosedur normal, dan memerintahkan agar gambar wajah tersangka harus diburamkan sampai perintah pengadilan selanjutnya.

Setelah sidang, beberapa keluarga menggambarkannya sebagai "hari emosional".

Di antara mereka adalah Helal Uddin, yang temannya Mojammel Hoq ditembak mati hanya beberapa bulan sebelum rencananya pulang ke Bangladesh untuk menikahi pacarnya.

Ditanya tentang melihat wajah tersangka, Uddin berkata: "Kelihatannya benar-benar sombong - tidak seperti manusia," seperti dikutip dari Sydney Morning Herald.

Sementara itu Tofazzal Alam, yang berada di Masjid Linwood selama penembakan itu, mengatakan ia menghadiri persidangan karena begitu banyak temannya yang terbunuh. Alam mengatakan bahwa dia dikejutkan oleh sikap apatis tersangka.

"Aku tidak melihat emosi di wajahnya. Itu sangat mengecewakan," ujarnya.

Sedangkan Yama Nabi, mengatakan ia menghadiri sidang untuk melihat wajah pria yang dituduh membunuh ayahnya yang berusia 71 tahun, Haji-Daoud Nabi, yang termasuk di antara jamaah di Masjid al Noor.

Ditanya apa yang dia pikirkan ketika dia melihatnya, Nabi menjawab: "Pengecut."

"Ibuku, keluarga, anggota keluarga lainnya, mereka tidak ada di sini, karena mereka tidak ingin melalui ini ... mereka sudah patah hati, mereka tidak ingin melihatnya lagi," tuturnya.

Nabi mengatakan dia ingin Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern turun tangan dan membuat keputusan untuk menyelesaikannya.

"Proses hukum akan memakan waktu lama, akan membuang-buang uang pembayar pajak, dan hanya akan lebih menyakitkan keluarga," ucapnya.

Saudaranya, Omar, mengatakan dia menghadiri sidang untuk memastikan dia melihat orang yang tepat dan memastikan tidak ada yang ditutup-tutupi. Tetapi hasilnya bukan apa yang dia harapkan atau ingin dengar.

"Orang ini berhak untuk mundur tiga bulan untuk menilai penyakit mental atau stabilitas mentalnya. Dia seharusnya tidak memiliki hak apa pun," ujarnya.

"Ya, sangat menyakitkan untuk menjalani proses yang seharusnya tidak memakan waktu selama itu," imbuhnya.

Kerabat korban lainnya juga berbicara tentang frustrasi mereka terhadap proses persidangan yang akan berjalan dalam waktu yang lama.

"Kami pikir proses persidangan seperti ini akan cepat, tetapi sepertinya itu tidak akan terjadi dalam waktu dekat dan ini waktu yang lama," kata Uddin.
(ian)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1303 seconds (0.1#10.140)