Teroris Pembantai 50 Orang di Christchurch Mengeluh Haknya Dilanggar
A
A
A
AUCKLAND - Tersangka serangan teroris yang membantai 50 orang di dua masjid di kota Christchurch, Selandia Baru, telah mengajukan keluhan resmi tentang bagaimana dia diperlakukan di penjara. Dia merasa hak-hak dilanggar.
Otoritas pemerintah Selandia Baru kini tidak ingin menyebut nama tersangka serangan teroris tersebut. Namun, sejak awal tersangka serangan terhadap jamaah salat Jumat itu sudah diketahui yakni, Brenton Harrison Tarrant, 28, pria Australia yang mengampanyekan supremasi kulit putih.
Seorang sumber ortitas Koreksi setempat mengatakan kepada media bahwa tahanan tersebut mengeluh karena tidak diberi akses pengunjung dan panggilan telepon dari selnya di Penjara Auckland di Paremoremo.
Situs web Departemen Pemasyarakatan menyatakan; "Tahanan memiliki hak untuk diperlakukan dengan kemanusiaan, martabat dan rasa hormat saat berada di penjara".
Ada standar hak asasi manusia yang berlaku untuk memastikan penahanan yang aman.
Hak minimum berdasarkan Undang-Undang Pemasyarakatan menyatakan setiap orang dalam tahanan berhak untuk berolahraga, tidur, diet yang layak, menerim satu pengunjung pribadi per minggu, penasihat hukum, perawatan medis, perawatan kesehatan, surat, dan panggilan telepon.
Namun, hak-hak itu dapat ditangguhkan dalam beberapa keadaan, termasuk dipisahkan atau dalam tahanan pelindung, masalah kesehatan dan keselamatan dan karena hal itu tidak praktis.
Sumber itu mengatakan kepada Stuff bahwa pria bersenjata itu patuh, tetapi mengatakan; "Dia tidak seperti orang lain yang kita miliki".
"Dia terus-menerus diawasi dan diisolasi," kata sumber itu.
"Dia tidak mendapatkan hak minimum yang biasa...jadi tidak ada panggilan telepon dan tidak ada kunjungan," lanjut sumber itu, seperti dikutip TVNZ, Senin (1/4/2019).
Dia muncul di pengadilan Christchurch pada 16 Maret, sehari setelah serangan brutal yang menewaskan 50 jamaah Muslim saat salat Jumat. Dia didakwa dengan tuduhan pembunuhan. Dia akan dihadirkan lagi ke pengadilan pada 5 April 2019 mendatang.
Penembakan brutal itu terjadi di Masjid Al-Noor di Deans Ave, di seberang jalan dari Hagley Park, dan Masjid Linwood.
Otoritas pemerintah Selandia Baru kini tidak ingin menyebut nama tersangka serangan teroris tersebut. Namun, sejak awal tersangka serangan terhadap jamaah salat Jumat itu sudah diketahui yakni, Brenton Harrison Tarrant, 28, pria Australia yang mengampanyekan supremasi kulit putih.
Seorang sumber ortitas Koreksi setempat mengatakan kepada media bahwa tahanan tersebut mengeluh karena tidak diberi akses pengunjung dan panggilan telepon dari selnya di Penjara Auckland di Paremoremo.
Situs web Departemen Pemasyarakatan menyatakan; "Tahanan memiliki hak untuk diperlakukan dengan kemanusiaan, martabat dan rasa hormat saat berada di penjara".
Ada standar hak asasi manusia yang berlaku untuk memastikan penahanan yang aman.
Hak minimum berdasarkan Undang-Undang Pemasyarakatan menyatakan setiap orang dalam tahanan berhak untuk berolahraga, tidur, diet yang layak, menerim satu pengunjung pribadi per minggu, penasihat hukum, perawatan medis, perawatan kesehatan, surat, dan panggilan telepon.
Namun, hak-hak itu dapat ditangguhkan dalam beberapa keadaan, termasuk dipisahkan atau dalam tahanan pelindung, masalah kesehatan dan keselamatan dan karena hal itu tidak praktis.
Sumber itu mengatakan kepada Stuff bahwa pria bersenjata itu patuh, tetapi mengatakan; "Dia tidak seperti orang lain yang kita miliki".
"Dia terus-menerus diawasi dan diisolasi," kata sumber itu.
"Dia tidak mendapatkan hak minimum yang biasa...jadi tidak ada panggilan telepon dan tidak ada kunjungan," lanjut sumber itu, seperti dikutip TVNZ, Senin (1/4/2019).
Dia muncul di pengadilan Christchurch pada 16 Maret, sehari setelah serangan brutal yang menewaskan 50 jamaah Muslim saat salat Jumat. Dia didakwa dengan tuduhan pembunuhan. Dia akan dihadirkan lagi ke pengadilan pada 5 April 2019 mendatang.
Penembakan brutal itu terjadi di Masjid Al-Noor di Deans Ave, di seberang jalan dari Hagley Park, dan Masjid Linwood.
(mas)