Istri Dibunuh, Pria Ini Memaafkan dan Ingin Peluk Teroris Christchurch
A
A
A
CHRISTCHURCH - Farid Ahmed selamat dari serangan teroris di Masjid Al-Noor, Christchurch , Selandia Baru, meski dia kehilangan istrinya. Hebatnya, pria itu memaafkan pelaku serangan dan ingin memeluknya jika dia bisa.
Sang istri, Husna Ahmed, termasuk di antara 50 korban tewas dalam penembakan berdarah di Masjid Al-Noor dan Masjid Linwood di Christchurch, hari Jumat lalu. Pelakunya adalah Brenton Harrison Tarrant, 28, asal Australia.
Mengutip New Zealand Herald, Selasa (19/3/2019), Farid mengatakan dia akan memberikan pelukan kepada Tarrant jika dia bisa.
"Saya ditanya, 'Bagaimana perasaan Anda tentang orang yang membunuh istri Anda?' Dan saya mengatakan, 'Saya mencintai orang itu karena dia adalah manusia, saudara laki-laki saya'," kata Farid yang telah lumpuh sejak enam tahun lalu akibat kecelakaan yang diakibatkan pengemudi yang mabuk.
"Saya tidak mendukung apa yang dia lakukan. Dia salah. Tapi mungkin dia terluka, mungkin sesuatu terjadi padanya dalam hidupnya...tetapi intinya adalah, dia adalah saudara lelaki saya," katanya.
"Saya telah memaafkannya dan saya yakin jika istri saya masih hidup, dia akan melakukan hal yang sama," ujarnya.
Ahmed mengingat pertumpahan darah di dalam masjid ketika dia mencoba untuk mengarahkan dirinya ke tempat yang aman di tengah tembakan yang sedang berlangsung.
"Saya mengambil kesempatan itu dan keluar perlahan-lahan dan saya khawatir bahwa setiap saat saya akan ditembak di kepala dari belakang," katanya.
Tetapi dia berhasil mencapai tempat parkir dan berlindung di belakang mobil yang diparkir.
Begitu tembakan berhenti, Farid Ahmed dan jamaah lainnya membuat keputusan berbahaya untuk kembali ke dalam. Dia tidak menyadari bahwa sang istri Husna Ahmed, yang mati-matian berusaha menghubungi suaminya yang lumpuh, sudah meninggal.
“Ketika kami masuk, saya melihat jasad. Jelas mereka berusaha untuk keluar dan mereka ditembak dari belakang dan jatuh," kata Farid Ahmed kepada surat kabar tersebut. "Kami pergi ke ruang utama dan peluru ada di mana-mana."
Dia mengenali banyak dari korban yang terluka, yang mengalami banyak pendarahan dan di ambang kematian.
"Saya melihat seorang pria berteriak 'Tolong bantu saya' dan saya melihat dia memiliki dua jasad tergeletak di atasnya. Dia meminta saya untuk mengeluarkan jasad-jasad dan berkata, 'Saya tidak bisa mengambilnya'," kata Farid.
Dia ingat saat itu tidak bisa mendorong dirinya sendiri lebih jauh lagi, karena jasad-jasad berserakan di lantai.
"Seorang pria Ethiopia memanggil saya dan berkata, 'Bisakah Anda membantu saya, saya tidak bisa bernapas'...Saya melihat satu orang bernapas dengan cara yang saya rasa akan segera meninggal," kata Farid. "Ada begitu banyak jasad."
Farid Ahmed kemudian pulang ke rumah. Dia harus menyampaikan berita memilukan tentang kematian istrinya kepada putri mereka yang berusia 15 tahun, Shifa.
"Ketika dia sampai di rumah, saya harus memberitahunya. Bagian terburuknya adalah ketika dia berkata, 'Apakah (ayah) memberi tahu saya bahwa saya tidak punya ibu?' kata Farid Ahmed sembari menangis. "Saya bilang ya...Tapi saya ibumu sekarang...dan bersama-sama kita akan menghadapi ini."
Farid Ahmed berimigrasi ke Selandia Baru dari Bangladesh pada tahun 1988. Husna datang enam tahun kemudian dan pasangan itu menikah pada hari yang sama ketika dia tiba.
Farid Ahmed ingat istrinya memiliki kepribadian yang luar biasa. "Dia magnetis, sangat istimewa dan ibu yang baik," katanya. "Saya sangat bangga padanya...dia memenangkan hati jutaan orang dan saya mengatakan pada putri saya bahwa kita harus hidup dalam ingatan ini, kita harus bahagia untuknya daripada menangis."
Sang istri, Husna Ahmed, termasuk di antara 50 korban tewas dalam penembakan berdarah di Masjid Al-Noor dan Masjid Linwood di Christchurch, hari Jumat lalu. Pelakunya adalah Brenton Harrison Tarrant, 28, asal Australia.
Mengutip New Zealand Herald, Selasa (19/3/2019), Farid mengatakan dia akan memberikan pelukan kepada Tarrant jika dia bisa.
"Saya ditanya, 'Bagaimana perasaan Anda tentang orang yang membunuh istri Anda?' Dan saya mengatakan, 'Saya mencintai orang itu karena dia adalah manusia, saudara laki-laki saya'," kata Farid yang telah lumpuh sejak enam tahun lalu akibat kecelakaan yang diakibatkan pengemudi yang mabuk.
"Saya tidak mendukung apa yang dia lakukan. Dia salah. Tapi mungkin dia terluka, mungkin sesuatu terjadi padanya dalam hidupnya...tetapi intinya adalah, dia adalah saudara lelaki saya," katanya.
"Saya telah memaafkannya dan saya yakin jika istri saya masih hidup, dia akan melakukan hal yang sama," ujarnya.
Ahmed mengingat pertumpahan darah di dalam masjid ketika dia mencoba untuk mengarahkan dirinya ke tempat yang aman di tengah tembakan yang sedang berlangsung.
"Saya mengambil kesempatan itu dan keluar perlahan-lahan dan saya khawatir bahwa setiap saat saya akan ditembak di kepala dari belakang," katanya.
Tetapi dia berhasil mencapai tempat parkir dan berlindung di belakang mobil yang diparkir.
Begitu tembakan berhenti, Farid Ahmed dan jamaah lainnya membuat keputusan berbahaya untuk kembali ke dalam. Dia tidak menyadari bahwa sang istri Husna Ahmed, yang mati-matian berusaha menghubungi suaminya yang lumpuh, sudah meninggal.
“Ketika kami masuk, saya melihat jasad. Jelas mereka berusaha untuk keluar dan mereka ditembak dari belakang dan jatuh," kata Farid Ahmed kepada surat kabar tersebut. "Kami pergi ke ruang utama dan peluru ada di mana-mana."
Dia mengenali banyak dari korban yang terluka, yang mengalami banyak pendarahan dan di ambang kematian.
"Saya melihat seorang pria berteriak 'Tolong bantu saya' dan saya melihat dia memiliki dua jasad tergeletak di atasnya. Dia meminta saya untuk mengeluarkan jasad-jasad dan berkata, 'Saya tidak bisa mengambilnya'," kata Farid.
Dia ingat saat itu tidak bisa mendorong dirinya sendiri lebih jauh lagi, karena jasad-jasad berserakan di lantai.
"Seorang pria Ethiopia memanggil saya dan berkata, 'Bisakah Anda membantu saya, saya tidak bisa bernapas'...Saya melihat satu orang bernapas dengan cara yang saya rasa akan segera meninggal," kata Farid. "Ada begitu banyak jasad."
Farid Ahmed kemudian pulang ke rumah. Dia harus menyampaikan berita memilukan tentang kematian istrinya kepada putri mereka yang berusia 15 tahun, Shifa.
"Ketika dia sampai di rumah, saya harus memberitahunya. Bagian terburuknya adalah ketika dia berkata, 'Apakah (ayah) memberi tahu saya bahwa saya tidak punya ibu?' kata Farid Ahmed sembari menangis. "Saya bilang ya...Tapi saya ibumu sekarang...dan bersama-sama kita akan menghadapi ini."
Farid Ahmed berimigrasi ke Selandia Baru dari Bangladesh pada tahun 1988. Husna datang enam tahun kemudian dan pasangan itu menikah pada hari yang sama ketika dia tiba.
Farid Ahmed ingat istrinya memiliki kepribadian yang luar biasa. "Dia magnetis, sangat istimewa dan ibu yang baik," katanya. "Saya sangat bangga padanya...dia memenangkan hati jutaan orang dan saya mengatakan pada putri saya bahwa kita harus hidup dalam ingatan ini, kita harus bahagia untuknya daripada menangis."
(mas)